2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Puisi dan Konsumsi

Sugi LanusbySugi Lanus
March 21, 2021
inEsai

Foto: Google Image

70
SHARES

I

Puisi menggelayut di antara dua kutub: pamflet dan khotbah.

Sebagai salah satu bentuk ujar manusia, dalam bentuk kata-kalimat, puisi dipercaya sebagai cara berungkap yang paling “canggih”. Di sana penghayatan rasa dan pencapaian basa dituntut hadir secara bersama. Dengan kemampuan menangkap kelebat kehalusan rasa suara cemara yang berderai, seseorang belum tentu secara serta merta mampu mengungkapkannya menjadi puisi sebelum ia mencapai pencapaian “ba(ha)sa” yang memadai.

Rasa menyangkut persoalan ketulusan, kejujuran, kejernihan, dan keterbukaan seseorang untuk memasuki “ruang di dalam diri”. Basa menyangkut keuletan untuk mengekplorasi kata di wilayah semantik dan sintaksis, menyangkut gairah seseorang untuk mencari kemungkinan berungkap agar tidak terjebak klise sehingga hanya mungkin diraih oleh seorang yang dengan gigih memasuki “ceruk dan ruangan di dalam kata”.

Sekalipun tidak lagi seseorang terantuk pada persoalan basa, kecenderungan besarnya niatan seseorang untuk menggurui dan memceramahi pembaca akan membuat ia terayun ke arah penulisan khotbah. Atau, jika ia berniat untuk mempropagandakan ide, gagasan dan ideologinya, ia akan terayun ke sisi yang lainnya: pamflet.

Khotbah meliputi penyederhanaan janji-janji surgawi, keyakinan semu tanpa nalar dalam meraih pencapaian batiniah, bermuatan pesimisme pada kehidupan yang berciri khas menyalahkan kehidupan (bahkan membencinya) dan terkadang memilih mati untuk menyudahinya. Seolah-olah kehidupan ini adalah ruang antara belaka, satu-satunya yang eksis adalah “kehidupan setelah kematian”. Walhasil, kehidupan ditampik.

Sementara yang berada di sisi lain adalah pamflet. Di sini segala sesuatu cenderung dianggap punya dalil yang pasti dan kata-kata “diringkus” untuk menjabarkan sesuatu, tetapi sesungguhnya menyerderhanakan kompleksitas kehidupan. Walaupun mengandung ajakan untuk bergerak, bersekutu, dan “berjuang”, dalam pamflet kehidupan menjadi persoalan matematik yang beku.

Politikus dan ahli pemasaran adalah makhluk yang paling sering menggabungkan khotbah sekaligus pamflet dalam kiat-kiat mengaet konstituen dan konsumen. Iklan atau pidato menjustifikasi diri untuk membuat “surga di dunia” dengan “dalil-dalil” yang dikemas dalam bahasa pamflet.

Keduanya adalah sah, pamflet maupun khotbah memiliki posisinya dalam sebuah masyarakat, mempunyai perannya untuk “mendorong paksa” atau menjadi “kompor”, tetapi keduanya ini tidak membuat kita “tergetar-haru”. Lantas, apa istimewanya sebuah puisi yang tidak terjerumus ke arah khotbah dan pamflet yang banal, dengan sebuah puisi yang terlalu berayun-ayun ke arah dua kutub itu?

Daya ungkap yang baik, yang muaranya dari tanggapan rasa yang sungguh dan jujur, akan melahirkan kebeningan. Pesan sebuah puisi yang mampu memadukan pencapaian rasa dan basa, sekalipun tidak vulgar dan bertele-tele, berpotensi lebih bening dan transparan muatan rasa atau pesan yang hendak dituturkannya.

Untuk berbagi tentang bagaimana seseorang bisa menghayati keberadaan Sanghyang Parama Kawi (Tuhan Sang Pencipta Yang Agung), seorang kavya atau penyair Jawa Kuno, tidak memberikan sebuah formula instan. Ia menggambarkan bahwa bayangan bulan akan tampak dalam sebuah tempayan yang airnya tenang. Pesan itu sungguh transparan dalam sebuah metafora pilihan sang kavya, sebuah imaji yang mudah terbayang dan bergoyang dalam benak pembaca seperti goyang air dalam tempayan.

Pembaca yang jeli dan punya “keterbukaan” untuk mendengar bisikan kata yang tertulis, tak bisa dikelabuhi dengan tumpukan kata-kata yang “gelap” sekalipun secara sintaksis “masuk akal”. Ketidakjujuran (barangkali kebingungan) penyair yang tersurat dalam sajak-sajak tertentu akan membuat “pembaca yang terbuka” seperti diguyur atau dibanjiri limbah. Bukan pencerahan atau “penyucian” yang dituai ketika usai membaca puisi, malah perasaan sesak datang menusuk.

Seseorang pembaca yang jujur, bila berhadapan dengan puisi yang penuh kalimat-kalimat gelap tanpa kejujuran rasa, jejal “makna tak bermakna” yang berhamburan, bisa jadi akan merasa muak dengan puisi tersebut. Jadi, di samping puisi berayun seperti bandulan ke arah pamflet dan khotbah, dia berisiko menuntun kita memasuki lorong kegelapan yang tidak berujung, dan tidak ada cahaya di dalamnya.

Dalam dunia yang berlimpah informasi (cetak dan siar), kesanggupan penyair untuk menyuguhkan “kejernihan”, yang bersumber dari rasa dan pencapaian basa adalah sebuah “jalan sempit” yang dimiliki oleh para penyair. Andai para penyair menyuguhkan sesuatu yang tidak “jernih” maka serakan iklan yang terus ditayangkan setiap detik selama 24 jam, berbagai propaganda dan pamflet politik atau selebaran sebuah partai, serta gosip yang menggejala di tengah keseharian kita akan menutup “jalan sempit” yang dimiliki penyair yang (sekiranya) berikhtiar untuk ikut mengambil peran serta dalam “penghalusan peradaban” kita. Ruang yang dipenuhi informasi komersial cenderung kedap terhadap keberadaan dan usaha-usaha “kemanusiaan” yang ingin disuguhkan dalam karya-karya sastra atau puisi.

II

Di tengah “industri kebudayaan” (Horkheimer dan Adorno), “industri kesadaran” (Enzensberger), “industri ilusi” atau “industri pengalih perhatian” (Haug), puisi dan karya-karya sastra, disadari atau pun tidak, sedang digusur dengan “estetika konsumsi”.

Ruangan-ruangan keluarga telah betul-betul dihimpit oleh TV yang setidaknnya setiap 10 menit menayangkan iklan. Puisi tak punya tempat di siaran TV. Anak-anak memasuki “dunia kata” lewat bujuk rayu iklan. Susunan kalimat yang utuh yang bisa disusun oleh seorang anak kecil tidak jarang berasal dari celetukan sebuah iklan. Anak-anak juga belajar “puisi” dari iklan. Sebuah iklan bisa lebih “puitis” dari sebuah puisi pemenang sebuah lomba puisi bergengsi sekalipun. Sebuah ajakan berbelanja bisa lebih canggih dalam diksi dan bentukan kalimatnya dibanding sebuah puisi. Namun, ini bukan kabar gembira. Maka kata, tidak jarang, oleh anak-anak pertama-tama dipahami dalam konteknya sebagai alat yang berfungsi untuk membujuk seseorang, terutama untuk berbelanja.

Seandainya ba(ha)sa mereka sadari pertama-tama sebagai alat transaksi dan sarana periklanan, dalam masa yang paling dini kehidupan seseorang, secara kognitif ia telah dijatuhkan ke dalam kepalsuan. Pemahamannya terhadap kata (selanjutnya bahasa) bukan lagi sebagai sarana untuk memahami kedalaman kemanusiaannya, tetapi sarana transaksi, baik yang menyangkut untung rugi emosional maupun finansial. Inilah agenda “estetika komersial”.

Estetika konsumsi atau estetika komoditas (seperti apa yang dirumuskan Wolfgang Fritz Haug dalam Critique Commodity Aesthetics: Appearance, Sexua1ity and Advertising in Capitalist Society, 1986) meliputi janji kebahagiaan yang direkayasa oleh para pengiklan melalui konsumsi citra-citra yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan sensualitasnya.

Konsep itu mendeskripsikan cara-cara estetika diintegrasikan ke dalam produksi, distribusi dan pemasaran komoditas secara lebih spesifik, estetika komoditas mengacu pada “suatu keindahan yang dikembangkan untuk membantu pewujudan nilai tukar, dengan cara itu komoditas-komoditas dirancang untuk merancang di dalam diri para penonton keinginan untuk memiliki dan dorongan kuat untuk membeli” (Haug 1986, h. 8). Dengan kata lain, estetika komoditas menggunakan estetika untuk menjual produk dan kapitalisme konsumen dalam bentuk iklan, pengemasan, pemasaran, dan pameran.

Estetika komoditas membentuk nilai-nilai, persepsi-persepsi dan tingkah laku konsumen daripada individu dalam masyarakat kapitalis kontemporer sehingga mengintegrasikannya dalam gaya hidup kapitalisme. Estetika (termasuk kekuatan puitika kata dan visual) dikemas untuk menjadi hamba sahaya yang berbaris untuk memanipulasi, menjadi kekuatan yang mampu memancing hasrat terdalam kita untuk membeli produk yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan oleh individu-individu, seakan akan hidup yang baik (a better life) hanya bisa diperoleh dengan jalan mengkonsumsi sebanyak mungkin.

Dalam tahun-tahun belakangan, di negeri kita ini hampir setiap dua kali sebulan berbagai merek telepon genggam meluncurkan produk terbarunya dengan “inovasi estetika”; sehingga telepon yang lainnya, yang baru hanya terpakai satu bulan sudah terasa usang. Inilah yang disebut sebagai “keusangan yang direncanakan”. Kehidupan terasa tak bergerak tanpa fesyen yang memberi ilusi yang menipu dan jika kita tak mengikutinya, kekuatan estetika komoditas itu membuat kita merasa ada yang salah dengan kehidupan kita, seakan membeku tanpa mengikuti fesyen. “Penampakan selalu menjanjikan lebih banyak dan lebih banyak lagi dan pada yang dapat diberikannya. Dengan cara ini ilusi menipu” (Haug, 1986, hlm. 50).

Baudrillard (1970) juga melihat bagaimana estetika komoditas mempengaruhi individu untuk menginginkan atau membeli produk tertentu. Ia merumuskan hal ini sebagai “ekonomi politik tanda” yang membuat individu-individu terintegrasikan ke dalam masyarakat konsumen. Bagaimana deskripsi Haug mengenai bagaimana pencakupan estetika dalam iklan, pengemasan, pemajangan, dan lain-lain senada dengan analisis Baudrillard mengenai bagaimana “keambrukan” estetika dan komodifikasi dalam masyarakat kapitalis kontemporer memberikan estetika komoditas dan suatu komodifikasi seni dan estetika. Fenomena ini tentu saja jelas dalam iklan yang memanfaatkan teknik estetika yang paling maju untuk menjual komoditas dan mempromosikan konsumsi sebagai suatu cara hidup (Keller, 2004).

Industri ilusi itu demikian kuat memberangus kehidupan kita. Demi fesyen dan penampakan luar (bergaya trendy), kalau dihitung mungkin jutaan karyawan dan ibu rumah tangga rela berhutang. Koran-koran memberitakan tindakan nekad-konyol siswa-siswa mencuri sepeda motor atau HP temannya. Hasrat yang ditiupkan estetika komersial menjadi “pemantik” tindakan-tindakan yang “tidak proposional” itu.

Denpasar atau pun kota-kota lainnya di seluruh dunia, penduduknya sedang menghadapi “realitas” yang sama. Realitas kehidupan hari ini adalah manusia dibujuk oleh hasratnya untuk menenggelamkan diri dalam nama-nama atau merek dagang dan berkompetisi dalam citra-citra yang ditimbulkannya. Industri iklan yang sedemikian cerdas-bahaya, meringkas ceramah pemasaran yang panjang dalam bentuk visual yang melintas di televisi dalam hitungan detik, sebuah pemrogaman tubuh yang sangat efektik, dan hidup dirancang menjadi fesyen yang mampu menutupi hasrat sensualitas manusia (khususnya anak muda). Kehidupan bukan lagi persoalan untuk mencapai keteguhan batiniah, namun telah termakan kesibukan berkonsumsi yang dimotori oleh iklan dengan berbagai teknik-teknik industri ilusi atau pengalih perhatian.

Apakah ada ruang tersisa bagi puisi atau sajak?

Dalam dunia yang ditutupi oleh bayang-bayang industri ilusi, masih ada ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh estetika konsumsi (kapitalisme). Ruang-ruang itu, dalam pandangan Haug, hanya dapat diisi oleh sosialisme (1986, hlm.121—22). Dalam hal ini tentu tidak semua orang sepakat dengan Haug.

Ruang-ruang kosong itu adalah peluang bagi semua kemungkinan kreativitas dan penggalian manusia, bukan hanya monopoli -isme tertentu. Ruang itu terbuka untuk semua sisi kemanusiaan kita yang tidak mengabdi kepada pengukuhan konsumsi sebagai jalan terbaik yang harus ditempuh untuk mencapai “hidup yang baik”. Pada ruang inilah puisi punya kemungkinan untuk turut memberi andil pada peradaban.

Konsumsi menyibukkan kehidupan kita untuk berurusan dengan penampakan luar dan ilusi, lupa pada nilai-nilai batiniah; puisi memberikan kita kesempatan melihat ke dalam diri, merenung untuk menghayati kemanusiaan kita untuk terlepas dari segala ilusi dan “tempelan merek”.

Puisi-puisi pada abad ini ditantang untuk merebut ruang-ruangan kosong itu. Semakin banyak puisi dilahirkan di abad ini akan semakin baik karena mereka dilahirkan untuk tidak membiarkan “estetika komoditas” hidup tanpa pesaingan. Kesadaran inilah yang harus dibangun untuk tetap menulis dan mempublikasikan puisi dan karya-karya sastra karena membiarkan “estetika komoditas” tumbuh liar tanpa kehadiran puisi dan sastra adalah sama artinya membiarkan modal mengkolonisasi kebudayaan dan kehidupan sehari-hari kita; sama artinya membiarkan estetika (semata-mata) menjadi hamba untuk mendukung konsumsi. (T)

Catatan:

Beberapa pemikiran dan kutipan dalam bagian II bersumber dari karya Wolfgang Fritz Haug (Critique Commodity Aesthetics: Appearance, Sexuality and Advertising in Capitalist Society, 1986), silahkan bandingkan dengan buku Dr. Douglas Keller (Teori Sosial Radikal, 2003) dan dasar teori Jean P Baudrillard dalam La societe de consummation, 1970 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Masyarakat Konsumsi, 2004).

  • Tulisan ini dibacakan dalam acara “Temu Penyair Bali” dan peluncuran buku “Edisi Hitam Putih Antologi Puisi Bali” digelar di Taman Budaya Bali, Sabtu 20 Mei 2006.
Tags: BahasaiklanPuisi
Previous Post

Pecinta Ahok Susah “Move On”, Begini Cara Mereka Mengungkapkan Isi Hati

Next Post

Bakta dan Bakti

Sugi Lanus

Sugi Lanus

Pembaca manuskrip lontar Bali dan Kawi. IG @sugi.lanus

Next Post

Bakta dan Bakti

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co