21 January 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Ulasan
Satia Guna memainkan naskah monolog "Bahaya" karya Putu Wijaya. /Foto-foto: Putu Satria Kusuma

Satia Guna memainkan naskah monolog "Bahaya" karya Putu Wijaya. /Foto-foto: Putu Satria Kusuma

Satia Guna Main “Bahaya”, Teror Cerita Teror Aktor…

Made Adnyana Ole by Made Adnyana Ole
February 2, 2018
in Ulasan
43
SHARES

Ketika tukang cukur menghunus pisau untuk meratakan godek, aku tersentak. Aku baru menyadari bahwa kehidupan berbahaya. Dunia manusia sama buasnya dengan rimba raya. Mengancam. Di mana-mana menganga bahaya. 

Siapa yang dapat menjamin tukang cukur itu tidak hanya akan merapikan godek dan jenggot kita. Bagaimana kalau dia menorehkan pisah itu ke leherku?

ITULAH deretan kata-kata awal dari naskah monolog “Bahaya” karya Putu Wijaya. Naskah itu dimainkan dengan begitu atraktif sekaligus ekspresif oleh aktor Satia Guna dengan sutradara Wulan Dewi Saraswati dari Komunitas Mahima serangkaian Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya.

Begitu naskah itu dimasak, ngerodok dalam tungku panggung dan dimainkan liar dalam keluasan blocking, teror seakan memenuhi segala ruang di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jalan Pantai Indah, Singaraja, Sabtu 6 Mei 2017, malam. Teror bukan saja datang dari gedoran kata-kata dalam naskah, melainkan juga dari gedoran kata-kata yang dikunyah lalu dimuntahkan dari mulut si actor.

Pentas dibuka dengan musik berketukan mars yang ketat dan teratur. Meski ketat, di telinga musik itu terdengar seperti musik pengiring pasukan pelawak yang sedang baris-berbaris. Si aktor, Satia Guna, masuk ke panggung melalui sela penonton dengan bernyanyi (liriknya adalah narasi dari naskah baris pertama) sekaligus memamerkan gerakan yang juga ketat dan teratur, namun jelas sekali ia tidak sedang latihan baris-berbaris. Ia mirip seseorang yang sedang putus asa namun tetap berusaha melangkah dengan gembira.

Di panggung naskah yang bercerita tentang manusia paranoid, selalu pencuriga dan merasa bahaya selalu mengintainya, dimainkan dengan tenaga yang kuat, baik tenaga dari fisik yang bergerak maupun tenaga dari semburan kata-kata. Olahan berbagai jenis karakter manusia yang pencuriga, berbagai obyek yang dicurigai, dan berbagai jenis karakter manusia yang sok tahu tentang hal-hal yang berbahaya, dimainkan dengan jalinan gerak-kata yang ketat, ya, seperti musik mars yang beberapa kali ganti ketukan.

Ya, siapa berani menjamin bahwa tukang cukur itu tidak akan menorehkan pisaunya di leherku yang sedang dicukur? Ya, siapa yang berani menjamin tukang masak restoran tak akan memasukkan racun ke dalam masakan lalu menghidangkannya kepadaku yang sudah sejak lama menunggu di sisi meja restoran?

Di sisi lain, siapa yang dapat menjamin, bahwa aku juga dapat dipercaya? Karena aku terdiri dari otak, rasa serta emosi. Kalau emosi sudah meluap, rasa akan terbakar dan otak bisa lumpuh. Dalam keadaan begitu, aku bukan manusia lagi, tapi binatang. Robot calon pembunuh!

Setiap waktu aku dapat menjadi jagal orang lain dalam setiap kesempatan. Karena siapa dapat menjamin, aku tidak akan meraih pisau makan di restoran dan menusukkannya ke lambung orang makan yang ada di sebelahku yang matanya begitu menjijikkan.

Siapa yang dapat menjamin aku tidak akan berteriak bohong, bangsat, anjing, lonte dan sebagainya dalam sebuah pertemuan resmi, ketika seorang walikota dihadiahi kehormatan sebagai Putra Terbaik?

Siapa yang dapat menjamin, aku tidak akan merebut pistol di pinggang seorang polisi di jalan, lalu menembakkan sampai pelurunya habis, ke atas kepala siapa saja yang kebetulan lewat?

Semua tokoh yang lalu-lalang dalam cerita dengan penuh konflik sekaligus penuh sesak oleh pesan-pesan kontemplatif itu digerakkan secara leluasa, liar, ketat, tegang, menembak dan tentu saja meneror. Konflik diurai dengan perpindahan gerak, perpindahan properti seperti bunga mawar, semangka, meja, dan pisau, dengan cepat, bahkan tak terduga. Pesan-pesan diurai dengan perubahan karakter vokal, mimik dan gestur, yang juga cepat, bahkan juga tak terduga.

Penonton seakan tak bisa berpaling. Hingga terasa bukan aktor yang dikepung penonton di ruang sempit Rumah Belajar Komunitas Mahima malam itu, melainkan penonton yang seakan dikepung teror yang ditembakkan si aktor sendirian bertubi-tubi. Teror kata-kata untuk telinga, teror adegan demi adegan untuk mata. dan tak lupa, teror pesan untuk hati dan otak.

Dengan demikian, penonton sekaligus juga merasa seperti pemain. Merasa seperti tukang cukur, merasa seperti yang dicukur. Merasa seperti tukang masak restoran, merasa seperti pelanggan restoran. Merasa seperti walikota, merasa seperti si pemaki walikota. Seperti diungkapkan seorang penonton, Dr. I Ketut Margi, dosen Sosiologi di Undiksha Singaraja, “Monolog ini seperti membicarakan kita yang selalu curiga akan bahaya di sekitar kita, padahal sesungguhnya diri kitalah yang berbahaya.”

Sutradara Wulan Dewi Saraswati

Putu Wijaya, semua tahu, adalah penulis naskah-naskahdengan cerita teror yang hampir selalu mengesankan. Ia menggedor cara berpikir kita yang konvensional, lalu memutarbalikkannya apa-apa yang selama ini kita yakini tentang diri kita, dan akhirnya membuat kita menyerah dan berkata, “Iya, seperti itulah aku!”

Jadi, naskah “Bahaya”  sesungguhnya “berbahaya” dimainkan oleh aktor yang tidak sungguh-sungguh bermain, tapi hanya sekadar bisa main-main. Bahkan bukan hanya naskah “Bahaya”, tapi hampir semua naskah Putu Wijaya “berbahaya” dimainkan secara main-main, meskipun naskah dan ceritanya kelihatan main-main.

Satia Guna, aktor muda yang juga penulis cerpen dan puisi, dan sutradara Wulan Dewi Saraswati yang juga penulis cerpen dan puisi, ini tidak sedang memperlihatkan niat main-main. Ia justru serius bermain. Bahkan saking seriusnya, mereka tampaknya lupa melakukan kontrol yang lebih manusiawi di sejumlah bagian. Sehingga teror yang tak terkontrol itu seakan ditembakkan seperti rentetan peluru, padahal sesungguhnya ada teror yang mengintip seperti kucing, berjalan pelan, mengeong seperti lagu pop yang mendayu, namun pada saat yang tepat menyambar seperti singa menerkam mangsa.

Wulan, si sutradara, usai pentas menyatakan Satia Guna, si aktor, awalnya bermain kalem, lalu ia menggenjotnya agar menjadi lebih ganas. Namun kemudian aktor menjadi terlalu ganas, sehingga selaku sutradara ia kembali mengontrolnya agar teror sesekali bisa terasa lebih lembut.

Permainan Satia Guna yang total

Kontrol sutradara mungkin bisa ampuh ketika permainan masih dalam proses latihan. Tapi, begitu berada di atas panggung, sepenuh permainan adalah kuasa sekaligus tanggungjawab si aktor. Bahkan ketika ada “sesuatu” yang ajaib dan tak terduga, semisal perasaan trance yang tiba-tiba “menyerang” si aktor, semua itu itu adalah tanggungjawab aktor untuk mengontrolnya dengan sepenuh kesadaran.

Putu Satria Kusuma, aktor senior dan penggagas festival monolog itu, mencontohkan permainan pisau yang ditunjukkan aktor di atas panggung. Pisau sesungguhnya bisa dimainkan secara perlahan, diusap perlahan dengan tangan, ditarik perlahan, lalu diulur perlahan kea rah leher yang telanjang, justru bisa menunjukkan betapa ngeri sejatinya si pisau itu. Ketimbang misalnya pisau itu diayun dengan cepat dan beringas, sebagaimana beberapa kali dimainkan oleh si aktor.

Pisau yang bergerak perlahan memperlihatkan dengan jelas betapa tajam mata pisau itu. Pisau yang bergerak cepat justru menyembunyikan kejatamannya dari pandangan mata.  Demikian pula, mungkin, proses seorang aktor atau aktris dalam dunia teater yang sembunyi sekaligus dipertunjukkan. (T)

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologPutu Wijayaseni pertunjukanTeater
Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

MEDIA SOSIAL

  • 3.4k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Digital Drawing ✍️:
Rayni N. Massardi
Puisi

Noorca M. Massardi | 7 Puisi Sapta dan 5 Puisi Panca

by Noorca M. Massardi
January 16, 2021
Ilustrasi tatkala.co / Nana Partha
Esai

LPD untuk Berbuat Baik, Memenuhi Kebutuhan, Kaya, dan Moksa

Sekolah Dasar (SD) adalah tempat formal pertama belajar agama Hindu. Paling tidak itu yang saya alami. Maklum tidak pernah merasakan ...

April 14, 2020
Foto: FB/Agung Putradnyana
Kiat

Galungan, Hari yang Cocok untuk Cari Jodoh

Hari Raya Galungan, sebenarnya adalah hari yang cocok untuk mencari jodoh bagi para kaum tuna asmara, khususnya lelaki. Begini caranya, ...

July 21, 2019
Esai

Suradira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti

"Satu mata untuk satu mata hanya akan berakhir membuat seluruh dunia buta." (Sang Jiwa Agung, Mahatma Gandhi) . Satu perkelahian ...

May 23, 2019
Nyoman Tusthi Eddy dengan sejumlah buku yang ditulisnya
Esai

Kenangan Singkat tentang Nyoman Tusthi Eddy, Nyari Bukunya Susah, Hilangnya Gampang

Terhitung tiga kali saya datang ke rumah penulis Karangasem, Nyoman Tusthy Eddy bersama penulis IDK Raka Kusuma. Pertama saat saya ...

January 18, 2020
Ilustrasi.  Foto: Mursal Buyung
Esai

Organisasi Kampus Tempat Belajar Berkomitmen

KETIKA memasuki fase remaja menuju dewasa banyak pilihan yang muncul di pikiran, entah untuk melanjutkan pendidikan atau keputusan untuk bekerja. ...

October 24, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Foto : Dok. Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan
Acara

Lomba Tari Bali dan Lomba Busana | Festival Budaya XI Pasemetonan Jegeg Bagus Tabanan

by tatkala
January 20, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Cokorda Gde Bayu Putra || Ilustrasi tatkala.co/Nana Partha
Esai

Semangat Draft RUU Pelaporan Keuangan & Kesiapan Ubud di Masa Depan

by Cokorda Gde Bayu Putra
January 21, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (66) Cerpen (149) Dongeng (10) Esai (1353) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (4) Khas (309) Kiat (19) Kilas (192) Opini (471) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (6) Poetry (5) Puisi (96) Ulasan (328)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In