HIDUPLAH seorang lelaki bernama Manik di gubuk tua di sebuah desa terpencil. Di desa terpencil itu, tidak ada lagi tumbuhan yang bisa hidup. Pohon-pohon sudah ditebang oleh para pencuri kayu. Tanah-tanah di desa itu kering-kerontang karena sudah lama tidak turun hujan. Penduduk mulai pergi jauh meninggalkan desa itu. Desa yang sudah menjadi tandus.
Kini, tinggallah Manik sendiri di gubuk tua. Manik sudah mulai tidak sanggup tinggal di desa terpencil itu. Suatu malam, Manik mengemasi barang-barangnya dan mempersiapkan bekal untuk perjalanan esok pagi. Usai berkemas, Manik iseng merebahkan badan di atas tikar yang sudah compang-camping.
“Manik, cucuku sayang. Mengapa kamu harus meninggalkan desa ini juga?” kata seseorang.
Awalnya, Manik tak mengenal orang itu. Tapi setelah diamat-amati, orang itu mirip Dewa Wisnu yang sering ia lihat dalam lukisan-lukisan tua di desanya.
“Saya sudah tak kuat hidup di desa yang tandus ini, Dewa Wisnu,” kata Manik.
Dewa Wisnu kemudian bersabda dengan suara menggelegar. “Dulu desa ini sangat subur dan banyak pohon-pohon rindang. Musim hujan pun selalu datang setiap tahun. Ini kuberikan kamu biji dan tanamlah!”
Manik kaget, ia sontak terbangun dari tidurnya. “Oh, ternyata aku hanya bermimpi,” ucapnya kemudian,
Manik menggulung tikarnya bersiap pergi dari desa. Namun, Manik menemukan sebuah biji di lantai. Biji itu berkelip-kelip memancarkan cahaya. Manik mengambil biji itu. “Belum pernah aku melihat biji tanaman seperti ini. Apakah biji ini yang dimaksud oleh Dewa Wisnu dalam mimpiku?” kata Manik dalam hati.
Melihat biki bercahaya itu, Manik melupakan niatnya meninggalkan desa. Manik pergi ke lahan kebun di belakang gubuk. Ia menanam biji itu. Manik ingin membuktikan kata-kata Dewa Wisnu dalam mimpinya. Ketika biji itu sudah ditanam, hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras. Manik heran dan bahagia. Namun, tiba-tiba, kilatan petir menyambar tanah tempat biji itu ditanam.
Manik tersentak kaget menyaksikan kilatan petir menyambar biji yang ditanamnya. “Hancur sudah harapanku. Mimpi itu tidak jadi kenyataan,” keluhnya dalam hati.
Namun begitu Manik kemudian tersenyum lega. “Ah, aku tetap bahagia karena telah turun hujan.”
Manik pun masuk ke gubuk reotnya dan mengeringkan badann yang basah kuyup. Manik termenung dan masih belum percaya dengan kejadian yang sudah dialaminya.
Keesok paginya, Manik kaget melihat pohon apel yang besar tumbuh di tempat biki yang kemarin ia tanam. Ia tak percaya biji itu tumbuh dengan ajaib. “Apakah biji itu adalah biji apel? Bukankah biji itu kemarin sudah tersambar petir?” ucap Manik heran.
Manik mendekati pohon itu untuk memastikan bahwa itu merupakan biji yang ditanamnya kemarin. Ternyata, memang benar biji itu yang ditanam oleh Manik. Sebab, Manik melihat tanah gosong bekas terbakar di sekitar pohon apel. “Horeeee, mulai sekarang aku bisa menikmati buah apel,” ucap Manik bahagia.
Manik merawat pohon apel itu. Manik merasa bahagia karena bisa menikmati hasil panen dari pohon apel itu dan bisa menghirup udara segarnya. Tanah-tanah di sekitar pohon apel itu menjadi subur. Rerumputan dan bunga-bunga pun tumbuh subur di sekitar pohon apel itu.
Numun, beberapa tahun kemudian, ketika Manik sedang duduk di bawah pohon apel, tiba-tiba pohon apel berbisik kepada Manik. “Hai temanku. Jika aku sudah tua dan tak mampu berbuah lagi, mohon semua daun-daunku dikubur ditanah kebunmu. Jika beberapa bulan kemudian ada binatang-binatang kecil makan daun busukku, jangan kamu usir mereka. Sebab, kebunmu menjadi subur karena binatang kecil itu yang memakan daun-daun busukku. Jika kamu menemukan benda berkilau dalam batang tubuhku, simpanlah itu dengan baik. Dan, batang-batang tubuhku boleh kamu gunakan sesuai keinginanmu!”
Manik bersedih mendengar bisikan pohon apel itu. “Mengapa aku harus melakukan itu. Aku sudah senang menikmati buah-buahmu yang segar dan menghirup udaramu yang segar. Bahkan, kebunku kembali subur berkat kehadiranmu. Aku senang merawatmu,” kata Manik yang akan ditinggalkan oleh Pohon Apel.
Keesokan harinya, Manik terkejut melihat pohon apelnya tumbang. Akar pohon itu sudah tidak mampu berpegangan di dalam tanah. Anehnya, Manik menemukan batu kristal berkilau di balik akar pohon apelnya. Manik pun mengambil batu kriltal itu dan menyimpannya dengan baik. Dengan perasaan sedih, Manik mengubur semua daun-daun itu sesuai pesan pohon apel.
Selama berbulan-bulan Manik bersedih atas kepergian pohon apel yang paling disayanginya. Manik hanya duduk termenung di kursi yang pernah dirindangi oleh pohon apel itu. Setiap hari Manik hanya duduk bersedih di kursi itu. Bunga-bunga di kebun itu pun layu melihat kesedihan Manik.
Tiba-tiba ia mendengar suara.
“Hai temanku, Manik sayang, jangan bersedih lagi. Tanam saja lagi biji apelnya atau biji yang lain di kebunmu ini!”
Suara siapa itu? Manik kebingungan, ia mencari-cari sumber suara itu.
“Siapa kamu? Aku tidak melihat orang di sini?” tanya Manik yang masih bingung.
“Aku di sini, di kuburan daun-daun apel!”
Manik bangun dari kursinya mendekati daun-daun apel yang sudah dikuburnya di dalam tanah. Manik kaget melihat begitu banyak menemukan binatang kecil di kebunnya itu.
“Siapa kamu? Sedang apa kamu di sini?” tanya Manik bingung.
“Aku Cacing yang suka makan dau-daun busuk, tetapi aku tidak suka plastik. Aku Cacing yang bisa menggemburkan tanah. Aku bisa menyuburkan tanah kalau aku diberi makan tumbuh-tumbuhan busuk,” jawab binatang kecil yang ternyata adalah Cacing.
“Oh, kamu Cacing,” ucap Manik.
“Tenyata binatang kecil yang dimaksud pohon apel adalah Cacing dan aku tidak boleh mengusirnya,” kata Manik melamun.
“Cepat tanam sekarang biji tumbuhan yang kamu punya!” perintah Cacing memecah lamunan Manik.
“Aku tidak punya biji-biji tumbuhan lagi. Biji-biji dari pohon apel pun aku lupa menyimpannya. Aku hanya punya batu kristal ini,” kata Manik menunjukkan batu yang ia dapat dari pohon apel yang sudah tumbang.
“Coba kamu pecahkan batu kristal itu di tanah kebunmu. Siapa tahu di dalamnya ada biji tanaman ajaib,” kata Cacing.
“Batu kristal ini kan harus aku jaga dengan baik sesuai pesan pohon apel. Sama seperti kamu, aku tidak boleh mengusir kamu. Apakah mungkin aku harus memecahkan batu kristal ini?” kata Manik ragu.
“Jangan ragu lagi. Coba kamu pecahkan batu kristal itu,” pinta Cacing.
“Ah, aku tidak mau melakukan itu,” tolak Manik penuh keyakinan. Manik pergi meninggalkan cacing-cacing itu.
Manik kembali duduk di kursinya itu sendiri. Tiba-tiba, Manik mendengar bisikan. “Hai kawanku Manik, benar yang dikatakan oleh Cacing. Kamu harus memecahkan batu kristal itu.” Bisikan itu mirip seperti suara pohon apel yang didengarnya sebelum pohon itu tumbang.
Karena yakin itu bisikan pohon apel Manik akhirnya memecahkan batu kristalnya. Manik mengambil dua batu. Manik meletakkan batu kristal di atas batu dan membenturkan batu yang ada di tangannya ke batu kristal. “Breeeaaak,” terdengar pecahan batu kristal itu.
Manik tidak melihat ada keajaiban. Biji-bijian pun tidak ada. Manik semakin sedih karena harus kehilangan batu kristal pemberian pohon apel. “Aku tidak punya apa-apa lagi,” keluh sedih Manik.
Namun, pecahan batu kristal itu perlahan bergerak menyatu. Dan tiba-tiba, berubah menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Manik terjatuh kaget melihat keajaiban itu.
“Kamu siapa? Mengapa pecahan batu kristalku bisa berubah menjadi wanita cantik,” tanya Manik gemetar.
“Aku, Dewi Sri. Ketika Manik sedang menanam biji apel pemberian Dewa Wisnu, aku dikutuk oleh Kala Rau menjadi batu kristal. Dan, aku dilempar ke bumi, kemudian jatuh tepat di biji apelmu yang dulu kamu tanam. Petir yang menyambar itu adalah aku, Dewi Sri,” ucap Dewi Sri.
Manik duduk bersila menyembah Dewi Sri.
“Sebagai terimakasihku. Aku akan memberikan anugerah,” ucap Dewi Sri. Dewi Sri mengangkat tangan, keluarlah biji-bijian tanpa hentinya. Biji-bijian terbang menyebar ke seluruh desa itu. Dan ajaibnya, biji-bijian itu berubah tumbuh menjadi banyak jenis tanaman. Desa itu pun kembali menjadi hijau seperti sediakala.
“Dewi Sri, terimakasih anugerah-Mu, desa ini kembali hijau seperti sediakala,” ucap Manik atas keajaiban yang disaksikannya.
“Jaga dan rawatlah semua anugerahku ini, Manik! Simpanlah biji-biji mereka agar kelak bisa kamu tanam kembali. Jangan pernah mengusir cacing-cacing itu dan memberinya plastik. Jika itu terjadi, cacing-cacing itu pergi dari desa ini dan semua tumbuhan yang ada di sini aku kembali pada-Ku,” pesan Dewi Sri.
Dewi Sri pun menghilang di balik cahaya untuk pergi kekhayangan. “Ini seperti pesan pohon apel dulu. Aku harus menjaga cacing-cacing itu,”pikir Manik yang masih duduk menunduk menyembah Dewi Sri.
Manik merasa Dewi Sri sudah pergi ke kayangan. Manik pun bangun dri duduk bersilanya. Manik kembali takjub melihat pohon apel tumbuh di samping kursinya. “Pohon apel kesanganku sudah kembali,” ucap Manik bahagia.
Semenjak kejadian itu, Manik selalu melaksanakan pesan-pesan itu.
- Menjaga tanaman agar bisa berbiji (berbuah) dengan baik
- Menjaga biji-bijian dengan baik agar bisa ditanam kembali
- Jangan mengusir cacing-cacing dari tanah
- Jangan memberi cacing itu plastik karena cacing akan pergi tak suka pada plastik
- Jangan membuang plastik sembarangan, karena jika itu terjadi semua binatang dan tumbuhan akan kembali diambil Dewi Sri (Tuhan)
Manik selalu mengingat pesan itu. Orang-orang yang dulu pergi meninggalkan desa, kini datang lagi dan menemukan tanah desa kembali subur. Manik bersama mereka menjaga dan merawat semua tumbuhan itu. Desa terpencil itu pun tak pernah lagi kekeringan. Tanahnya tetap subur dan berbagai jenis tumbuhan bisa tumbuh. (T)