CERITA TENTANG KELAHIRAN MATAHARI DAN BULAN
/I/ Kelahiran Matahari
aku adalah anak mula
lahir riang gembira
dengan doa menyala
dari rahim ibu bernama semesta
kelahiranku panjang perjalanan
penungguan dalam satu penanggalan penuh
sejak laku upacara dilakukan
dan doa sudah purna seluruh
takdirku ditakdirkan bara
penjaga hidup api
merahnya adalah panas
yang senantiasa nyala dalam hati
demikianlah namaku menjelma tungku
penanda kehidupan di hari pagi
menjaga bara menyediakan api
setelah tanak nasi
lalu kukembalikan terang
kembali ke rahim ibuku
/II/ Kelahiran Bulan
aku adalah anak ragil
lahir setelah matahari
dari rahim semesta yang sama
tapi memilih jalan berbeda
kelahiranku sunyi penantian
kuciptakan diriku diam-diam
kelak ketika kau bisa menghitung purnama
kau akan tahu
aku bersembunyi sampai hitungan ketiga
takdirku ditakdirkan teduh
tempat segala lelah berlabuh
tugasku membacakan dongeng
agar semakin nikmat terasa lauk tidur
demikianlah namaku menjelma bunga
perhiasan tetamanan malam
yang dipetik saban hari
dengan seribu satu kelopak dongeng
aku serupa panen tanpa musim
/III/ Epilog
begitulah kami dilahirkan
takdir kami penjaga hari
menyediakan nyala
pada tubuh siang dan malam
kami tidak pernah sepakat
dalam kata bernama pertemuan
seperti yang sudah tertulis
sejak berabad-abad lama
mungkin sejak sebelum
ibu semesta dilahirkan
kami dian berbeda
memberi nyala dalam waktu berbeda
matahari dan bulan kami bernama
kami dian berbeda
lahir dari rahim yang sama
(Kemenuh, Mei 2017)
PETANU
ada keringat mengalir
di sepanjang tubuh petanu
keringat yang membeku jadi abu batu-batu
tubuh petanu mengandung benih
yang dinanti doa-doa
dan disambut sorak sorai suara
anak-anak pemetik batu
ayah mereka bertubuh tegap legam
di punggungnya bergurat urat
serupa gurat yang mereka ukir
pada dinding-dinding batu
ibu mereka perempuan-perempuan berbahu lebar
dua tiga potong batu di kepala
entah berapa berat
mungkin lebih berat
daripada tubuh anak-anaknya
di ujung jalan menanjak anak-anak menanti
batu berarti kehidupan
batu juga jembatan
penghubung napas-napas mereka
dari hulu ke hilir
ada doa mengalir
di dalam tubuh petanu
doa yang membatu
di sepanjang musim yang mereka ukir
(Kemenuh, April 2016)
PULANG MALAM
Kami pulang malam
Bersama-sama
Berderet-deret
seperti kunang-kunang
menyibak kabut
dalam tikungan-tikungan
Bersama-sama
kami berjalan beriringan
layaknya semut pengembara
membawa gula-gula
ke dalam sarang penuh cerita
dengan lampu-lampu taman
kebun-kebun kenangan
dan dongeng-dongeng masa kanak
Di jalan-jalan masa silam
Kami menabur benih doa
agar tumbuh pohon-pohon harapan
tempat kami berteduh
mengistirahatkan lelah
atau tempat kami mengadu
tentang sepi sebuah kamar sempitPerlahan kami bergerak
meninggalkan lembah kecil di utara
Menggapai rumah
Lalu tertidur lelap
(Bali Utara, November 2012—Juni 2013)