“HP” adalah judul naskah monolog karya Putu Wijaya. Naskah itu saya mainkan pada saat saya mengawali debut sebagai aktris monolog dan pentas serangkaian Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya. Sebelum memainkan naskah “HP”, saya justru merasa “Dag Dig Dug” seperti judul naskah drama Putu Wijaya yang lain.
Ini adalah pementasan monolog ke-31 serangkaian Festival Monolog 100 Putu Wijaya. Saya mewakili Komunitas Cemara Angin. Saya memainkan monolog “HP” yang disutradarai I Gede Manik Sukadana. Pementasan dilaksanakan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jalan Pantai Indah, Singaraja, 30 Juni 2017 malam.
Pementasan itu bisa dikatakan cukup sukses walaupun masih jauh dari kata sempurna. Pementasan ini bisa berjalan lancar karena banyak pihak yang membantu seperti tata lampu yang hebat, tata rias, properti yang digunakan saat pementasan, bloking yang harus diperhatikan, dan perlu penonton juga untuk mengapresiasi atau dapat menilai pementasan yang telah ditampilkan.
Yang paling penting, bagaimana proses atau usaha yang telah saya lakukan untuk mempersiapkan pementasan itu, seperti proses latihan. Tiga minggu adalah waktu yang saya gunakan untuk menghapal naskah. Menghapal naskah selama satu minggu dan latihan secara serius bersama sutradara selama dua minggu. Saya mengalami kesulitan dalam proses latihan karena jarang menonton pementasan monolog. Dan saya baru pertama kali mementaskan monolog. Apalagi harus membagi waktu antara latihan, membuat tugas kampus, serta rapat di organisasi.
Saat itu saya sempat kewalahan dan terkadang bolos latihan agar bisa megerjakan tugas dan rapat organisasi. Saya juga sempat pulang ke kampung di Gianyar karena ada rahinan, padahal pementasan sudah dekat. Bahkan saat itu saya mendapatkan ajakan untuk ikut pentas tari pembukaan di kampung dalam acara pelantikan Sekaa Teruna. Saya sangat rindu menari. Tapi begitulah waktu, terkadang susah diajak kompromi. Jadwal pentas tari itu sangat mepet dengan kadwal pentas monolog, tepatnya dua hari sebelum pentas monolog.
Saya sempat berpikir untuk ikut pentas tari, dan pulang kampung satu hari lagi. Tapi monolog belum rampung sepenuhnya, masih perlu latihan lagi. Saya putuskan tidak pulang kampung dan bertekad tampil maksimal dalam pentas monolog. Apalagi banyak hal yang masih harus diperbaiki, misalnya latihan olah tubuh yang terasa masih belum bisa dilakukan maksimal karena sudah lama saya tidak berolahraga. Saya juga perlu latihan pernapasan dan olah vokal. Usai latihan, saya harus menahan sakit pada kaki. Sakitnya hingga keesokan harinya. Tapi monolog harus sukses.
Setelah beberapa hari, saya mulai terbiasa. Tetapi ketika latihan untuk dialog saya malah kesusahan, karena tidak bisa membedakan antara membaca puisi dengan monolog. Ketika dijelaskan bagaimana perbedaanya, saya mencoba untuk membacanya terlebih dahulu naskahnya. Dan betul saja masih banyak kata atau kalimat yang tidak cocok atau tidak sinkron dengan adegan yang dimainkan. Saya masih membaca polos-polos saja, banyak nada-nada yang tidak enak didengar, semuanya masih kacau.
Naskah yang Ringan
Naskah “HP” ini sebenarnya adalah naskah yang ringan, saya sudah dipilihkan naskah yang ringan untuk dipentaskan bagi pemula dan naskah ini tidak seperti naskah Putu Wijaya lainnya yang perlu pemahaman tinggi untuk menjiwainya. Tetapi, jika kita tidak memahami isi naskahnya tetap saja kita akan mengalami kesulitan seperti yang saya alami. Saya justru seperti memainkan judul naskah Putu Wijaya yang lain: yakni “Dag Dig Dug” di dada saya.
Dengan latihan yang cukup keras, akhirnya saya memahami betul-betul maksud dari naskah “HP” dengan dibantu oleh senior. Saya mendapatkan nada, atau suara yang pas untuk setiap kata yang harus diucapkan. Walaupun begitu, selain pelafalan saya juga harus mendapatkan rasa di setiap adegan seperti bagaimana kita beradegan mesra dengan suami, bagaimana kita genit dengan selingkuhan, dan lain-lain. Sehingga adegan itu memang terlihat benar-benar nyata dan tidak dibuat-buat. Setelah itu, satu minggu yang masih tersisa digunakan untuk mencari bloking yang pas serta mendalami karakter di setiap kata yang diucapkan. Saya dan sutradara latihan satu minggu secara ngebut, misalnya pagi latihan selama 3 jam dan malamnya latihan lagi kurang lebih selama 3 jam.
Dan yang paling parah adalah saya tidak percaya diri. Ketika menunjukan permainan saya kepada sutradara, saya lumayan percaya diri. Tetapi ketika orang lain yang menontonnya, apalagi senior yang bisa dikatakan sudah profesional di bidang teater, tiba-tiba semuanya kembali seperti semula, semuanya kacau karena saya terlalu memikirkan setiap adegan demi adegan dengan begitu gugup, dan selalu memikirkan seakan-akan saya diejek atau ditertawai. Padahal sutradara sudah mengatakan bahwa semua penonton sama saja, anggap saja ketika pentas penonton itu seperti batu, tapi tetap saja sulit rasanya. Apalagi saya tahu bahwa penonton pementasan ini pasti bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang sudah mengenal dunia teater dan sudah menekuni dunia teater.
Akhirnya saya pasrah saja saat itu bahkan di setiap latihan menjelang pementasan, ada saja bloking yang diubah-ubah yang membuat saya kebingungan. Bahkan saat satu hari sebelum pementasan, saya bersama sutradara masih mencoba untuk latihan dan lagi-lagi ada beberapa adegan dan bloking yang harus diubah. Padahal kemarinnya sudah melakukan gladi langsung di tempat pementasan di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Tapi besoknya bersama sutradara saya latihan lagi di kampus bawah Undiksha, dan masih tetap ada perubahan.
Saya juga memikirkan pakaian yang pas untuk dipakai dan akhirnya saya meminjam kepada bibi sebuah daster, celemek, dan sandal rumahan. Saya sempat berpikir bahwa hari esok ketika pementasan dimulai adalah hari yang sangat berat untuk dilewatkan. Tetapi saya mencoba sekuat tenaga untuk selalu berpikir positif, saya tidak masalah dengan teman-teman yang sudah menikmati libur di rumah atau di kampungnya masing-masing. Karena ketika mereka sedang asyik-asyikan tidur, saya justri menikmati proses kehidupan yang lain, saya mendapatkan ilmu baru dan pengalaman baru.
Pementasan Tak Penting
Sutradara mengatakan bahwa pementasan tidak terlalu penting, yang penting adalah bagaimana proses terbentuknya suatu pementasan bisa dipertunjukan dan kita bisa puas terhadap apa yang ditampilkan. Karena di setiap proses latihan kita akan mendapatkan ilmu baru. Proses latihan sebelum pementasan ini mungkin terasa sulit bagi saya, tapi saya senang menjalankannya. Saya puas dengan pementasannya walaupun masih banyak kekurangan. Saya senang pementasan saya diberikan masukan oleh orang-orang hebat seperti Putu Satria Kusuma dan Kadek Sonia Piscayanti, serta penonton lain.
Saya merasa beruntung diberikan kesempatan untuk memainkan naskah monolog ini walaupun pada awalnya saya menerima ajakan itu karena merasa tidak enak dengan senior. Tetapi berkat dukungan semua pihak seperti senior, keluarga, teman-teman dan yang lainnya saya merasa senang dan bersemangat. Saya ingin mendalami dunia teater lebih dari apa yang saya dapatkan saat ini. (T)