SECARA hitungan politik, Pilgub Bali 2018 sudah dekat, namun nama-nama bakal calon yang muncul dalam obrolan (muncul dengan sendirinya atau muncul melalui upaya sendiri-sendiri) tampaknya memang nama yang itu-itu saja. Artinya nama-nama yang sudah dikenal (baik-buruknya) sehingga gampang diobrolkan oleh bahkan orang yang awam politik sekalipun.
Jika pun muncul nama alternatif – artinya nama yang harus dikorek dulu di google agar tahu biodatanya – durasi kemunculannya tidaklah panjang-panjang. Sekali-sekali terbit, tapi banyak tenggelamnya.
Dari sejumlah media massa diketahui, sejumlah tokoh yang namanya disebut-sebut dalam berbagai obrolan pun tampak sangat percaya diri bisa lolos, setidaknya lolos untuk ditetapkan jadi calon. Tapi, di sisi lain, sepertinya mereka capek juga.
Bagaimana tidak capek? Percaya diri karena punya dukungan suara besar dan finansial memadai, tapi satu-satunya jaminan untuk lolos, ya, rekomendasi induk partai. Nah, bayangkan, betapa capek dan sakit jiwa, eh, sakit hati, menunggu sesuatu yang terasa pasti, namun sesungguhnya tidak pasti juga.
Yang mengobrolkan nama-nama mereka (pengamat politik, pengurus partai dan rakyat biasa) pastilah capek juga. Sudah berbusa-busa berdebat tentang siapa yang terbaik dari nama-nama yang muncul dan beredar dalam setiap obrolan, eh, ujung-ujungnya bukan mereka juga yang menentukan. Mereka bisa berdebat soal siapa yang punya dukungan terbanyak jika dilihat dari tabungan suara yang mereka kumpulkan di kantong rakyat dari pemilu ke pemilu. Namun, debat tetaplah debat. Cerita politik kadang “tamat” begitu saja tanpa kesan mendalam, meski “kata-kata pembukaannya” sangat menjanjikan.
Tabungan Suara
Kita sebut nama Wayan Koster. Branding-nya sudah berkumandang sejak lama, KBS – Koster Bali Satu. Kurang apa lagi dia? Dia ketua PDIP di Bali, pengalaman politiknya tak usah didebat karena beberapa periode jadi anggota DPR RI, dan dukungan dari masyarakat calon pemilih tak perlu diragukan. Namun ia belumlah apa-apa sebelum ada sabda resmi dari Megawati.
Koster layak percaya diri, dan, tentu saja layak menang. Dari hitung-hitungan angka politik (jumlah suara, maksudnya) ia punya modal besar untuk percaya diri dan menang.
Koster masuk Gedung DPR selalu dengan perolehan suara yang menggunung. Pada Pemilu 2014 ia mengumpulkan 260.342 suara. Terbanyak di Bali. Nomor tiga di Indonesia, di bawah Karolin Margaret Natasa, caleg PDIP dari Dapil Kalbar, yang memperoleh 397.481 suara dan Puan Maharani, PDIP dari Dapil Jateng V, yang dapat 369.927 suara.
Dan karena modal jumlah suara yang meyakinkan jugalah banyak tokoh politik yang “berani” muncul untuk bersaing mempertontonkan besar-besaran tabungan suara sekaligus juga besar-besaran baliho di tepi jalan.
Nyoman Adi Wiryatama, tokoh politik kawak dari Tabanan, namanya sempat muncul jadi headline di media massa bersamaan dengan bertebarannya baliho dari kota hingga ke desa-desa di wilayah Lumbung Beras dan sekitarnya. Pastinya dia punya kepercayaan diri untuk bersaing menjadi calon gubernur. Modalnya jelas, perolehan suara yang menonjol bin menjolok.
Saat Pileg 2014, Sekretaris DPD PDIP Bali itu mengumpulkan 51,574 suara dari Dapil Tabanan untuk bisa berjalan dengan kepala tegak ke Gedung DPRD Bali. Raihan suara sebanyak itu adalah tertinggi di Bali. Bukankah itu bisa dijadikan modal untuk maju ke Bali Satu?
Belakangan, nama Adi Wiryatama surut. Seakan dikomando, baliho bergambar wajah ganteng dengan senyum manis itu pun turun satu per satu. Namun siapa yang berani menduga jika ia “mundur” dari pertarungan yang sesungguhnya belum dimulai ini. Segala kemungkinan bisa terjadi dari lobi-lobi yang tak pernah bisa diduga hasilnya.
Lebih belakangan lagi, ada berita bahwa Eka Wiryastuti, Bupati Tabanan yang anak dari Adi Wiryatama, konon digadang-gadang menjadi calon wakil gubernur mendampingi Ketut Sudikerta, tokoh Partai Golkar yang kini masih Wakil Gubernur, yang namanya sudah muncul sejak lama. Nah, jika berita itu bisa dipercaya, bukankah lobi-lobi masih berseliweran antar hubungan HP yang dipencet dari balik punggung?
Soal Ketut Sudikerta, calon kuat dari Partai Golkar, jika dipikir-pikir, ya, mungkin capek juga tokoh kita itu. Sebagai Ketua Partai Golkar di Bali ia tentu mendapat dukungan besar dari anak buahnya di jajaran partai. Soal pengalaman menggalang suara, tak perlulah siaran ulang. Sukses menjadi Wakil Bupati Badung dengan mengalahkan calon dari PDIP adalah bentuk dari bukti berharga. Lalu ia menang lagi jadi pemimpin Bali saat berpasangan dengan Mangku Pastika, juga dengan mengalahkan calon dari PDIP.
Namun, ya, itu tadi. Perasaannya mungkin saja terombang-ambing karena hingga berbulan-bulan menggalang dukungan, namun “sabda dari pusat” belum juga bisa dipastikan isinya. Yang ada malah rumor-rumor politik di sejumlah media dengan “sumber yang tak mau disebutkan namanya”.
Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra, nama penting yang kerap juga kita obrolkan, juga punya tabungan suara yang bikin ia percaya diri dan tentu saja punya peluang besar untuk menang. Kemenanganya menjadi Walikota Denpasar diraih dengan jumlah suara meyakinkan, yakni 190.457 suara atau 82,20 persen. Persentase kemenangan besar juga terjadi sebelum-sebelumnya, saat ia menjadi calon wakil walikota berpasangan dengan AA Puspayoga.
Di tengah prediksi yang masih tumpang-tindih, tiba-tiba muncul nama Gde Sumarjaya Linggih alias Demer. Tokoh kita yang anggota DPR RI dari Golkar ini disebut-sebut akan berpasangan dengan Rai Mantra. Namanya juga muncul dengan tabungan suara meyakinkan. Pada Pemilu terakhir, ia memperoleh 141.168 suara atau urutan kelima di Bali. Dari segi kepopuleran, jelaslah dia tak kalah juga dari tokoh lain.
Oh, ya, hampir lupa. Ada nama Arya Wedakarna. Nama ini tak mungkin diabaikan karena saking populernya. Di media sosial semacam facebook, nama ini memiliki pengikut yang melimpah-ruah, meski ada juga yang setia menjadi haters-nya. Di media massa, cetak maupun elektronik, ia selalu muncul jadi berita. Bahkan pada masa-masa tertentu, hampir saban hari muncul di koran.
Orang bisa saja bilang bahwa, ah, itu berita berbayar, namun di dunia politik ia membuktikan diri punya dukungan. Sempat menjadi calon DPR RI dari PNIM dengan memperoleh suara besar. Suaranya sesungguhnya memenuhi syarat untuk lolos, namun syarat pemenuhan suara dari partainya, PNIM, menyebabkan ia urung melenggang ke Jakarta. Tahun 2014 tokoh yang namanya kerap ditulis amat panjang itu kmbali membuktikan bahwa ia punya tabungan suara di kantong rakyat. Ia memperoleh suara terbanyak untuk lolos menjadi anggota DPD RI. Ia mendulang 178.934 suara.
Nama lain yang perlu disebut adalan Gede Pasek Suardika yang kini anggota DPD RI. Nama ini populer, selain memang mantan wartawan yang punya banyak teman, belakangan ia sering masuk TV nasional. Ia lolos masuk Senayan dengan perolehan 132.887 suara, jumlah yang tak bisa dianggap remeh-temeh. Dalam sejumlah berita di media massa, namanya berkali-kali dipasang-pasangkan dengan nama lain, namun beritanya selalu redup kembali seiring munculnya gossip-gosip pasangan baru.
Suara Rakyat Maha Tak Tertebak
Suara rakyat suara Tuhan. Karena Tuhan adalah Maha Tak Tertebak, maka suara rakyat adalah suara Maha Tak Tertebak. Meski tak tertebak, namun selalu saja ada orang yang berupaya menebaknya, mungkin dengan asumsi-asumsi ngawur atau ramalan dukun beranak, mungkin juga dengan dalil-dalil ilmiah semacam survey atau polling serius dan terukur. Ya, meskipun indikatornya benar, tebakan tetap bisa saja salah.
Tabungan suara di kantong rakyat bisa menguap tiba-tiba, bisa menggelembung tiba-tiba, bisa berpindah tiba-tiba.
Mari melihat perolehan suara dari setiap hajatan politik di Buleleng. Kita mulai dari Pilkada Buleleng 2012. Saat itu, calon bupati dari PDIP, Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra menang dengan 186.814 suara atau 54,80 % dari jumlah suara sah. Suara pasangan itu lebih dari 50 persen, padahal peserta yang bertarung sebanyak empat pasangan calon.
Setahun kemudian, dalam Pilgub Bali, banyak orang menebak-nebak kalau suara yang didulang pasangan Agus Suradnyana-Nyoman Sutjidra pada Pilkada Buleleng akan otomatis mengarah kepada pasangan AA Puspayoga-Dewa Sukrawan dalam Pilgub Bali. Hitung-hitungan kasar, setidaknya Puspayoga-Sukrawan diprediksi mendapatkan suara sekitar 50 persen.
Namun, apa lacur, suara rakyat memang tak tertebak. Di Buleleng, Puspayoga-Sukrawan kalah dengan perolehan suara jauh lebih rendah dari perolehan Agus Suradnyana-Sutjidra, yakni sekitar 37 persen. Saat Pilpres, ada kejutan lagi. Pasangan Jokowi-JK yang juga calon PDIP justru suaranya melambung hingga sekitar 70 persen.
Kenyataan itu membuktikan suara rakyat tidak linier dengan suara partai politik termasuk suara calon kepala daerah yang dicalonkan parpol itu dalam Pilkada satu ke Pilkada berikutnya. Namun ketokohan seorang tokoh politik – sehingga layak jadi calon kepala daerah – belakangan memang kerap dihitung dari perolehan suara yang dihasilkan dalam hajatan-hajatan politik sebelumnya. Nama-nama yang muncul, sebagaimana ditulis dalam paragraf-paragraf awal, semuanya mencorong dengan kepemilikan tabungan suara di kantong rakyat yang dikumpulkan dalam hajatan politik sebelumnya – pemilu atau pilkada.
Yang Tak Punya Tabungan
Yang tak punya tabungan suara dalam riwayat politik, tapi punya cita-cita terpendam jadi calon Gubernur Bali, tentu banyak juga. Tokoh itu adalah tokoh nonparpol yang tak pernah teruji dalam hajatan politik semacam pemilu atau pilkada. Karena tak pernah “ujian”, bagaimana bisa dihitung nilai (jumlah suara) yang diperoleh dari rakyat.
Jika mereka ingin masuk ke putaran Pilgub, sejak dari babak kualifikasi dan penyisihan akan menemui jalur berliku, kadang mentok, kadang tembus, kadang mentok terus. Bisa masuk lewat organisasi masyarakat dan media massa plus media sosial, eh, sulitnya minta ampun masuk ke parpol. Bisa masuk parpol, eh, “digoreng” terus hingga kehilangan rasa.
Tapi tunggu dulu. Made Mangku Pastika saat diusung jadi calon gubernur oleh PDIP pada Pilkada 2008 tak punya tabungan suara dalam sejarah politik. Ia hanya seorang polisi besar, tapi namanya melambung tersebab adanya sejarah genting di luar hajatan politik, yakni Bom Bali I. Sebagai Kapolda saat itu ia berhasil mengungkap pelaku pengeboman hingga namanya kemudian masuk ke hati masyarakat Bali. Ketika masuk ke jalur politik, ia seakan sudah memiliki tabungan suara besar yang tersimpan dengan rapi di kantong rakyat.
Tokoh di luar parpol, tentu susah meniru “jalan ajaib” Mangku Pastika, kecuali ada momentum sejarah yang bisa melambungkan nama seseorang tiba-tiba jadi pahlawan. Tapi siapa yang berharap Bali dilanda hal genting sekelas Bom Bali? Jika harus ada bom dulu, lebih baik tak ada pahlawan.
Tapi pahlawan tak selalu muncul dari hal genting sekelas ledakan bom. Kemiskinan, terpuruknya dunia pertanian, dan terdesaknya warga Bali oleh investasi besar perusak lingkungan serta perusak sendi kehidupan misalnya, adalah hal-hal genting yang membutuhkan pahlawan. (T)