SAYA, sebagai fans sejati Juventus, tidak akan sakit hati, karena pada akhirnya sepakbola tetaplah hanya sebuah permainan bin pertandingan yang ada kalah menangnya. Saya mungkin seorang yang bisa menganalisis ketimbang hanya melihat kemenangan atau jumlah gol. Tentu saya bertanya-tanya ; mengapa Allegri mengubah winning formation dan membentuk 3 bek sejajar dalam laga final dan melawan tim dengan daya serang super sekelas Real Madrid?
Tapi yaa, semua hanya bisa tersimpan dalam hati, toh Real Madrid, di Stadion Millenium, Cardiff, Wales, Sabtu malam atau Minggu dinihari, 4 Juni 2017, itu memang layak menang karena bermain luar biasa, top perform. Salut karena Madrid mampu memecahkan rekor juara beruntun dan semakin menasbihkan diri menjadi raja diraja di Eropa.
Saya merupakan orang yang rutin menyaksikan ekspresi getir dari Gianluigi Buffon karena ia kalah di 3 final Liga Champions yang ia jalani sejak final 2003. Kala itu Juve takluk dari AC Milan via adu tendangan penalti. Buffon muda yang hebat tertunduk lesu.
Di final 2015, giliran Barcelona yang jadi antagonis bagi Buffon. Dengan Trio MSN yang sedang gila-gilanya, Juve takluk 1-3. Kemudian asa itu hidup lagi tahun ini, ketika Juve masuk final melawan Madrid. Namun lagi-lagi Buffon harus diuji kebesaran jiwanya, karena harus dibobol empat kali di partai puncak.
Belum pasti apakah Buffon akan memutuskan gantung sarung tangan setelah ini. Kabar yang beredar, ia akan berlaga setahun lagi dan bermain di Piala Dunia 2018. Bagi saya itu ibarat angin segar, karena bagaimana pun, bahkan tak hanya Juventini, penggemar sepakbola seluruh dunia pasti menaruh kekaguman tersendiri pada Gigi Buffon.
Tak lengkap rasanya seorang kiper hebat pada abad ini tidak pernah memenangkan Liga Champions, meski ia sudah mencium Piala Dunia 2006. Barangkali peruntungannya bisa dicoba lagi tahun depan, and it’ll be the last chance for him.
Menyoal strategi yang diterapkan Allegri, saya yakin pasti ada alasan mengapa diterapkan 3 bek sejajar. Dalam beberapa jumpa pers-nya sebelum laga final, Max berucap akan sangat memaksimalkan peran Alex Sandro dan Dani Alves di sektor sayap, ketimbang memanfaatkan mereka sebagai bek sayap murni.
Itu tentu sangat berisiko, mengingat Real Madrid mempunyai skuat lapangan tengah yang bisa dibilang terbaik di dunia. Baik gelandang jangkar, deep lying playmaker maupun sayap, Madrid mempunyai personil yang sama ganasnya. Terbukti kecuali gol roket Casemiro, semua gol Real berasal dari serangan sektor sayap yang gagal diantisipasi dengan cepat oleh lini belakang Juventus.
Hal itu terjadi juga akibat Sandro dan Alves terlalu maju dan relatif terlambat ketika musuh menyerang dengan spartan. Celakanya, Chiellini tampil di bawah form terbaik, yang akhirnya melengkapi buruknya Juve. Dybala seperti pangling, dan Higuain melanjutkan tren selalu tampil buruk di laga-laga final baik bersama klub maupun timnas Argentina.
Apalah nilai analisa seorang fans seperti saya dibanding pertimbangan Allegri, namun setidaknya setiap hal yang mengecewakan patut dijadikan pelajaran berharga. Yang pasti, alasan di atas semua itu hanya tentu sangatlah sederhana, tak ada mitos atau kutukan ; Juventus tak cukup bagus saat main di final dan Real Madrid bermain luar biasa. Ya, hanya itu.
Juve yang gagah perkasa pertahanannya dan hanya kebobolan 3 kali di sepanjang jalan menuju Cardiff, justru bobol 4 kali hanya dalam 90 menit! Saya pun yakin, dibalik kebanggaannya yang tak bisa dikemukakan dengan kata-kata, Zidane pasti memiliki beberapa persen kadar kegetiran di lubuk hatinya. Bagaimanapun, ia menghabiskan 5 tahun yang gemilang di Juventus sebelum ditebus Madrid pada 2001 dengan status pemain termahal dunia ketika itu.
Sepakbola kadang demikian. Kadang berbanding lurus, kadang antiklimaks. Dua musim lalu, Alvaro Morata adalah pahlawan Juventus yang menyingkirkan Real Madrid di semifinal lewat dua golnya, kandang dan tandang. Kini, ia turut mengangkat si kuping besar bersama Los Blancos.
Saya tentu tahu pasti fakta Juventus masuk final 9 kali, dan 7 kali gagal juara. Belum lagi kekalahan beruntun di final 1997 dan 1998 karena kalah dari Borussia Dortmund dan Real Madrid. Lalu tentu, terjerembab ke Serie-B 2006. Terbang tenggelam, saya pasti selalu mendukung Juventus.
Sejak menyukai sepakbola di awal era Milennium dan mulai mengenal Del Piero, Totti, David Beckham dan Iker Cassilas, saya selalu merasakan hal lain di hari ketika Juventus hendak berlaga. Terasa lebih bersemangat, terlepas dari apapun hasil pertandingan nantinya. That won’t be changed, no matter what will happen.
Sekali lagi selamat untuk Real Madrid dan para Madridista! Selalu ada hal positif di balik peristiwa paling negatif sekalipun. Juventus harus selalu belajar dari pengalaman. Masih ada banyak kesempatan. Forza Juventus! (T)