SUNGGUH saya sangat berterima kasih pada Bakti Wiyasa yang begitu semangat ‘memperjuangkan’ keutuhan situs-situs purba yang ada di Bali. Situs-situs ‘berharga’ yang merupakan kekayaan ilmu pengetahuan local indigenous. Pasalnya, dari diskusi kecil dengan Bakti Wiyasa di sebuah kafe yang terletak di bilangan Jl. Hayamwuruk, Denpasar itu – kian saya pahami tentang essensi puja bhakti umat Hindu, yakni ; mantra, yantra, tantra, yajña, dan yoga.
Tentu upaya Bakti Wiyasa dan berbagai pihak tersebut, perlu didukung kebijakan pemerintah dan partisipasi semua pihak demi kelestarian ilmu pengetahuan local indigenous. Agar pengetahuan local indigenous tersebut dapat dikonstruksi sesuai kondisi dan bentuk aslinya, lebih tepatnya di ‘Preservasi’.
Selain itu, perlu juga upaya penggalian ilmu pengetahuan local indigenous yang hampir punah dan selanjutnya dibangkitkan kembali sehingga kearifan lokal tersebut dikenal kembali, dengan mengikuti perkembangan dan perubahan jaman kekinian. Dalam artian ini, semacam upaya ‘Revitalisasi’.
Suatu saat saya bertandang ke studio Nyoman Sujana ‘Kenyem’, dan melihat karya-karya repetitifnya. Saya lantas teringat akan perbincangan dengan Bakti Wyasa tentang; mantra, yantra, tantra, yajña, dan yoga. Khususnya pada poin ‘mantra’. Sebab – menurut saya – unsur terpenting dari mantra adalah repetisi aksara, kata dan makna.
Kenyem, mengawali karya-karya repetitif sejak 2014. Ada beragam unsur repetisi dalam karya-karya Kenyem. Suatu misal, karya repetitif bambu silinder-nya, karya repetitifnya ini lebih pada fokus obyek sentral. Demikian juga, ketika Kenyem mengambil gagasan pokok/pemikiran atau tema-tema yang berobyek batu-batu, pohon-pohon, dan daun-daun, dengan aksentuasi figur orang-orang. Perlakuan repetitif pada obyek-obyek tersebut, terfokus menjadi ‘subyek matter’ karyanya, yang memang banyak ‘berbincang’ soal lingkungan.
Pada beberapa karya Kenyem yang lain, repetisi teks ia pergunakan sebagai ‘tekstur semu’. Dengan kepiawaiannya memainkan goresan gelap-terang, teks sebagai anasir tekstur ini, memunculkan space atau bidang-bidang semu, yang memperkuat kesan obyek sentralnya. Menurut saya, tekstur-tekstur semu yang ada pada karya Kenyem memang belum ia garap secara lebih mendetail. Tekstur-tekstur semu itu belum menjadi bagian obyek sentral. Peran utamanya hanya sebagai tekstur, atau ‘properti’ (sarana pendukung) dalam peristilahan dunia teater.
Lantas bagaimana teks-teks sebagai tekstur itu menjadi bagian penting subyek matter karyanya?. Kenyem punya jawabannya. Menurutnya, ia akan mengeksplorasi teks-teks mantra. Sebab, mantra itu sendiri adalah anasir penting. Mantra, tandas Kenyem, tak sekedar aksara dan kata yang berhamburan.
Kenyem ada benarnya. Dengan upaya tertentu, kita akan mampu memahami makna yang ‘tersembunyi’ di balik aksara, kata-kata yang tertata pada mantra. Dan makna tersembunyi itu, bukan sekedar pemahaman. Karena makna aksara dan kata di balik mantra, bisa saja memanifestasikan dirinya menjadi ‘energi’.
Tak dapat disangkal memang, doa-doa repetitif, ada di semua agama. Di agama Islam ada ‘doa zikir’ dengan tasbih, agama Katolik ada ‘doa rosario’, agama Budha dengan menghitung butiran ‘mala’ (semacam tasbih). ‘Mala’, dapat dipergunakan untuk membaca doa atau mantra, sesuai keingginan. Misalnya membaca mantra Om A Ra Pa Ca Na Dhih: Mantra ini dipercaya dapat meningkatkan kebijaksanaan, berpikir kritis dan kemampuan menulis. Dan dari semua doa-doa tersebut, esensinya adalah hadirnya energi, baik yang kasat mata, atau tak.
Memang, menurut saya ; ”energi itu bergerak dari utuh ke seluruh, kreativitas dari seluruh ke utuh”. Bagaimana cara menangkapnya? Siapa mampu menangkapnya? Kita tunggu hasil eksplorasi Nyoman Sujana ‘Kenyem’. Saya yakin, pasti ada dimensi edukasi dari karya-karya ‘mantra’ Kenyem kelak. Atau? Kita mesti bertanya pada ‘sunyi kita yang gaib’. (T)