BAGAIMANA jika seniman tato jatuh cinta kepada seorang perempuan yang ditatonya? Ya, biasa-biasa saja. Sama dengan dokter jatuh cinta pada pasiennya, pelukis pada model yang dilukisnya, atau cinta tukang kredit pada nasabahnya.
Tapi seniman tato yang jatuh cinta, lalu pacaran dengan perempuan yang ditatonya, mungkin ceritanya lebih unik. Jika putus cinta, tato yang dibuat si seniman tato akan melekat di tubuh perempuan yang meninggalkannya. Dan, itu membuat si seniman tato akan terkenang-kenang selalu, apalagi lokasi tato itu berada di wilayah sensitif, semisal di bawah pusar, di payudara, atau di bagian vital yang paling vital.
Begitu juga dengan kisah cinta saya. Saya – seniman tato yang kini merana, karena cinta.
Pada suatu hari yang cerah, saya dipanggil seorang perempuan ke sebuah pondokan tempat mukim sejumlah perempuan pekerja kafe. Di daerah saya, perempuan pekerja di kafe (waitress) biasa dipanggil cewek kafe. Saya datang ke pondokan itu, tentu dengan hati berdebar karena melihat sejumlah perempuan baru saja bangun tidur, masih menggunakan pakaian tidur yang transparan dan seksi, padahal hari sudah siang benderang.
Perempuan yang memanggil saya, sebut saja namanya Raysa, minta dibuatkan tato pada leher bagian belakang. Tato bintang. Saya tak tanya apa apa arti bintang bagi dia, saya hanya tukang tato, ya, hanya nato.
Saat nato, tak banyak terjadi obrolan antara saya dan Raysa. Kami diam dengan kesibukan masing masing. Saya sibuk nato, dia sibuk nahan sakit. Satu jam setelah tato bintang di belakang lehernya selesai, dia minta pin BBM, terus saya berikan. Saat itu saya belum merasakan apa-apa, belum jatuh cinta, tapi sudah terbit sedikit angan-angan aneh.
Setelah itu tak banyak terjadi obrolan dalam BBM, paling-paling hanya sebatas like PM saja. Namun tiga harinya kami bertemu secara kebetulan dan kami ngobrol banyak. Dalam obrolan itu dia mulai memuji-muji saya dengan segala kelihaianya dia membuat saya seakan melayang di antara awan, hahahahha…
Selang beberapa hari kami bertemu lagi secara tak sengaja, seakan-akan hal gaib yang membuat kami bertemu secara kebetulan. Obrolan pun makin cair, akrab, dan makin berani. Saat itulah saya merasa ada yang salah ketika secara membabi buta dia menyatakan suka sama saya dan tanpa sempat memberi kesempatan saya untuk bertanya alasan sukanya.
Karena saat itu saya memang berada dalam keadaan tuna asmara, jadi saya terima saja cintanya. Naluri lelaki saya pun bangkit. Kami pacaran. Biasalah, selama pacaran, kadang bertengkar, kadang putus sebentar, kadang nyambung lagi. Begitu selalu.
Di tengah-tengah masa pacaran saya sempat membuat sejumlah gambar tato lagi di bagian tubuhnya. Selain gambar bintang di belakang leher yang saya buat saat pertama kali berkenalan, saya juga menggambar ragam tulisan “love” di punggung. Ada juga gambar pita kecil di jari manis sama pita besar di kakinya. Yang paling terkenang adalah tribal mawar di bawah pusar. Saya ingat sekali bagaimana tergetarnya hati saya saat menorehkan tato mawar di bawah pusar itu.
Tapi masa-masa indah itu hanya berlangsung sekitar enam bulan. Raysa saya ketahui punya gelagat berhubungan asmara dengan salah seorang tamu langganannya di kafe tempat ia bekerja. Saya uring-uringan. Hubungan kami pun jadi buruk.
Dan, begitulah, kami putus. Raysa pergi meninggalkan saya. Saya merana. Benar-benar merana. Meski ia hanya seorang cewek pekerja kafe, namun saya benar-benar jatuh cinta padanya.
Saya adalah korban dalam kisah asmara ini. Tapi saya tetap bangga dengan diri sendiri karena mampu mencintai dengan rasa sabar terhadap cewek pekerja di kafe. Bayangkan. Pekerjaan dia adalah menemani tamu laki-laki setiap malam. Dan, saya tak peduli soal itu. Saya tak pernah marah, meski tingkahnya terhadap tamu kadang membuat hati panas dirajam cemburu.
Ini adalah keprofesionalan saya dalam mencintai seorang perempuan. Meski perempuan itu setiap malam harus bertemu laki-laki lain. Sebab cinta bagi saya bukan sistem barter yang harus mendapat imbalan yang sesuai dari apa yang saya berikan (sok bijak padahal nyesek).
Begitu besar cinta saya kepadanya. Tapi ternyata cinta dia tak seawet tato mawar yang saya buat di bawah pusarnya. Saya mengingat semua: detik demi detik jarum yang saya tusukkan di bawah pusar, dan detik demi detik geliat yang dia pertunjukkan saat menahan sakit. (T)
Singaraja, Juli 2017
*Prosa ini ditulis berdasar kisah nyata