BUNYI itu adalah elemen dasar. Seperti halnya elektron, proton, dan neutron.Tiga elemen tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya alam semesta. Sama halnya dengan bunyi. Bunyi itu dihasilkan dari gesekan antara dua benda, kemudian menghasilkan getaran (frekuensi). Tidak semua frekuensi dapat didengar oleh telinga manusia karena keterbatasannya yang hanya mampu mendengar frekuensi 20-20.000Hz.Contoh, suara hembusan angin pada kecepatan sedang 43 km/jam.Secara kalkulasi ilmiah frekuensi dari suara tersebut adalah 500Hz.
Dikehidupan sehari-hari, benda-benda disekitar kita menghasilkan bunyi: baik benda padat, cair, maupun gas. Tiga jenis benda tersebut menghasilkan warna atau timbral yang berbeda. Semakin tipis sebuah benda, semakin nyaring suara yang dihasilkan. Begitu pula dengan benda yang tebal akan menghasilkan suara yang berat. Hal itu bergantung pada intensitas, panjang, lebar, dan volume suatu benda.
Dari statemen tersebut, kami terinspirasi untuk membuat eksperimen kasar dari segala kemungkinan bunyi yang ada dan menyederhanakannya.Kami tertantang untuk menguasai kondisi dari lokasi pementasan karena tempatnya yang cukup luas dan banyaknya polusi suara (decibel). Beruntung, di dalam lokasi terdapat banyak material yang bisa kami gunakan, seperti kayu, bambu, besi, pipa plastik dan lain-lainnya. Alhasil, kami sepakat untuk menjadikannya berbagai macam instalasi.Misal, menggantungkan seng, penggorengan dan fitting neon pada pohon-pohon Jepun.
Mengapa?
Kami merangkum tata bunyi tersebut menjadikannya sebagai aliran minimalis dengan konteks eksperimental. Pada dasarnya benda-benda yang disebutkan pada instalasi diatas bersifat band frequency atau unison yang berarti memiliki pitch yang sama. Akan tetapi banyak distorsi suara berbeda yang diperoleh bila benda-benda ini dimainkan; dipukul. Sehingga menghasilkan semacam overtone series atau harmonic series. Dengan kata lain adanya suatu bunyi yang satu octave lebih tinggi dari benda tersebut.
Demi meminimalisir ke-mo-no-to-nan dari berbagai macam instalasi, kami menginterpretasikan beberapa karya dari komposer-komposer musik besar dunia, seperti: Igor Stravinsky (komposer Rusia) dalam karya beliau yang berjudul “Rite of Spring” dalam pergerakan pertama (Ritual Abduction); Steve Reich (komposer Amerika) dalam karya beliau yang bernama “Clapping Music”. Jadinya kami mengadaptasikan komposisi tersebut ke dalam instalasi buatan.
Tak luput juga kami kembangkan pola-pola rhythm; form; free-improvisational yang menarik. Juga beberapa komposisi musik atau olah bunyi yang saya sisipkan sekreatif mungkin dengan gagasan-gagasan cerdas dari sang sutradara Santiasa Putu Putra dan penata gerak Rizki Wahyu.
Keunikan?
Ada beberapa terminologi dalam musik yang cukup menarik.Misal, pada instalasi gitar, kami menggunakan beberapa sistem tuning yang berbeda selain 440Hz (tuning standar) pada instrumen musik pada umumnya. Ada yang kami tuning menjadi 432Hz, terlebih lagi kami mencoba mengenalkan prepared guitar dalam instalasi gitar tersebut. Kami menyiapkan gitar yang keenam senarnya dijepit menggunakan Alligator Clips yang berukuran kurang lebih 3,5 mm.
Alhasil suara yang diperoleh seperti gamelan. Memasuki lebih dalam dari istilah yang disebut, akan membawa kita kedalam complex tuning system dengan kata lain cents. Cents adalah satuan logaritma untuk mengukur intervals pada musik.Sebagai contoh jika kita memainkan nada C pada suatu instrumen, katakanlah piano. Dalam nada tersebut kita bisa bagi lagi menjadi ½, ¼, 1/8, 1/16, 1/32 hingga seterusnya. Alhasil, pembagian tersebut akan membawa kita kedalam microtonal.
Microtonal juga banyak ditemukan pada gamelan. Yang berarti tonal dari bunyi gamelan tersebut tidak dapat ditemukan dalam instrumen standar buatan orang barat, kecuali, pada fretless, instrumen seperti violin, viola, cello dan contra bass, itu pun jika dimainkan dengan kalkulasi yang sangat tepat. (T)
Baca juga: Catatan Sutradara Sebelum Pentas