SEMUA ini berawal pada malam penghujung September 1965, Indonesia mengalami politik yang berdarah. Salah satunya ditandai dengan penculikan dan pembunuhan jendral angkatan darat. Itu juga adalah awal aku bisa masuk ke dalam jeruji besi yang sempit dan engap ini, dengan tuduhan, aku adalah salah satu anggota dari PKI.
Aku dianggap melakukan dosa besar terhadap negaraku. Aku disiksa, dimaki, dilecehkan oleh negaraku sendiri. Tahun 1965 sepertinya adalah tahun yang tak memberikanku ruang dan hak sebagai warga negara. Hingga, runtuhnya Orde Lama dan lahirlah masa Orde Baru yang dipimpin oleh seorang Jendral Besar.
Sehari setelah menerima Supersemar, atas nama Presiden Soekarno, Soeharto membubarkan PKI. Orang-orang PKI wajib lapor ke Penguasa Perang Wilayah Daerah selambat-lambatnya akhir Maret 1966. Tiga hari setelah itu, 15 anggota Kabinet Dwikora ditangkap. Pimpinan DPR-GR juga memecat 63 anggota dari PKI. Semula Soekarno mempertanyakan semua langkah itu. Tapi, Seoharto yang telah diangkat menjadi Menteri Hankam jalan terus.
Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno, Nawaksara, maupun Pelengkap Nawaksara, ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto diangkat menjadi Presiden dalam Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Mulai saat itu dikenal istilah Orde Baru.
Sepuluh tahun sudah aku mendekap dalam ruangan ini. Banyak orang berkata, surga dunia. Tapi bagiku hanya ada kata, neraka dunia. Sepuluh tahun aku makan bersama belatung, lalat, nyamuk, dan kecoa.
Sekitar tahun 1980-an. Seorang pemuda terpelajar datang padaku. Raden. Ya, Raden Ranu Wihardja nama lengkapnya. Ia ditangkap secara paksa karena melawan pemerintahan yang otoriter. Aku akui, aku tak terlalu memperhatikan Raden saat pertama melihatnya. Tampaknya angin sepoi akan segera menghempas tubuhnya waktu itu. Itulah kesan pertamaku.
“Bagaimana, menurutmu, Bung?” tanya Noer, pencuri kelas kakap yang satu sel bersamaku. Sebelumnya dia telah membuat kesepakatan taruhan beberapa batang rokok, untuk para tahanan baru yang bakal menangis malam nanti.
“Aku bertaruh pada pemuda yang tinggi itu.”
“Orang itu? Tak mungkin.”
“Taruhan 10 batang rokok. Aku yakin kalau anak muda itu akan menangis mencari ibunya dalam sel nanti.”
“Itu taruhan yang banyak.”
Hari itu, Raden menjadi ajang taruhan kami berdua. Aku menebak, kalau Raden akan menangis nanti malam di penjara. Sedangkan Noer memilih seorang yang berbadan gemuk dan agak sedikit menyeramkan. Kalau Raden menangis, maka aku akan mendapatkan sepuluh batang rokok. Dan kalau Raden tidak menangis, maka aku yang harus memberikan sepuluh batang rokok kepada Noer. Ritual penjara.
* * *
Malam pertama adalah malam yang terberat, itu tak diragukan lagi. Mereka membariskan para tahanan baru. Tak ada yang berani mengucapkan “ah” sekalipun. Kalau ada yang berani bicara, siap-siap sepatu lars mendarat ke perut. Lalu para serdadu itu memasukkan mereka dalam sel dan saat jeruji sel terbanting menutup saat itulah kau tahu kenyataan yang kami hadapi. Kehidupan lama terhempas dalam waktu sekejap saja. Tak ada yang tersisa selain hanya waktu untuk mengenangnya. Kebanyakan penghuni baru nyaris gila pada malam pertamanya. Selalu ada yang menangis. Satu-satunya pertanyaan adalah… siapa yang akan menangis? Kurasa bisa saja aku bertaruh untuk siapa saja. Aku bertaruh untuk Raden Ranu Wihardja.
“Matikan lampu!” teriak seorang petugas penjaga sel.
Seketika yang terlihat hanya gelap, bayangan pun tak ada. Kuingat malam pertamaku di tempat ini. sepertinya sudah lama sekali.
“Hai, anak baru. Anak baru.” Suara dari balik jeruji sebelah.
“Apa kau takut gelap? Apa kau rindu dengan ayah ibumu?”
Penghuni lain suka mengusili penghuni baru. Dan mereka tak akan berhenti sebelum ada yang kena.
“Hai, Gendut. Gendut! Bicaralah padaku, Nak! Aku tahu kau di situ sedang menangis, jangan dengarkan orang-orang bodoh itu, mengerti? Tempat ini tak begitu buruk. Begini saja… aku akan memperkenalkanmu, membuatmu merasa betah. Aku tahu dua orang homo di sini… yang akan senang berkenalan denganmu. Terutama bokongmu yang besar, putih dan lentur itu.”
Sepertinya itu suaru Noer, dan aku mulai curiga kalau Noer akan menang dengan taruhan itu. terdengar si pria gendut itu mulai menangis sesegukan.
“Ya, Tuhan! Tempatku bukan di sini!” si Gendut mulai berteriak.
“Kita punya juaranya!” teriakan para penghuni penjara membuat gaduh suasana.
“Aku mau pulang!”
“Si Gendut yang akhirnya menangis!” teriak Noer padaku, menandakan kalau aku kalah, dan disambut gemuruh teriak, sorak, tepuk tangan dari semua penghuni penjara.
“Anak baru! Anak baru! Anak baru!” sorai-sorai penghuni penjara bagaikan sedang nonton konser atau nonton sepak bola. Seirama dan senada.
Si Gendut semakin histeris. Dia berteriak, Aku ingin pulang! Aku ingin pulang! Aku ingin bertemu ibuku. Terlihat beberapa petugas mulai masuk. Suara lars terdengar. Sepatu lars yang dibeli dari uang rakyat. Sayang, sepatu lars dari uang rakyat itu ternyata untuk menggampar rakyatnya sendiri.
“Kenapa kalian sangat ribut?” teriak kepala petugas menggelegar. Semua terdiam seketika dan hanya si Gendut yang masih berteriak ingin pulang.
“Apa masalahmu, Gendut?” tanya petugas.
“Aku mohon! Aku seharusnya tidak di sini.” jawabnya dengan menangis dan meminta belas kasihan.
“Aku takkan hitung sampai tiga. Bahkan sampai satu. Kau diamlah, atau aku akan membungkammu!”
“Diamlah, Bung. Diamlah!” para penghuni saling berbisik.
“Kalian tidak mengerti. Tempatku tidak di sini.” Si Gendut makin histeris. Tak peduli apa yang akan dilakukan petugas terhadapnya.
“Buka selnya!” perintah Kepala Petugas.
Kembali gembok beradu dengan kunci. Pintu besi bergeser. Seketika ditarik lengan Si Gendut keluar. Tanpa basa-basi, kepala petugas meluncurkan bogem mentah ke wajah Si Gendut, langsung darah kental meluncur dari bibirnya. Si Gendut tersungkur. Menata kekuatan, Si Gendut mencoba bangkit kembali. Sayang Si Gendut belum mampu menegakkan tubuh, sepatu lars mendarat ke perutnya. Mual seketika. Nyaris semua isinya muncrat dari perutnya.
“Dasar berengsek!” Kepala Petugas membentak.
Tanpa ampun, kepala petugas menghajar Si Gendut malang itu. Benar-benar kejam. Tak tahan lama. Si Gendut terlihat tak sadarkan diri. Telentang tak punya harapan. Kepala berlumur darah. Beberapa gigi terpental. Isi perut keluar.
“Jika kudengar ada lagi keributan malam ini… sumpah demi Tuhan, akan kukirim kalian semua ke klinik.” Teriak kepala petugas menyiutkan nyali kami walau hanya ingin berkata “ah”.
“Panggil pengawas. Bawa si brengsek ini ke klinik.” Perintah Kepala Petugas.
Sunyi kembali hadir. Sepi kembali tersua. Gelap malam semakin tua di ruang tanpa cahaya ini. sepertinya di luar malam begitu muram. Tanpa bintang. Tanpa rembulan. Dingin kemudian terasa. Udara terasa anyir. Langit terluka. Bumi menangis. Melihat para rakyat dibantai di negerinya sendiri.
Di malam pertamanya, Raden membuatku kehilangan sepuluh batang rokok. Dia tak bersuara sedikit pun.
* * *
Keesokan harinya, seperti biasa, ketika sirine berbunyi, kami para tahanan harus bersiap-siap untuk berbaris dengan rapi, seperti anak-anak SD yang akan melakukan upacara hari Senin. Semua pintu sel terbuka. Dan semua tahanan keluar dengan ekspresi yang macam-macam. Aku melihat Raden tampak kebingungan. Wajar. Dia anak baru di sini.
“Bersiap untuk berbaris.” teriak petugas.
Kami semua berbaris seperi kerbau yang dicucuk hidungnya.
“Jalan berbaris!” Kembali petugas berteriak.
Kami semua berjalan menuju tempat makan. Satu persatu penghuni penjara mengambil jatah makanannya. Tak perlu aku ceritakan bagaimana dan apa yang kami makan. Silahkan kalian bayangkan sendiri. Aku melihat Raden tampak sedang memperhatikan sesuatu dalam piring nasinya. Ya, dia melihat belatung sebesar jari kelingking bayi sedang asyik menggeliat berpesta dalam nasinya. Jangan heran. Itulah salah satu makanan kami sehari-hari. Entah nasi abad keberapa yang kami makan.
“Apa kau akan memakannya?” tanya seorang kakek di sebelahnya. Dengar-dengar cerita, bahwa kakek ini sebenarnya adalah termasuk veteran yang ikut berjuang membela tanah air. Tapi senasib denganku yang dianggap anggota PKI. Padalah kami tidak tahu apa itu PKI. Kami tetap sholat, kami tetap Islam, tapi memang kami mendukung PKI. Dan itu tidak usah aku jelaskan.
“Entahlah, aku belum merencanakannya.” jawab Raden singkat dan masih tampak terheran-heran.
“Keberatan jika kuminta?” kakek itu kembali berkata.
Dengan wajah jijik Raden memberikan belatung itu pada kakek tua.
“Kelihatanya enak dan matang.” celetuk kakek tua.
Lalu, kakek tua itu menyingkap bajunya dan menyodorkan belatung itu pada seekor burung kecil yang jatuh dari sarangnya dan kakek tua itu hendak memeliharanya hingga besar.
“Dia mengucapkan terimakasih padamu.” kata kakek tua.
Raden hanya menganggukkan kepala dan mulai memakan ubi rebus jatahnya. Memang hanya ubi rebus yang tampak berselera dan layak dimakan.
“Hai, kawan-kawan. Pagi yang cerah, ya?” Noer datang.
Tanpa basa-basi, dengan perasaan kesal, sepuluh batang rokok aku pindah tangankan kepadanya sebagai ritual penjara.
“Lihat kawan. Mereka berbaris seperti paduan suara.” kata Noer sambil mencium satu persatu setiap batang rokok.
“Bagaimana kabar Si Gendut itu?” lanjut Noer.
“Mati. Kepala Petugas memukul kepalanya cukup keras. Dokter sudah pulang saat malam hari. Si Gendut malang itu masih berbaring di klinik sampai pagi. Tak ada yang bisa kami lakukan.” jawab seorang narapidana yang sedang bertugas membantu di klinik malam itu.
Semua terdiam. Hanya suara kecap mulut mengunyah makanan yang tak jelas rasanya.
“Siapa namanya?” Kami semua kaget dan menggangkat kepala. Ternyata itu Raden yang berbicara.
“Kau bilang apa?” kata Noer yang duduk tak jauh darinya.
“Aku hanya ingin tahu namanya.”
“Apa pedulimu, anak baru? Tak peduli siapa namanya. Dia sudah mati.”
* * *
Pada awalnya, Raden suka menyendiri. Kurasa dia memikirkan banyak hal… berusaha beradaptasi dengan kehidupan di dalam penjara. Tak sampai sebulan dia pun berbicara.. .mengucapkan satu atau dua patah kata pada seseorang. Dan ternyata… seseorang itu adalah aku.
“Namaku Raden Ranu Wihardja.” Dia memperkenalkan diri.
“Seorang mahasiswa dan wartawan yang mengkritik dan menulis berita tentang kecurangan pemerintah.” kataku.
“Aku mengerti kau pria yang tahu cara mendapatkan barang-barang.”
“Aku terkenal bisa menemukan barang-barang tertentu.”
“Aku ingin kau mencarikan martil untukku.”
“Apa?”
“Martil.”
“Untuk apa dan kenapa?” tanyaku heran. Buat apa seorang wartawan meminta martil.
“Apa pedulimu?”
“Kalau itu rokok, sikat gigi, takkan kutanya. Aku akan sebutkan harganya. Karena itu barang cukup berbahaya, bukan?”
“Benar juga. Martil yang panjangnya sekitar enam atau tuju inci. Mirip kapak kecil.”
“Kapak kecil?”
“Untuk batu.”
“Batu kuarsa?”
“Dan batu mika, batu sabak…dan batu gamping.”
“Jadi?”
“Aku adalah penggali batu. Setidaknya itu yang aku lakukan dulu. Dan aku ingin mengulanginya lagi. Aku suka mengukir.”
“Maka kurasa kau akan pakai itu untuk kabur. Mungkin gali terowongan di tembok.” Dia tertawa mendengarkan perkataanku itu. “Apa yang aku lewatkan? Apanya yang begitu lucu?”
“Kau akan mengerti bila kau lihat sendiri martilnya.”
“Yang perlu aku ingatkan, karena itu barang cukup berbahaya, saranku kau hati-hati, Nak. Penjaga selalu melakukan pemeriksaan sel secara mendadak.”
“Terimakasih atas saranya.”
“Itu geratis.”
Dia tersenyum penuh arti. Tapi, aku tak tahu secerca arti pun di balik senyuman itu.
Kini aku tahu kenapa beberapa tahanan segan kepadanya. Dia mememiliki ketenangan… cara berjalan dan bicara yang tak biasa di tempat ini. Dia hanya berjalan… seperti pria di taman yang tak mempedulikan apapun. Seolah dia memakai jubah yang tak terlihat yang akan melindunginya dari tempat ini. Kurasa benar juga bila kukatakan… aku menyukai Raden sejak awal bertemu.
* * *
Raden benar. Aku mengerti apa yang dia tertawakan. Perlu waktu 600 tahun… untuk menggali terowongan di balik tempok dengan benda ini. Martil. Ya, sebuah martil yang panjangnya hanya enam inci. Sudah aku dapatkan dari pengiriman barang makanan. Benda kecil ini diselipkan dikarung-karung makanan. Ini memang pekerjaan sepesialisku.
Untuk beberapa saat keadaan berjalan dengan baik-baik saja. Hanya terjadi rutinitas penjara… dan lebih banyak rutinitas. Sering kali, Raden muncul dengan wajah lebam yang masih segar. Ya, setrum. Listrik itu menyengat tubuhnya. Sengatan nan menggetarkan. Sengatan nan panas. Tubuhnya terguncang. Itu semua dilakukan oleh para petugas yang sok kuasa itu. Wajah boleh biru legam. Tubuh boleh babak belur. Tangan dan kaki boleh dicancang. Namun tidak ada yang bisa mengalahkan keberanian. Tidak bisa melawan tekad. Hanya satu kata; lawan!
Aku percaya dua tahun pertama adalah tahun-tahun terburuknya. Dan aku juga percaya bahwa bila semua berjalan seperti itu… tempat ini bisa menghancurkan semangat hidupnya.
Tapi kemudian pada tahun 1996 tersiar berita harga-harga kebutuhn melambung tinggi, daya beli masyarakat pun berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahaiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat. Demonstransi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998.
30 tahun aku mendekam dalam penjara. Asam garam sudah aku rasakan. Tipe-tipe orang sudah aku temui. Dari yang paling kejam hingga yang paling penakut. Tapi baru kali ini aku bertemu tahanan cerdas dan pemberani. Pada hari itu akhirnya aku tahu… buat apa sebenarnya martil yang dia mau.
“Kupikir, sebentar lagi aku akan keluar dari neraka ini.” katanya dengan percaya diri.
“Apa?” tanyaku kaget dan setengah tidak percaya.
“Ya, aku akan segera keluar dan menlanjutkan perjuangan. Kita akan segera bebas. Kehidupan yang merdeka akan benar-benar kita raih. Ketika aku keluar, aku akan bersihkan namamu.”
“Harapan itu berbahaya, Nak.”
“Tidak, kalau kita punya keyakinan.”
“Itu hanya akan menjadi impian yang sia-sia, Nak.”
Dia hanya tersenyum aneh.
Aku mulai mengkhawatirkan Raden. Dia mulai bertingkah aneh. Tertawa sendiri. Diam beberapa saat. Meminta tali. Tempat barang yang anti air. Sebuah poster besar. Dan sebuah senter kecil. Aku menuruti semua apa yang ia butuhkan. 10 tahun sudah dia di dalam penjara. Dia juga manusia. Dia punya titik jenuh. Dia punya titik frustrasi. Dan aku khawatir dengan tali itu. tapi, aku tidak akan berpikir yang aneh-aneh. Raden adalah pemuda cerdas, idealis, pelopor, pendobrak, merdeka dan kritis. Tidak mungkin dia punya pikiran untuk membunuh dirinya, ketika perjuangan melawan kekuasaan tirani dirasa belum selesai. Dia tidak akan menyerah secepat itu.
Aku harus melewati malam yang panjang itu hanya untuk memikirkannya. Sendiri dalam kegelapan tanpa apapun selain pikiranku… waktu bisa berubah menjadi pisau. Itulah malam terpanjang dalam hidupku.
* * *
Keesokan harinya. Seperti biasa. Kami harus berbaris seperti anak SD yang sedang upacara hari Senin. Semua tahanan keluar dari sel masing-masing. Kecuali satu orang…
“Raden! Lekas keluar. Kau menunda kami semua!” Teriak petugas. Tak ada jawaban. Pikiranku sudah tak punya pikiran apa-apa, kecuali tali yang ia minta. Ternyata ia tak sekuat dari apa yang aku kira. Sungguh malang nasibmu, Nak.
“Jangan paksa aku ke sana atau akan kupukuli kepalamu!” kembali petugas berteriak. Tetap tak ada respon dari Raden. Semakin yakin kalau anak itu bunuh diri.
Dengan marah petugas segera bergerak menghampiri sel Raden.
“Ya, Tuhan.” ucap petugas. Aku menundukkan kepala sejenak. Merasa menyesal, aku memberikannya tali.
“Mana, Raden?” teriak petugas. Aku mengangkat tegak kepalaku. Semua orang yang berada di sana waktu itu kaget terheran-heran. Apa yang terjadi sebenarnya?
“Panggil teman dekatnya!”
Aku diseret oleh petugas untuk memberikan jawaban atas tidak adanya Raden dalam sel.
“Kulihat kalian sering berdua. Kalian sangat dekat. Dia pasti katakan sesuatu. Ke mana dia?” tanya Kepala Petugas padaku.
“Tidak, Pak Kepala Petugas. Saya tidak tahu. Dan dia tidak mengatakan sepatah kata pun.”
“Sebuah keajaiban. Seorang pria lenyap bagai buang angin. Tak ada yang tersisa kecuali beberapa batu di jeruji jendela. Dan poster di dinding itu. Mari kita tanyai dia. Mungkin dia tahu. Kurasa tidak.” ucap Kepala Petugas penjara dan melempar beberapa batu padaku dan pada poster itu. Betapa kegetnya kami semua, ketika batu itu dilempar ke poster, poster itu robek. Dengan heran petugas menghampiri poster itu dan merobeknya dari dinding, dan ternyata…
“Cari si brengsek itu. Dia melarikan diri.”
Di akhir tahun 1997… Raden Ranu Wihardja melarikan diri dari penjara. Para petugas menelusuri jejaknya. Beberapa batalion dikerahkan beserta pasukan anjing pelacak. Yang mereka temukan hanyalah pakaian penjara berlumpur… seutas tali, tempat barang anti air dan sebuah martil tua… yang terpakai sampai hampir rusak. Kupikir butuh waktu 600 tahun.. .untuk menggali terowongan melewati dinding seperti itu. Raden melakukannya dan itu kurang dari 20 tahun. Raden menyukai geologi. Menggali memang hobinya.
Raden merangkak menuju kebebasan sejauh 457 meter… melewati pipa kotoran berbau busuk yang tak bisa kubayangkan. Atau mungkin aku tak ingin membayangkannya. 457 meter. Itu sama dengan panjang lima lapangan futbol. Hampir sama dengan setengah mil. Demi kebebasannya dan kebebasan rakyat.
Itulah jawaban dari sebuah martil untuk menggali, poster besar untuk menutupi lubang terowongan, sebuah tali untuk mengikat barang-barang bukti, sebuah senter sebagai penerang, dan sebuah tempat barang anti air untuk penyimpanan barang bukti, karena memang dia melarikan diri lewat jalur yang basah.
Kurasa itu juga adalah awal kehanjuran rezim para koruptor. Raden lari dari penjara tidak dengan tangan hampa. Dia membawa berkas-berkas catatan akuntansi penjara. Dari mulai berkas pajak, pemasukan kas, pengeluaran kas. Uang bantuan negara untuk pembangunan dan fasilitas para tahanan yang dimasukkan dalam saku pribadi Kepala Petugas dan Kepala Penjara. Memang, selama Raden di penjara, dia dipercaya menjadi akuntan penjara, karena dia memang mahasiswa ekonomi. Sekali lagi harus aku katakan, aku menyukainya.
* * *
Keesokan paginya, tepat saat Kepala Penjara mengungkap rahasianya… seorang pria yang tak pernah terlihat sebelumnya… masuk melenggang ke Kantor KPK. Tak menunggu lama. Koran pagi dan secangkir kopi membuat Kepala Penjara dan Kepala Petugas kebakaran jenggot. KORUPSI, PENGANIAYAAN DAN PEMBUNUHAN DI PENJARA.
Aku tak ada di sana melihatnya… ketika aparat kepolisian dan pejabat KPK menghampiri Kepala Penjara dan Kepala Petugas. Tapi kudengar Kepala Petugas menangis seperti gadis kecil saat dia ditahan. Kepala Penjara tak berniat ditahan setenang itu. Dia mengakhiri hidupnya dengan menembakkan pistol tepat di tenggorokannya. Sungguh akhir yang malang dan tragis.
Pada Mei 1998, pemerintah mengumumkan kenaikan BBM dan ongkos angkutan. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakannya oleh para mahasiswa, terutama setelah beredarnya keputusan itu. mahasiswa mengagendakan reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, seperti: adili Soeharto dan kroni-kroninya, laksanakan amandemen UUD 1945, hapuskan Dwi Fungsi ABRI, pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, dan ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Gedung parlemen, yaitu Gedung Nusantara dan gedung-gedung DPRD di daerah, DPR/MPR menjadi tujuan utama mahasiswa dari berbagai kota di Indonesia.
Hingga Kamis, 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengunduran diri sebagai presiden Republik Indonesia. Aku tersenyum mendengar betapa tenangnya presiden berpidato.
Beberapa minggu setelah lengsernya rezim Orde Baru, ada kabar bahwa aku mendapatkan kebebasan bersyarat. Dan nama baikku bersih dari tuduhan anggota PKI. Aku juga mendapat kabar bahwa yang telah membebaskanku adalah seorang pemuda yang awalnya menjadi ajang taruhan dan menjadi ritual penjara. Ya, dia. Seorang pendobrak. Pelopor. Kritis. Dia. Raden Ranu Wihardja.
Seorang petugas memberikan sepucuk surat padaku.
Hai, Pak Tua!
Sudah aku bilang, bahwa suatu hari nanti aku akan membersihkan namamu dan membebaskanmu…
Terimakasih atas barang-barang yang telah kau berikan padaku… tak butuh 600 tahun untuk menggali sebuah terowongan dibalik dinding yang berbahan baku batu yang rapuh… jangan remehkan seorang penggali batu.
Temui aku di Jawa Timur. Di pabrik penerbitan buku dan koran. Aku membutuhkan orang yang bisa mendapatkan barang-barang…
Temanmu,..
Raden,.
Aku berharap bisa bertemu temanku dan menjabat tangannya. Kuharap lautan Jawa itu sebiru seperti diimpianku. Kuharap begitu. (T)
Singaraja, 1 Maret 2017
Catatan: Cerpen ini terinspirasi dari filim The Shawshank Redemption (1994). Dari mulai dialog sampai alur cerita diambil dari film tersebut, kecuali latar dan tokoh cerita.