Cerpen: Devy Gita
DAUN-DAUN kamboja menggigil, menerjemah lembut bisikan angin. Dalam diam, para Dwarapala, patung-patung penjaga memasang mata awas menyisir pekatnya malam. Langit tampak tenang dan terang. Gerombolan bintang menunggu sabar waktu berjaga menemani kepuh tua yang masih berdiri dengan gagahnya di tengah barikade kepuh muda. Suara ditelan malam, sunyi. Bahkan jangkrik-jangkrik sombong yang kerap memamerkan merdu suaranya pun hanya bertengger penasaran di atas hamparan rumput setinggi mata kaki.
Sisa-sisa pengabenan berserak hangus. Masih meninggalkan aroma samar kayu tersantap sang agni. Sepasang mata menyapu sekitarnya penuh resah. Tak tampak apapun dibalik ranting-ranting pohon pule. Begitu pula jalan tanah yang dijejak, langkahnya seperti terbang. Rambut coklat sebahu menari liar seiring tolehan cemas dan cepat. Nafas tersengal sekat di dada yang ditekannya erat. Entah berlari terlalu cepat atau melayang, tubuhnya mengarah tak terkendalikan ke arah candi bentar dengan penerangan lampu 5 watt temaram. Dua Dwarapala saling berbisik,
“Ini dia, ini dia..”
Bisikan-bisikan tidak terdengar oleh tubuh penuh keringat dingin yang akhirnya menjejakkan kakinya di antara mereka.
Tubuh itu seperti bukan miliknya. Kakinya tidak lagi menurut, langkah yang seharusnya berbalik, menapak lurus ke dalam candi bentar. Sekarang tidak ada pertanyaan tentang di mana tubuhnya dipaksa hadir. Pintu dari besi tipis membuka sendiri gerendelnya. Memberi perintah untuk sesegera mungkin meruyup ke hadapan Padma Capah, satu-satunya candi yang berjejak angkuh dalam tempat ini. Dia rebah, kelelahan merayap dari telanjang jari kakinya. Gemetar bahu-bahunya pertanda ketakutan berkuasa atas tubuhnya.
Tubuhnya menari tak tentu, tangan kanan meliuk ke kiri pun sebaliknya. Jari jemari begitu gemulainya. Menari seperti dia terlahir untuk itu. Kaki memutar tubuhnya dengan ritme teratur, semakin lama semakin cepat, ganas, panas. Dia merasa panas. Pinggulnya lelah, kaki tanpa alas kaki kebas. Erangan demi erangan meluncur dari bibir penuh tanpa gincu merah yang biasa dia pulaskan. Menari dan terus menari, raganya tak turut perintah berhenti. Di tengah sapaan dingin malam, tubuh si gadis merespon tabuh suara angin yang tiba-tiba bertiup, berputar, menderu, memainkan nada-nada menghentak. Hentakan demi hentakan, dia menandak, mengibaskan rambut ke depan ke belakang berirama, menjulur lidahnya, melompat-lompat, payudaranya seperti akan mengelupas dari dada.
“Aaaaaaaaarggghhh,” teriakan terlepas tak mampu ditahan kerongkongan yang kian kering.
Sekujur tubuhnya bermandi keringat. Celana pendek dan kaos tak berlengan menempel basah di atas kulit coklatnya. Terengah-engah di bawah sorotan bulan. Gadis itu menarik, melipat tubuhnya lalu memeluk erat kedua kakinya. Dia menatap candi di hadapannya penuh amarah. Di dalam pura Mrajapati, istana para roh yang belum bisa menapaki sorga maupun neraka dia membara. Menyalahkan nasib, mengutuk kelahirannya.
“Apa salahku? Kenapa harus aku?” geramnya.
Menangis dihadapan simbol sang Dewi, tersedu. Tertekan. Tidak ada jawaban dari manapun, semut-semut melangkah secepat mungkin. Menghindari tatapan penuh tanya si gadis. Sang bayu pun memilih untuk menghentikan racauannya. Seketika senyap memerangkap.
Sinar bulan membias di wajah basah. Si gadis sudah menyerah dengan tangisnya. Nasib sudah mempermainkannya. Dia adalah kesayangan Sang Dewi, itu kata seseorang yang dia temui seminggu yang lalu. Dia tidak mengerti sayang seperti apa. Bukankah, Sang Dewi menyayangi semua ciptaannya? Orang itu menatapnya cermat, sesekali dia menggelengkan kepalanya lalu mengangguk. Semacam berdiskusi dengan dirinya sendiri.
Orang itu bercerita tentang Sang Dewi yang memilih anak-anak kesayangan untuk mengabdi padanya. Membaktikan diri untuk menjadi tangan sang penguasa alam kematian. Si gadis mengernyit semakin tak mengerti.
Pertanyaan menyerbu menderapkan ingatan-ingatan akan kejanggalan dalam perjalanan napasnya. Terlahir prematur dalam usia kandungan 7 bulan, Pudak Wangi begitu kecilnya untuk tahu begitu kejam nasib merampas ayah kandungnya yang menyayat pergelangan tangan saat mengetahui ibunya sedang mengandung. Keanehan -keanehan, bukan lagi keanehan yang bisa diterima logika ilmuan fisika dan matematika membawa Pudak Wangi, si gadis berambut coklat sebahu menemui seseorang yang dipanggil Jero Balian oleh orang-orang.
Sejak kecil dia memang terbiasa melihat apa yang tidak terlihat oleh temannya. Wanita berambut panjang yang berdiri sedih di pinggir jalan saat Pudak melintas bahkan saat tengah hari, anak-anak kecil berkulit legam yang berlarian menembus kios-kios di pasar, pria tinggi hitam besar yang melambaikan tangan di bawah pohon besar. Akan hal itu, dia sudah lumrah. Namun belakangan, dia seperti gila, kadang menangis tanpa tahu untuk apa dia melakukan itu. Dia hanya merasakan sesak menghujam dada dan membuatnya ingin berteriak sekerasnya. Melelehkan air mata tak terbendung dan hilang kesadaran. Panas membakar tangannya menjelang tengah malam. Dihantui mimpi-mimpi penuh kegelapan, makhluk bertaring menyeramkan, dan orang-orang tak dikenal menghunuskan bermacam senjata ke arahnya.
Kata psikiater Pudak menderita depresi. Itu lumrah terjadi jika seseorang mengalami depresi.
Depresi mungkin penjelasan yang sedikit menenangkan disaat hati seorang gadis berparas manis pemberontak seperti Pudak dicincang bagai daging babi pelengkap lawar oleh pria yang dia cintai. Dicincang lalu ditumbuk halus tak berbentuk. Pudak meluncur jatuh, menggapai kosong udara. Sahabat-sahabat yang senantiasa menopang pun tak mampu menahan ambruk jiwanya. Hanya hembusan asap rokok serta tegukan demi tegukan alkohol yang masih bisa meringankan otaknya sementara, hanya sementara. Dia tidak pernah beruntung pasal asmara. Beberapa laki-laki yang mendekati, hanya menginginkan tubuhnya yang memang sintal. Sementara yang lainnya membagi hati kepada perempuan lain. Pedih memang. Namun, kali ini bukan depresi.
Jero balian menyalakan dupa dan mulai memejamkan mata. Di depannya, tumpukan canang, sesajen orang-orang yang datang padanya tersusun seperti undakan pendek. Bibirnya mulai merapalkan mantra, udara tiba-tiba semakin dingin. Pudak bergidik, dirasakannya hembusan aneh memenuhi seisi ruangan yang disebut kamar suci itu. Jero balian mulai meracau suaranya berubah halus dan dalam, suara seorang wanita. Dia berbicara dengan bahasa berbeda namun Pudak mengerti setiap kata yang terucap. Sesuatu merasuki laki-laki tua itu, apapun itu, nada kerinduan tersampaikan dengan jelas.
Sang Dewi, telah meminjam raga Jero Balian. Sang Dewi pemberi dan pencabut kehidupan. Dia yang mempunyai banyak wujud, penguasa makhluk hidup maupun tak kasat mata. Permintaan Sang Dewi adalah perintah, itu yang dikatakan Jero Balian saat beliau kembali pada raganya. Pudak harus menjadi anak yang patuh pada titah sang ibu.
Tidak terbantahkan, Sang Dewi meminta anak gadis kesayangannya yang pemberontak untuk menjadi putih, bersih, bertugas atas namanya.
“Jadi, aku harus menjadi pemangku melayani umat?” tanya pudak lemah menatap tato- tato abstrak pada lengannya. Dalam benaknya menjadi seorang pemangku, seseorang yang berpakaian serba putih dan melayani umat di Pura adalah hal yang di luar nalar. Tak pernah terpikirkan oleh gadis yang sembahyang hanya jika ibunya mengingatkan ini untuk berlakon seperti itu. Hidup adalah kebebasan, Tuhan bukan tujuan utamanya. Bagaimana Sang Dewi bisa memilih gadis sepertinya?
“Bukan hanya itu, Geg Ayu. Anugerah dalam tubuhmu, harus digunakan menolong orang.” jelas Jero Balian.
Pudak menghela nafas.
“Namun, anugerah tersebut harus dibarengi dengan penyucian dirimu, Geg Ayu.” Jero Balian berdehem melonggarkan tenggorokannya.
Pudak seperti ditarik ke atas lalu dihempaskan dengan keras ke tanah.
Anugerah? Penyucian diri? Sejauh yang bisa dia ingat, Pudak tidak pernah meminta tuah yang mengharuskan dia melakukan penyucian diri. Dia tidak suka hal-hal yang merepotkan.
Telinga Pudak berdengung ketika Jero Balian menjabarkan apa maksud beliau tentang penyucian diri. Pudak harus melambaikan tangan pada kebebasan yang perlahan melanglang menjauh. Penyucian diri menuntutnya melupakan kecap kenyal daging. Tubuhnya akan menolak, menurut Jero Balian. Alih – alih menikmati dunia gemerlap malam yang selalu membuatnya pulang dalam keadaan setengah sadar, Pudak di wajibkan melakukan meditasi guna mengendalikan api yang menjalar liar di dalam tubuhnya. Untuk apa dia harus melakukan ini semua? Membantu orang? Bahkan membantu dirinya sendiri pun belum mampu.
“Dan kau juga tidak boleh menikah, Geg Ayu.” Jero Balian tersenyum dan mencoba membuat suaranya selembut mungkin. Pudak terlanjur terkesiap. Palu-palu yang tak nampak menghantam kepala dan dadanya silih berganti. Sama sekali, bukan hal seperti ini yang dia inginkan untuk dijalani. Terkungkung, terisolasi, terbentengi. Mata-mata indahnya membelalak.
“Itu hak asasi saya untuk menikah.” erang Pudak.
Disakiti bukan lantas membuatnya tidak ingin merasakan lagi belaian laki-laki. Dia tetaplah perempuan, yang nikmat merasakan sentuhan tangan seorang kekasih menjelajahi setiap inci kulitnya. Dia gadis muda yang membiarkan tubuh dan jiwanya bebas. Akan tetapi kelak, dia juga ingin menjadi seorang ibu.
“Geg Ayu, orang-orang lain menjalankan banyak ritual untuk mendapatkan anugerah ini. Menjadi perantara antara Sang Dewi dan umat.” Jero Balian mencoba menenangkan. Beliau tahu, badai topan sedang bergemuruh, melunyah, menerjang sel-sel dalam diri Pudak Wangi.
Dia bukan orang lain, dia adalah Pudak Wangi. Mungkin banyak orang ingin terlihat hebat saat mendapatkan tuah dari Sang Dewi, tapi bukan dirinya. Pikirnya, jika Sang Dewi memang benar menjadikan dia sebagai anak kesayangan, beliau tentu memberikan kebahagiaan bukan penjara. Lagipula, beliau yang digadang-gadang menyayanginya lebih dari yang lain tidak pernah muncul, bahkan saat cobaan hidup yang dijalani lebih berat dari gadis seusianya. Dari mana dia bisa percaya? Penolakan tergambar jelas di permukaan wajah Pudak. Dia sungguh tidak mau.
Pudak berpamitan pada Jero Balian yang memandangnya iba. Belum lagi malam, tubuh dan kepalanya terasa begitu berat. Amarah memenuhi setiap pori-porinya. Tidak ada yang tahu bagaimana Sang Dewi memilih anak kesayangan. Mengapa tidak diberikan saja anugerah ini pada mereka yang benar-benar ingin? Pudak menjerit, di bawah guyuran shower . Bulir – bulir tercemar airmata asin menetes deras, mengalirkan caci dan umpatan pada hidup, pada Sang Dewi. Namun, dia tak lagi punya pilihan untuk melarikan diri.
Gerimis tergelincir setitik lalu setitik dari gumpalan awan yang lelah bergelayut pada langit suram. Bintang-bintang merayap pulang dibalik pekat. Burung – burung hantu mengintip dari celah dedaunan pohon pule.
“Itu dia, gadis bodoh yang menolak Sang Dewi,” bisik burung hantu putih menggelengkan kepalanya ke kanan, menatap lekat Pudak yang duduk tak bergerak dibawah gerimis.
“Tidak ada yang bisa menolak, kau tahu!” balas burung hantu hitam pekat sambil menelisik bulu basahnya.
Angin menderu, berputar merangsek ke dalam Pura. Berhenti tepat di depan Pudak yang terdiam. Aneh, dinginnya malam tidak membuatnya membeku. Dia hanya mematung menatap kosong. Sepasang tangan menyala dengan kuku-kuku panjang meneteskan bara api mengulur, salah satunya menggenggam kain putih yang juga terbakar tetapi tidak hangus. Berat suaranya membuat pudak mendongak terkesiap. Tubuh penuh gelegak api berdiri dihadapannya. Tinggi, besar, berkalung usus manusia dengan taring panjang dan mata membelalak berapi-api menggetarkan tubuh pudak.
“Sang Ibu…,” rintih Pudak lemah.
Sang Dewi terkekeh berat, lelehan bara menetes dari hidung, mulut dan telinga. Api, seluruh tubuhnya adalah api. Namun, pudak tidak merasakan panas. Kain Putih dikibaskan diatas kepala Pudak yang dihujani gerimis. Dia menangis dan menangis. Meronta pun takkan berguna dihadapan nyala Sang Dewi. Kata- kata pun menggigil bersembunyi diantara ibu dan anak kesayangannya.
Pudak ingin pulang, kembali tertawa bersama teman-temannya. Menikmati hingar bingar musik di klub malam langganannya sambil menikmati minuman dengan kadar alkohol tinggi. Dia hendak menambah gambar pada kulitnya yang coklat, sebuah tengkorak yang sedang menghisap rokok di pergelangan tangannya dan lukisan wajahnya di paha kanan. Menguap sudah semua yang dia damba. Hanya isak yang tertinggal. Residu-residu kenangan yang perlahan mengabur dilalap benderang Sang Dewi.
“Tidak ada yang bisa menolak Sang Dewi.” Burung hantu hitam turun dari dahannya lantas berbisik pada para Dwarapala.
“Sang Dewi telah menjemputnya. Dia akan tinggal,” balas Dwarapala.
Burung hantu hitam memanjangkan kepalanya, melongokkan lehernya ke dalam Pura lalu terbang kembali menuju sarangnya.
“Tidak ada yang bisa menolak Sang Dewi,” bisik si hitam.
“Penolakan dibayar nyawa,” kekeh burung hantu putih. (T)
A Gift for my birthday
Denpasar, 25 Agustus 2017