— Catatan Harian Sugi Lanus, 17 September 2017
PENDETA Bali (juga Hindu Bali dan dunia umumnya) menyebut geografi India dan berbagai sungai dalam mantra-mantra suci, kenapa?
Jika ‘Gagelaran Pemangku’ (Pedoman Pendeta Pemangku) kita baca, dari cuci muka, menghadap beji (permandian), bahkan sampai doa buang air besar, selalu diawali dengan menyebut dan memuliakan ‘Gangga’. Salah satu mantra yang cukup lengkap menyebut ‘geografika India’ dalam mantra memercikan air suci ‘sapta gangga’, sebagai berikut:
“Ong Gangga ya namah swaha,
Ong Sindhuwatinca ya namah,
Ong Ang Saraswati ya namah,
Ong Ang Wipasa ya namah,
Ong Ang Korsika ya namah,
Ong Ang Yamuna ya namah,
Ong Ang Srayu ya namah swaha.”
Berbagai praktek-prosesi pembuatan tirta (air suci) hampir tak satupun puja-mantra-sesontengan yang tidak menyebut ‘titik-titik geografika’ India, bukan hanya sungai tapi juga gunung-gunung dan bentangan alamnya.
Ada sebuah surat Rabindranath Tagore yang sekiranya memberi penjelasan sangat menarik dan mendalam. Di Tirta Empul, Bali, Rabindranath Tagore merenungkan hal itu dengan serius, setelah ia tercenung dengan pengalaman ketibaannya di Bali, mendengar bagaimana orang Bali hafal luar kepala nama-nama sungai di India dan berbagai ungkapan geografika India.
Begini tulis Rabindra dalam suratnya yang ditujukan kepada Mira Devi:
“Di satu tempat, di mana kita melihat sekilas laut biru melalui sebuah celah di hutan, raja [raja Karangasem yang dimaksud] tiba-tiba keluar dengan kata ‘samudra’; (bahasa Sanskerta untuk ‘laut’). Menemukan saya terkejut dan senang saat itu, dia terus mengulangi sinonim: ‘samudra’, ‘ságara’, ‘abdhi’, ‘jaládhya’, melanjutkan dengan menyebut ‘sapta samudra’ (tujuh lautan), ‘sapta-parvata’ (tujuh gunung), ‘sapta-vana’ (tujuh hutan), ‘sapta-ákásha’ (tujuh langit).
Kemudian menunjuk ke bukit, dia pertama kali memberi kata Sanskerta untuk itu, ‘adri’, dan melanjutkan untuk mengulang nama: Sumêru, Himálaya, Vindhya, Malaya, Rishyamukha. Kemudian, ketika kami sampai di sebuah sungai yang mengalir di sepanjang kaki bukit, dia melanjutkan: Gangá, Yamuná, Narmadá, Godávarî, Káverî, Saraswatî.”
Rabindra menulis pengalamannya ini setelah dari jam 3 sore berkendaraan dengan raja Karangasem, dari Bangli menuju Puri Karangasem.
Rabindra melanjutkan menulis, bagaimana ‘persentuhan geografika kognitif’ antara manusia Bali dengan India saling bertemu secara kognisi, dan tetap hadir menjadi denyut jiwa manusia Bali. Ia menelisik, mencari benang merah dan titik pergerakan kenapa di dalam pikiran orang Bali terdapat bentang alam India, menjadi peta kognisinya:
“Ada suatu masa dalam sejarah kita ketika kesadaran geografis India terbangun sampai pada suatu intensitas tinggi, dan ketika dengan proses meditasi di pegunungan, sungai dan fitur lainnya, dia benar-benar mengesankan karakteristik fisiknya sendiri dalam pikirannya. Tempat ziarahnya diatur sedemikian rupa ― Cape Kanya-kumari di selatan, Danau Manas-sarovar di utara, Dwarka di pantai barat, Gangga-sagar di mulut Sungai Gangga di timur ― bahwa seorang peziarah melaluinya semua mungkin bisa mendapatkan konsepsi mendalam tentang karakter negaranya; karena geografi India tidak hanya bisa diketahui, tapi juga kenalan intim didapat dengan orang-orangnya yang berbeda. Itu karena keinginan India untuk mencapai persatuannya sendiri saat itu benar, sehingga dengan demikian menemukan ekspresi spontan yang begitu indah. Penghormatan diri sejati tidak pernah sampai pada metode penipuan, artinya, ia tidak mencoba menipu diri sendiri dengan memberitakan ‘lip-union’ sementara dari platform publik.
Pada masa itu, ada usaha tulus untuk mencapai kesatuan penglihatan sejati. Kebiasaan India untuk bermeditasi atas citranya sendiri menyeberang dengan anak-anaknya yang giat pada masa itu dan bertahan di pulau yang jauh ini sedemikian rupa sehingga, bahkan setelah ini seribu tahun, teks meditasi itu terbentang dalam ucapan hormat raja ini. Ini membuatku heran, ―bukan karena mereka masih ingat teksnya setelah selang waktu ini, tapi untuk memikirkan kedalaman yang harus dicapai realisasi mental itu sendiri.
Betapa sederhana dan alami cara yang diambil untuk mewujudkannya dan ekspresinya permanen, ― ini menjadi jelas ketika kita sampai jauh ke pulau ini, sebuah pulau yang dilupakan oleh India sendiri. Betapa tekun raja tersebut mengucapkan nama Himalaya dan Vindhyachala, Gangga dan Yamuna; betapa bangganya dia terlihat mampu melakukannya! Geografi ini bukan milik mereka; secara eksternal mereka tidak berurusan dengan itu; namun, lagu yang penuh kasih yang awalnya ditetapkan nama ini masih terngiang di benak mereka. Dan saya dituntun untuk bertanya-tanya, lagi dan lagi, betapa sangat mungkin lagu ini pastinya.
Kita sekarang-satu hari sangat berguna dalam penggunaan istilah kesadaran nasional, tapi kesadaran nasional macam apa yang bisa ada, tanpa realisasi geografis dan etnologi yang sebenarnya? Kemudian Raja [raja Karangasem yang dimaksud]’ telah melanjutkan pengulangan ‘saptaparvata’, ‘saptavana’, ‘sapta -akasha’, maksudnya, kenangan akan gagasan India tentang dunia luar. Di bawah pengaruh pengetahuan India yang baru diperoleh, semua yang telah diusir dari pikirannya sendiri, melekat pada eksistensi yang genting di halaman-halaman Purana yang telah usang. Tapi di sini masih teringat dengan hormat. Raja lebih lanjut menyebut empat Veda, pelindung dari empat wilayah (Lokapala), Yama, Varuna, dan yang lainnya, delapan julukan Mahadeva, dan mencoba untuk menghitung 18 bab Mahabharata, namun tidak dapat mengingatnya keseluruhannya.”
Demikian penggalan surat yang ditulis Rabindra yang ditulis 31 Agustus 1927 di Tirta Empul, Bali ― saya beruntung mendapat seluruh surat-surat Rabindranath Tagore yang ditulis di Jawa dan Bali dari Supriya Roy, ‘penjaga’ arsip-arsip dan tulisan tangan Rabindranath Tagore, yang bekerja di Rabindra-Bhavana, Tagore Memorial Museum, Archives and Research Centre of Visva-Bharati selama tiga dekade, salah satu pakar senior terbaik dalam menulis berbagai aspek karya dan kehidupan Tagore.
Rabindra melihat bagaimana tradisi mantra suci ini lahir dari tradisi suci yang intens untuk penyatuan lahir-batin para guru suci India, ―penyatuan bentang batin dalam dengan bentang kesadaran geografis alam India ―, dimana di dalamnya berdetak energi dan keinginan batiniah berupa “usaha tulus untuk mencapai kesatuan penglihatan sejati”. Tradisi suci mempertemukan bentang alam dan bentang pikir ini, “bermeditasi atas citranya sendiri” menyeberang dan bertahan di pulau Bali, ribuan tahun setelah tradisi itu di tanah India disemaikan, dan tumbuh subur di Bali, “sebuah pulau yang dilupakan oleh India sendiri”.
Apa yang dipikirkan dan buah renungan Rabindra tentang peta kognisi ini, memang tidak pernah banyak dibahas atau dipertanyakan di Bali, kenapa orang Bali tidak menyebut Tukad Saba, Tukad Petanu, Tukad Penet, Tukad Ayung, Tukad Badung, Tukad Unda, Tukad Telaga Waja, Tukad Balian, Tukad Yeh Empas, Tukad Oos dan Tukad Melangit dalam mantranya, ―padahal ini sungai-sungai besar yang menghidupi pertanian subak di Bali ―, atau menyebut Danau Batur, Danau Beratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan, ―padahal ini sungai-sungai besar yang menghidupi pertanian subak di Bali ―, malah menyebut nama Vindhyachala, Gangga dan Yamuna?
Sekalipun Vindhyachala, Gangga dan Yamuna seakan mendominasi mantra berbahasa Sanskerta di Bali, jika diperhatikan dengan serius, dalam sisi lainnya tercermin “pola penyatuan bentang batiniah dan bentang alam” ini mewujud dalam mantra-sesontengan Bali, yang sangat menghormati “Catu Mujung” (Gunung Agung) dan “Catu Meres” (Danau Batur) dalam puja dan tercermin dalam altar-altar pemujaan (pelinggih) di semua sanggar-mraja (pemujaan keluarga) dan juga pelinggih di berbagai pemujaan yang tersebar di banyak desa-desa di Bali, penyebutan sumber air Telaga Waja, serta berbagai sumber-sumbe air lokal dengan para penjaga ruh suci lokal yang beragam, tampaknya ini menjadi pola penyatuan meditatif yang bisa jadi sebuah replikasi dari ‘template India’ tersebut.
Banyak sesontengan dengan intensitas tinggi menangkup apa yang di luar (bentang keindahan alam, sungai, pegunungan, ngarai dan lembah) menjadi bagian bentang alam pikir meditatif dan dikristalisasi menjadi tradisi pembuatan ‘tirtha’ atau ‘toya’ atau ‘pekuluh’ dan pembuatan berbagai ritual-odalan-karya di berbagai parahyangan atau pura dengan salah satu kulminasinya pada ‘turun tirtha’ atau penganugrahan berkat berupa air suci, ―yang tidak jarang merupakan air suci yang diambil dari berbagai mata air yang disucikan seantero Bali, bahkan dari berbagai mata air suci dari pulau lain―; bukankah ini sebuah praktek atau ritus bagaimana bentang geografika alam dipertemukan dalam tangkup mantra dan ritus? Lalu di-‘tunas”, diterima sebagai anugrah para dewa dan kekuatan kosmik, yang secara tak sadar menyusup kedalam tubuh dan alam batin manusia Bali semua bentang alam di luar itu menjadi manunggal dengan alam dirinya yang personal?
Apa yang personal, buat orang Bali, ― karena semangat dan ritus yang membesarkannya dalam menangkupkan semua bentang alam ini dalam air suci yang bersumber dari berbagai pelosok sumber air itu ―, tidak sepenuhnya bisa terlalu personal lagi. Ia digembleng menjadi menjadi bagian kosmologi dan geografika luar, sekaligus membentangkannya di dalam alam pikir, peta kognitif, yang disadari atau tidak, membentuk perjalanan rohani dan kejiwaannya, perspektifnya terhadap alam, juga terkandung di dalamnya potensi penguatan sekaligus pelemahan, karena terlalu lekat, bisa jadi tidak mampu berjarak dan menganalisa dengan kritis ― sekalipun memang tidak ada jaminan mereka yang berpikir kritis lebih ‘bahagia’ dibanding yang melakoni hidup dengan ‘nrimo’ atau ‘mula keto’. [T]