SEHARIAN ini lini masa media sosial dipenuhi dengan eforia siswa SMA/SMK yang sedang merayakan kelulusan. Mulai dari status yang berganti hingga kabar dari portal media online tentang kelulusan, terus memenuhi lini masa.
Sebagian besar merayakannya dengan aksi corat-coret. Berbekal cat pilox, mereka melakukan aksi corat-coret di berbagai sudut kota. Bagi mereka, corat-coret seragam sekolah menjadi sebuah tradisi penting. Haram hukumnya jika tak sampai ikut aksi corat-coret.
Bukan cuma corat-coret. Ada juga yang melakukannya dengan konvoi. Motor dipreteli maksimal. Knalpot diganti dengan suara cempreng hingga membuat telinga serasa tuli. Tak lupa bawa bendera. Jalanan pun disusuri untuk konvoi.
Siswa-siswa di Buleleng, biasanya menjadikan objek wisata Bedugul atau Danau Buyan sebagai titik finish konvoi. Ada juga yang menuju Kintamani. Malah konon ada yang mau konvoi sampai Gilimanuk.
Corat-coret dan konvoi sudah menjadi tradisi pada setiap perayaan kelulusan. Utamanya bagi siswa SMA. Selama sehari itu, eforia dilakukan. Tahun ini, entah sengaja atau tidak, pengumuman kelulusan bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Maka secara tak langsung, Hari Pendidikan Nasional, dirayakan dengan cara melakukan konvoi dan corat coret.
Selama bertahun-tahun, banyak pihak yang berupaya mengubah tradisi ini. Namun ini bukan perkara gampang. Kebiasaan corat-coret sudah mendarah daging.
Beberapa cara dilakukan. Salah satunya melakukan pengumuman kelulusan dengan mengenakan pakaian adat ke pura. Cara ini sempat diyakini efektif. Namun faktanya, pola ini tak membuahkan hasil. Selesai pengumuman kelulusan, para muda kembali ke rumah masing-masing. Berganti pakaian dari pakaian adat ke pura ke seragam putih abu-abu. Corat-coret dan konvoi akhirnya tetap dilaksanakan.
Cara lain, siswa wajib mengajak orang tua ke sekolah saat pengumuman kelulusan. Namun lagi-lagi hal itu tak membuahkan hasil. Usai pengumuman, pulang ke rumah,nongkrongdulu di jalan sambil corat-coret.
Paling mutakhir, pengumuman dilakukan dengan sistem online, seperti yang dilakukan pada tahun ini. Tak perlu datang ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan. Cukup di rumah. Tak usah bersua kawan biar tak corat-coret. Namun faktanya aksi corat-coret dan konvoi tetap ada.
Memang tak mudah mengubah kebiasaan yang terlanjur menjadi tradisi. Tapi, tak mudah bukan berarti mustahil. Hanya perlu kesadaran dari dalam diri dan upaya lebih keras untuk mengubah tradisi itu.
Tengok saja sepuluh orang siswa di Jembrana yang memilih tidak melakukan aksi corat-coret. Dengan kesadaran sendiri, mereka melakukan aksi sosial dengan cara bagi-bagi nasi bungkus di Pasar Negara. Aksi yang sangat tidak keren dalam pandangan remaja seusia mereka. Namun itu aksi yang sangat penting untuk mengubah kebiasaan corat-coret dan konvoi.
Barangkali sekolah juga harus mencari formulasi pengumuman kelulusan yang baru. Misalnya saja dengan menggelar kegiatantirta yatra, tepat saat hari pengumuman kelulusan.
Seluruh siswa diwajibkan mengikuti kegiatantirta yatra, misalnya ke Pura Besakih. Pengumuman kelulusan, dilakukan sesaat setelah persembahyangan di Pura Besakih dilakukan. Para remaja itu tentu tidak mau ambil resiko corat-coret di areal pura bukan? Jika nekat, tentu mereka bisa di-bullydi sosial media.
Eits, tapi jangan hanyatirta yatrake Pura Besakih saja. Buat rangkaian kegiatantirta yatrayang padat dan melelahkan. Bisa saja istilahnya tirtayatra marathon. Misalnya dari pagi mereka diajaktirta yatrake Pura Goa Gajah, dilanjutkan ke Pura Goa Lawah, baru ke Pura Besakih. Pokoknya dibuat panjang, sehingga mereka baru sampai rumah pukul 20.00 atau 21.00 malam.
Jika hari itu mereka sudah terlanjur lelah, tentu mereka tak akan sempat terpikir corat-coret lagi apalagi mau konvoi malam-malam. Mau corat-coret keesokan harinya? Ah sudah basi.
Siapa tahu jika kegiatan itu dilakukan tiap kali kelulusan, tradisi corat-coret dan konvoi bisa diubah.
Selamat Merayakan Hari Pendidikan Nasional… (T)