“Dosa merupakan fantasi manusia, sedangkan kejatan merupakan wahyu Tuhan”- Clarkson
AGAMA apapun hadir ke dunia ini memiliki tujuan mulia, di antaranya membebaskan, mendidik, dan memanusiakan manusia. Bahkan Islam sendiri datang salah satunya untuk memperbaiki ahlak manusia. Bahkan dalam tulisan pemikir Islam yang disampaikan oleh Ali Ashgar Engineer disebutkan bahwa Islam hadir untuk menyelamatkan, membela, dan membawa prinsip-prinsip keadilan universal.
Arti keadilan di sini yaitu tidak mengenal batasan atau sekat-sekat golongan yang menjadi identitas manusia yang meliputi: suku, ras, agama dan bahasa. Maka dapat saya simpulkan dengan adanya agama merupakan suatu wadah atau jalan untuk mengimani Tuhan dan juga memunculkan sifat cinta dan kasih antarsesama mahluk ciptaannya.
Realitas hari ini sungguh berbeda dengan tujuan mulia agama yang diwahyukan Tuhan. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud merendahkan suatu agama, maka saya akan sangat berhati-hati menguraikan persepsi dalam tulisan ini.
Saya pernah bertukar pikiran dengan tulisan Agus Hilman seorang alumni HMI, kurang lebih yang dapat saya urai bahwa agama yang kita anut hari ini sudah jauh dari bentuk bangunan ideal agama pada masa Rosulullah, Yesus, Musa, Budha, dan bahkan Ibrahim. Karena dewasa ini banyak pertikaian, pembantaian, pertumbahan darah hingga agama dijadikan alat mencari nafkah dan untuk mencari kekuasaan.
Agama hari ini sudah diartikan dengan sifat sarkasm dan vandalism atau pembantaian dan kekerasan terhadap sesama hingga menghilangkan sisi kemanusian yang sangat dijunjung tinggi dalam ajaran agama. Bukti nyata saat terjadi Bom Bali 1 & 2, Konflik Mataram, tragedi Palestina yang dileburkan oleh Israel. Itu contoh yang sudah menjadi sebuah pengetahuan umum.
Sudah jadi pengetahuan umum juga belakangan muncul ormas dengan membawa nama agama yang tidak segan-segan melakukan perusakan atau kekerasan jika seandainya ada yang berlawanan dengan tujuan yang ingin dicapai.
Jika melihat seteru antarkubu tokoh pemuka agama sebagai patron umat, maka apa yang dikatakan Thomas Hobbes adalah sesuai dengan prilaku manusia dewasa ini, yakni “Homo Homini Lupus” (manusia adalah Srigala bagi manusia lain). Jika hal ini bertahan maka kerukunan antar umat sungguh takkan terjadi dan agama bukan lagi sebagai solusi namun berubah menjadi kepentingan politik dan kekuasaan. Nilai-nilai teologis, dosa, pahala, surga, neraka, pembawa agama akan dikesampingkan. Yang terpenting adalah tahta dan kekuasaan.
Maka jangan heran jika ada persepsi dari salah satu ulama Nahdatul Ulama (NU) yang mengatakan “Allah kok diajak Kampanye”. Lantas yang jadi tanda tanya untuk apa agama itu ada, jika manusianya menyalahgunakannya dengan kata fitrah yang melekat pada agama. Apakah mereka tidak takut dengan akibat dari sebuah perbuatan yang cenderung menciderai ajaran agama? Agama seperti kehilangan sakralitas nya sebagai ruh fundamentalnya. Dan anggapan yang terjadi agama seperti sebuah mitos. Maka apa yang dikatakan Clarkson ada benarnya bahwa “Dosa hanya sebuah fantasi manusia, sedang kejahatan, kekejaman, pembantaian seakan-akan wahyu Tuhan”. Agama hari ini seperti kekeringan makna, sehingga manusia-manusia pada era sekarang cenderung kering spiritualitas.
Persepsi Agama hanya seperti mitos, setiap tindak kejahatan tidak lagi menjadi perbuatan keji jika disandingkan dengan ajaran Agama. Pelaksanaan ibadah hanya sebatas simbol dalam setiap ritualnya tanpa dipahami ajaran-ajaran tersebut untuk hal apa sehingga sisi kemanusian tidak dikotomi oleh setiap umat beragama. Agama hanya sebatas dogma tanpa mencari tahu apa keistimewaaan dan kebermanfaatan dalam sebuah agama yang menjadi dasar iman kita mengenal Tuhan dan menyayangi antar sesamanya. Ritual hanyalah sekumpulan doktrin yang harus dijalankan, namun tidak ada kontribusi dalam setiap kehidupannya.
Ini sebuah masalah besar bagi kita umat beragama dan juga sangat mengancam eksistensi tegaknya sebuah Negara apalagi di Indonesia yang mengagungkan nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai penggerak untuk menjalankan nilai-nilai dalam sila-sila selanjutnya dalam Pancasila. Maka tidak ada kata lain selain pembumian nilai-nilai spiritual. Apalagi di era yang begitu carut-marut, umat beragama di negara Indonesia mulai mengesampingkan kepekaan sosial dan terjadi krisis sosial atas ego masing-masing.
Presiden, Para Ulama, Guru Ngaji, Guru di lembaga formal dan beberapa elemen bangsa merupakan bagian indikator penting dalam menciptakan sebuah perubahan besar-besaran untuk tegaknya kembali nilai-niai agama sesuai ajaran yang telah dibenarkan tanpa menghilangkan atau memisahkan dengan sisi kemanusian sehingga muncul nilai spiritualitas humanisme. (T)