I
Puisi menggelayut di antara dua kutub: pamflet dan khotbah.
Sebagai salah satu bentuk ujar manusia, dalam bentuk kata-kalimat, puisi dipercaya sebagai cara berungkap yang paling “canggih”. Di sana penghayatan rasa dan pencapaian basa dituntut hadir secara bersama. Dengan kemampuan menangkap kelebat kehalusan rasa suara cemara yang berderai, seseorang belum tentu secara serta merta mampu mengungkapkannya menjadi puisi sebelum ia mencapai pencapaian “ba(ha)sa” yang memadai.
Rasa menyangkut persoalan ketulusan, kejujuran, kejernihan, dan keterbukaan seseorang untuk memasuki “ruang di dalam diri”. Basa menyangkut keuletan untuk mengekplorasi kata di wilayah semantik dan sintaksis, menyangkut gairah seseorang untuk mencari kemungkinan berungkap agar tidak terjebak klise sehingga hanya mungkin diraih oleh seorang yang dengan gigih memasuki “ceruk dan ruangan di dalam kata”.
Sekalipun tidak lagi seseorang terantuk pada persoalan basa, kecenderungan besarnya niatan seseorang untuk menggurui dan memceramahi pembaca akan membuat ia terayun ke arah penulisan khotbah. Atau, jika ia berniat untuk mempropagandakan ide, gagasan dan ideologinya, ia akan terayun ke sisi yang lainnya: pamflet.
Khotbah meliputi penyederhanaan janji-janji surgawi, keyakinan semu tanpa nalar dalam meraih pencapaian batiniah, bermuatan pesimisme pada kehidupan yang berciri khas menyalahkan kehidupan (bahkan membencinya) dan terkadang memilih mati untuk menyudahinya. Seolah-olah kehidupan ini adalah ruang antara belaka, satu-satunya yang eksis adalah “kehidupan setelah kematian”. Walhasil, kehidupan ditampik.
Sementara yang berada di sisi lain adalah pamflet. Di sini segala sesuatu cenderung dianggap punya dalil yang pasti dan kata-kata “diringkus” untuk menjabarkan sesuatu, tetapi sesungguhnya menyerderhanakan kompleksitas kehidupan. Walaupun mengandung ajakan untuk bergerak, bersekutu, dan “berjuang”, dalam pamflet kehidupan menjadi persoalan matematik yang beku.
Politikus dan ahli pemasaran adalah makhluk yang paling sering menggabungkan khotbah sekaligus pamflet dalam kiat-kiat mengaet konstituen dan konsumen. Iklan atau pidato menjustifikasi diri untuk membuat “surga di dunia” dengan “dalil-dalil” yang dikemas dalam bahasa pamflet.
Keduanya adalah sah, pamflet maupun khotbah memiliki posisinya dalam sebuah masyarakat, mempunyai perannya untuk “mendorong paksa” atau menjadi “kompor”, tetapi keduanya ini tidak membuat kita “tergetar-haru”. Lantas, apa istimewanya sebuah puisi yang tidak terjerumus ke arah khotbah dan pamflet yang banal, dengan sebuah puisi yang terlalu berayun-ayun ke arah dua kutub itu?
Daya ungkap yang baik, yang muaranya dari tanggapan rasa yang sungguh dan jujur, akan melahirkan kebeningan. Pesan sebuah puisi yang mampu memadukan pencapaian rasa dan basa, sekalipun tidak vulgar dan bertele-tele, berpotensi lebih bening dan transparan muatan rasa atau pesan yang hendak dituturkannya.
Untuk berbagi tentang bagaimana seseorang bisa menghayati keberadaan Sanghyang Parama Kawi (Tuhan Sang Pencipta Yang Agung), seorang kavya atau penyair Jawa Kuno, tidak memberikan sebuah formula instan. Ia menggambarkan bahwa bayangan bulan akan tampak dalam sebuah tempayan yang airnya tenang. Pesan itu sungguh transparan dalam sebuah metafora pilihan sang kavya, sebuah imaji yang mudah terbayang dan bergoyang dalam benak pembaca seperti goyang air dalam tempayan.
Pembaca yang jeli dan punya “keterbukaan” untuk mendengar bisikan kata yang tertulis, tak bisa dikelabuhi dengan tumpukan kata-kata yang “gelap” sekalipun secara sintaksis “masuk akal”. Ketidakjujuran (barangkali kebingungan) penyair yang tersurat dalam sajak-sajak tertentu akan membuat “pembaca yang terbuka” seperti diguyur atau dibanjiri limbah. Bukan pencerahan atau “penyucian” yang dituai ketika usai membaca puisi, malah perasaan sesak datang menusuk.
Seseorang pembaca yang jujur, bila berhadapan dengan puisi yang penuh kalimat-kalimat gelap tanpa kejujuran rasa, jejal “makna tak bermakna” yang berhamburan, bisa jadi akan merasa muak dengan puisi tersebut. Jadi, di samping puisi berayun seperti bandulan ke arah pamflet dan khotbah, dia berisiko menuntun kita memasuki lorong kegelapan yang tidak berujung, dan tidak ada cahaya di dalamnya.
Dalam dunia yang berlimpah informasi (cetak dan siar), kesanggupan penyair untuk menyuguhkan “kejernihan”, yang bersumber dari rasa dan pencapaian basa adalah sebuah “jalan sempit” yang dimiliki oleh para penyair. Andai para penyair menyuguhkan sesuatu yang tidak “jernih” maka serakan iklan yang terus ditayangkan setiap detik selama 24 jam, berbagai propaganda dan pamflet politik atau selebaran sebuah partai, serta gosip yang menggejala di tengah keseharian kita akan menutup “jalan sempit” yang dimiliki penyair yang (sekiranya) berikhtiar untuk ikut mengambil peran serta dalam “penghalusan peradaban” kita. Ruang yang dipenuhi informasi komersial cenderung kedap terhadap keberadaan dan usaha-usaha “kemanusiaan” yang ingin disuguhkan dalam karya-karya sastra atau puisi.
II
Di tengah “industri kebudayaan” (Horkheimer dan Adorno), “industri kesadaran” (Enzensberger), “industri ilusi” atau “industri pengalih perhatian” (Haug), puisi dan karya-karya sastra, disadari atau pun tidak, sedang digusur dengan “estetika konsumsi”.
Ruangan-ruangan keluarga telah betul-betul dihimpit oleh TV yang setidaknnya setiap 10 menit menayangkan iklan. Puisi tak punya tempat di siaran TV. Anak-anak memasuki “dunia kata” lewat bujuk rayu iklan. Susunan kalimat yang utuh yang bisa disusun oleh seorang anak kecil tidak jarang berasal dari celetukan sebuah iklan. Anak-anak juga belajar “puisi” dari iklan. Sebuah iklan bisa lebih “puitis” dari sebuah puisi pemenang sebuah lomba puisi bergengsi sekalipun. Sebuah ajakan berbelanja bisa lebih canggih dalam diksi dan bentukan kalimatnya dibanding sebuah puisi. Namun, ini bukan kabar gembira. Maka kata, tidak jarang, oleh anak-anak pertama-tama dipahami dalam konteknya sebagai alat yang berfungsi untuk membujuk seseorang, terutama untuk berbelanja.
Seandainya ba(ha)sa mereka sadari pertama-tama sebagai alat transaksi dan sarana periklanan, dalam masa yang paling dini kehidupan seseorang, secara kognitif ia telah dijatuhkan ke dalam kepalsuan. Pemahamannya terhadap kata (selanjutnya bahasa) bukan lagi sebagai sarana untuk memahami kedalaman kemanusiaannya, tetapi sarana transaksi, baik yang menyangkut untung rugi emosional maupun finansial. Inilah agenda “estetika komersial”.
Estetika konsumsi atau estetika komoditas (seperti apa yang dirumuskan Wolfgang Fritz Haug dalam Critique Commodity Aesthetics: Appearance, Sexua1ity and Advertising in Capitalist Society, 1986) meliputi janji kebahagiaan yang direkayasa oleh para pengiklan melalui konsumsi citra-citra yang menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan sensualitasnya.
Konsep itu mendeskripsikan cara-cara estetika diintegrasikan ke dalam produksi, distribusi dan pemasaran komoditas secara lebih spesifik, estetika komoditas mengacu pada “suatu keindahan yang dikembangkan untuk membantu pewujudan nilai tukar, dengan cara itu komoditas-komoditas dirancang untuk merancang di dalam diri para penonton keinginan untuk memiliki dan dorongan kuat untuk membeli” (Haug 1986, h. 8). Dengan kata lain, estetika komoditas menggunakan estetika untuk menjual produk dan kapitalisme konsumen dalam bentuk iklan, pengemasan, pemasaran, dan pameran.
Estetika komoditas membentuk nilai-nilai, persepsi-persepsi dan tingkah laku konsumen daripada individu dalam masyarakat kapitalis kontemporer sehingga mengintegrasikannya dalam gaya hidup kapitalisme. Estetika (termasuk kekuatan puitika kata dan visual) dikemas untuk menjadi hamba sahaya yang berbaris untuk memanipulasi, menjadi kekuatan yang mampu memancing hasrat terdalam kita untuk membeli produk yang sebenarnya tidak terlalu diperlukan oleh individu-individu, seakan akan hidup yang baik (a better life) hanya bisa diperoleh dengan jalan mengkonsumsi sebanyak mungkin.
Dalam tahun-tahun belakangan, di negeri kita ini hampir setiap dua kali sebulan berbagai merek telepon genggam meluncurkan produk terbarunya dengan “inovasi estetika”; sehingga telepon yang lainnya, yang baru hanya terpakai satu bulan sudah terasa usang. Inilah yang disebut sebagai “keusangan yang direncanakan”. Kehidupan terasa tak bergerak tanpa fesyen yang memberi ilusi yang menipu dan jika kita tak mengikutinya, kekuatan estetika komoditas itu membuat kita merasa ada yang salah dengan kehidupan kita, seakan membeku tanpa mengikuti fesyen. “Penampakan selalu menjanjikan lebih banyak dan lebih banyak lagi dan pada yang dapat diberikannya. Dengan cara ini ilusi menipu” (Haug, 1986, hlm. 50).
Baudrillard (1970) juga melihat bagaimana estetika komoditas mempengaruhi individu untuk menginginkan atau membeli produk tertentu. Ia merumuskan hal ini sebagai “ekonomi politik tanda” yang membuat individu-individu terintegrasikan ke dalam masyarakat konsumen. Bagaimana deskripsi Haug mengenai bagaimana pencakupan estetika dalam iklan, pengemasan, pemajangan, dan lain-lain senada dengan analisis Baudrillard mengenai bagaimana “keambrukan” estetika dan komodifikasi dalam masyarakat kapitalis kontemporer memberikan estetika komoditas dan suatu komodifikasi seni dan estetika. Fenomena ini tentu saja jelas dalam iklan yang memanfaatkan teknik estetika yang paling maju untuk menjual komoditas dan mempromosikan konsumsi sebagai suatu cara hidup (Keller, 2004).
Industri ilusi itu demikian kuat memberangus kehidupan kita. Demi fesyen dan penampakan luar (bergaya trendy), kalau dihitung mungkin jutaan karyawan dan ibu rumah tangga rela berhutang. Koran-koran memberitakan tindakan nekad-konyol siswa-siswa mencuri sepeda motor atau HP temannya. Hasrat yang ditiupkan estetika komersial menjadi “pemantik” tindakan-tindakan yang “tidak proposional” itu.
Denpasar atau pun kota-kota lainnya di seluruh dunia, penduduknya sedang menghadapi “realitas” yang sama. Realitas kehidupan hari ini adalah manusia dibujuk oleh hasratnya untuk menenggelamkan diri dalam nama-nama atau merek dagang dan berkompetisi dalam citra-citra yang ditimbulkannya. Industri iklan yang sedemikian cerdas-bahaya, meringkas ceramah pemasaran yang panjang dalam bentuk visual yang melintas di televisi dalam hitungan detik, sebuah pemrogaman tubuh yang sangat efektik, dan hidup dirancang menjadi fesyen yang mampu menutupi hasrat sensualitas manusia (khususnya anak muda). Kehidupan bukan lagi persoalan untuk mencapai keteguhan batiniah, namun telah termakan kesibukan berkonsumsi yang dimotori oleh iklan dengan berbagai teknik-teknik industri ilusi atau pengalih perhatian.
Apakah ada ruang tersisa bagi puisi atau sajak?
Dalam dunia yang ditutupi oleh bayang-bayang industri ilusi, masih ada ruang-ruang kosong yang ditinggalkan oleh estetika konsumsi (kapitalisme). Ruang-ruang itu, dalam pandangan Haug, hanya dapat diisi oleh sosialisme (1986, hlm.121—22). Dalam hal ini tentu tidak semua orang sepakat dengan Haug.
Ruang-ruang kosong itu adalah peluang bagi semua kemungkinan kreativitas dan penggalian manusia, bukan hanya monopoli -isme tertentu. Ruang itu terbuka untuk semua sisi kemanusiaan kita yang tidak mengabdi kepada pengukuhan konsumsi sebagai jalan terbaik yang harus ditempuh untuk mencapai “hidup yang baik”. Pada ruang inilah puisi punya kemungkinan untuk turut memberi andil pada peradaban.
Konsumsi menyibukkan kehidupan kita untuk berurusan dengan penampakan luar dan ilusi, lupa pada nilai-nilai batiniah; puisi memberikan kita kesempatan melihat ke dalam diri, merenung untuk menghayati kemanusiaan kita untuk terlepas dari segala ilusi dan “tempelan merek”.
Puisi-puisi pada abad ini ditantang untuk merebut ruang-ruangan kosong itu. Semakin banyak puisi dilahirkan di abad ini akan semakin baik karena mereka dilahirkan untuk tidak membiarkan “estetika komoditas” hidup tanpa pesaingan. Kesadaran inilah yang harus dibangun untuk tetap menulis dan mempublikasikan puisi dan karya-karya sastra karena membiarkan “estetika komoditas” tumbuh liar tanpa kehadiran puisi dan sastra adalah sama artinya membiarkan modal mengkolonisasi kebudayaan dan kehidupan sehari-hari kita; sama artinya membiarkan estetika (semata-mata) menjadi hamba untuk mendukung konsumsi. (T)
Catatan:
Beberapa pemikiran dan kutipan dalam bagian II bersumber dari karya Wolfgang Fritz Haug (Critique Commodity Aesthetics: Appearance, Sexuality and Advertising in Capitalist Society, 1986), silahkan bandingkan dengan buku Dr. Douglas Keller (Teori Sosial Radikal, 2003) dan dasar teori Jean P Baudrillard dalam La societe de consummation, 1970 (telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Masyarakat Konsumsi, 2004).
- Tulisan ini dibacakan dalam acara “Temu Penyair Bali” dan peluncuran buku “Edisi Hitam Putih Antologi Puisi Bali” digelar di Taman Budaya Bali, Sabtu 20 Mei 2006.