GLOBALISASI membawa efek yang sangat komplek di seluruh Indonesia. Semua pintu perbatasan negara seolah dibuka memberikan peluang siapa saja bisa masuk tanpa mengucap assalamulaikum, atau om swastiastu, juga kulo nuwun toh nyuwun sewu. Siapapun dan apapun bisa masuk tanpa permisi. Itulah gambaran dari globalisasi.
Globalisasi juga memberikan sebuah dualisme budaya antara budaya barat dan budaya timur. Dua budaya ini saling bertarung di kancah internasional, saling ingin menunjukan siapa yang lebih kuat dan hebat dalam unjuk gigi di kancah internasional. Karena ada dua budaya ini maka ada anggapan bahwa budaya timur itu ketinggalan daibanding budaya barat.
Budaya timur kini dianggap ketinggalan zaman dan banyak ditinggalkan karena isinya monoton hanya ketoprak, dagelan, bancaan, dan ritus yang membuat orang ngantuk. Akhirnya orang timur sendiri mencoba mengikuti arus perubahan budaya yang masuk, yakni lebih bangga mengikuti budaya barat alias westernisasi.
Efek westernisasi banyak bisa kita lihat. Banyak mahasiswa yang sudah menjadi kebarat-baratan (angin-anginan dalam Bahasa Jawa), rambut disemir, potongan separo, pegangan gadget untuk selfie, selalu aptudate di sosial media mulai dari facebook, instragram, watshaap, bbm, snapchat penuh dengan foto eksis sambil unjuk gigi, hanya untuk mendapatkan kata popular dan kekinian.
Budayapun kini juga mulai bergeser. Dulu kalau orang ulang tahun melakukan selamatan, potong tumpeng, dan di tambahi bumbu-bumbu doa kepada Tuhan yang dipandu oleh kyai, agar setahun ke depen kehidupanya lebih baik dan mapan. Tetapi efek westernisasi mengubah budaya itu, budaya yang sangat adiluhung itu kini mulai tergeser, tumpeng kini diganti dengan kue tart yang di atasnya ada diberi lilin menyala. Selamatan kini di ganti dengan pestapora, sedangkan doa kepada Tuhan kini diganti dengan alunan musik dugem yang dipandu dengan disc joky sexy.
Gagap budaya ini bukan di kalangan masyarakat awam saja tetapi juga menjalar kalangan akademisi. Padahal kalangan akademisi seharusnya mampu memfilter budaya barat untuk dijadikan sebuah khasanah baru demi melengkapi dan mengembangkan budaya timur. Tapi ironis sekali, kini sebagian kalangan akademisi yang ngakunya agen of change malah lebih suka mengikuti budaya barat.
Di sini saya bukan orang yang antipasti atau phobia dengan westernisasi tetapi pandangan saya mengganggap yang perlu di-westernisasi adalah otak kita, alias pola pikir kita bukan kelauan kita. Pola pikir kita harus seperti orang barat terstruktur, dan selalu logis, agar kita bisa maju seperti bangsa barat. Mampu membangun Menara Eifel seperti di Prancis, mampu membuat sebuah sistem keuangan yang dianut oleh seluruh umat manusia seperti bang Adam Smith, atau mampu membuat facebook yang mampu membius hampir sebagian umat manusia seperti pakde Mark Zuckerberg.
Itu sebenarnya yang dinamakan westernisasi yang tepat. Kalau hanya kelakuan yang di-westernisasi, itu sama saja gemblong dibungkus dengan kotak pizza, diluarnya amazing di dalamnya bullshit.
Hal ini yang harus disadari oleh akademisi kita. Jangan memaknai westernisasi dengan mengikuti gaya budaya barat, tapi akademisi harus memaknai westernisasi yang harus dimaknai yakni mengikuti pola pikir budaya barat untuk mengembangkan budaya timur. (T)