Michael Essien begitu dikenal oleh publik Bandung, bahkan mungkin Indonesia. Pemain top atau marquee player status yang disandangnya setelah resmi dikontrak Persib Bandung. Nilai kontrak yang rumornya mencapai Rp 11 miliar menjadi ukuran pemain termahal sejagad Nusantara.
Kedatangan pemain yang pernah berseragam Real Madrid, AC Milan, dan Chelsea ini pun disambut dengan hinggar bingar. Bahkan saat latihan hingga ke hotel atau ke mana pun “sang bintang” dibuntuti. Tak sekadar ingin tahu, namun juga foto bersama dan minta tanda tangan menjadi ritual khusus ketika bertemu dengan “sang mega bintang”.
Klub dan sponsor tahu betul ini market karena menjadi magnet bagi suporter, fans, pendukung, penonton dan masyarakat umum. Publik Bandung mengelu-elukan sang bintang. Ingin melihat, menonton, berdampingan, dan meniru gaya bermain kalau bisa. Atau minimal memiliki jerseyhasil penggandaan dengan label orisinil.
Rasa penasaran publik Bandung terjawab ketika Essien diturunkan pada pertandingan uji coba. Puncaknya saat Maung Bandung (julukan Persib Bandung) meladeni Bali United dalam laga bertajuk uji coba di Stadion Gelora Bandung Lautan Api (GBLA), Sabtu (08/04/2017).
Meski hasilnya jauh dari kata memuaskan karena Persib secara mengejutkan kalah 1-2, namun publik Bandung tak lantas kecewa, meninggalkan stadion atau dengan ekspresi lain. Bahkan dalam laga itu diwarnai insiden “memalukan” ketika Essien mengejar Yabes Roni setelah tidak sengaja terkena bola sepakan pemain muda Bali United ini.
Insiden yang menjadi trending topic mewarnai pemberitaan di dalam negeri hingga luar negeri itu, tetap menempatkan Essien seorang bintangnya. Sedangkan Yabes, pemain baru kemarin jadi harus minta maaf atas insiden itu.
Nah, bagaimana kalau Essien gabung dengan Bali United bermain di Bali?
Tentu jawabannya tidak akan terjadi. Pertama karena Bali United tidak menghendaki, kedua mengapa harus mendatangkan pemain berlebel pemain bintang. Ukuran bintang di Bali jauh lebih tinggi dibandingkan di daerah lain. Bintang yang betul ada di langit, bukan bintang jatuh di bumi begitu kira-kira gambarannya.
Di Bali pemain punya nama dan berbintang atau berlebel marquee player (sekadar lebih gampang penyebutan) tidak akan disambut bak bintang. Jangankan dikerumuni, diajak foto bersama pun tidak. Apalagi ada yang teriak-teriak histeris, hingga nekat menerobos petugas keamanan dengan ingin memeluk sang idola. Tidak pernah seperti itu di Bali. “Biasa gen, biasa saja.” Begitu ujaran yang kerap terdengar.
Terbukti beberapa pemain top dunia berseliweran di Pantai Kuta, Ubud dan Bedugul. Mereka santai seperti wisatawan lain seperti tidak ada yang mengenalnya. Misalnya, tiba-tiba gelandang Timnas Jerman Sami Khedira meng-upload fotonya di Bali. Kiper Timnas Jerman Manuel Neuer mengambil gambar dengan background Pura Ulun Danu, Bedugul, Tabanan. Juga kiper muda sensasional Timnas Spanyol yang kini membela klub Manchester United (MU) David De Geadan Edwin Van der Sar (Belanda).
Kalau kita telusuri, tidak kurang 12 pesepak bola top dunia yang pernah menikmati indahnya Bali. Belum lama ini misalnya, legenda MU Ryan Giggs dan Garry Neville kedapatan berada di sebuah hotel di Kuta. Federico Bernardeschi dan Stephan El Shaarawy (Italia), Chris Smalling (Inggris-MU) yang mengalami kecelakaan bermain surfing. Juga mantan pemain MU, Luis Nani (Portugal).
Bahkan bintang David Beckham (Inggris) pernah menikmati indahnya panorama Bali. Cristiano Ronaldo (Real Madrid) dengan segala daya tariknya baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan hijau juga pernah menginjakkan kaki dan “bermain” bola di Bali, dua kali. Terakhir mega bintang asal Portugal ini menanam mangrove waktu itu (25/06/2013) pun tidak ada antusias (selain ada udang di balik batu).
Lalu, di level domestik Persegi Bali FC pernah mendatangkan pemain sekaliber Oscar Aravena. Pemain yang dipuja-puja selama membela Persela Lamongan, namun di sini, ya, diterima seperti pemain lainnya. Bali United pun pernah mencoba “membintangkan” Irfan Bachdim. Pemain yang moncer di Liga Jepang dan dielu-elukan saat membela Timnas Indonesia ini akan disambut bak bintang. Mulai dari bandara dibuat dokumentasi dengan cara diintai layaknya realty show.
Namun hasilnya, Bachdim ya Bachdim, bukan siapa-siapa. Ia pemain sepak bola yang akan dielu-elukan, disambut tepuk tangan jika di lapangan bermain bagus. Lebih-lebih mencetak gol sehingga Bali United menang.
Di Bali seakan tidak ada pemain bintang kecuali seorang pemain yang penampilannya jempolan sepanjang pertandingan. Nama tidak akan disematkan kecuali ia bermain perfect punya peran lebih di dalam skuat. Kalau hanya nama bukan skill dan kebutuhan tim, maka jangan harap tujuan meningkatkan kualitas dan pemasaran klub tercapai.
Maka jangan heran jika manajemen Bali United berfikir ulang dan mengulur-ulur akan mendatangkan pemain berstatus Marquee player atau designated player. Bahkan sekarang menunggu kondisi tim dalam beberapa pertandingan Liga I.
Kalau kita telusuri cara pandang masyarakat Bali terhadap orang penting seolah menjadi subkultur tersendiri. Bukan hanya pemain sepak bola ternama yang pernah ke Bali, namun ribuan selebriti, pakar orang istimewa, penerima Nobel, gangster yang berkunjung ke Bali. Para selebriti pribumi dan asing itu datang secara terbuka, jalan-jalan di tempat ramai, mandi dan berjemur di pantai.
Kesempatan mengobrol dengan mereka dan minta tanda tangan sangat terbuka, namun tidak melakukannya. Bagaimana hingar-bingar berita media nasional dan internasional memberitakan shooting Julia Robert dalam proses pembuatan film Eat, Pray, Love, namun tidak berlaku bagi masyarakat di Ubud. Biasa saja. Mereka justru ada yang merasa terganggu karena tidak bisa beraktivitas di pasar. Seolah-olah semua itu sudah sangat biasa, dan tak apa-apa kalau dibiarkan berlalu begitu saja.
Lalu Gde Aryantha Soethama berujar “Maha Penting Bali” dalam bukunya “Menitip Mayat di Bali” (Penerbit Kompas: 2016). Bali sesungguhnya sebuah pulau maha penting, karena saban tahun dikunjungi tokoh-tokoh berwibawa, orang-orang penting, manusia-manusai terkenal dan brilian.
Namun entah kenapa Bali seolah tak pernah punya kepentingan terhadap manusia-manusia penting itu. Bali terasa hanya membutuhkan rupiah dan dolar yang tersimpan di kocek mereka. Tentu tak keliru kalau muncul komentar, Bali telah menyia-nyiakan banyak kesempatan yang diberikan industri pariwisata. (T)