FESTIVAL Monolog Bali 100 Putu Wijaya sudah dibuka 22 Maret 2017. Setelah sekitar dua bulan melakukan persiapan, gelar acara monolog untuk mengapresiasi karya Putu Wijaya ini resmi dibuka di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Acara pembukaan di panggung kecil tapi megah.
Malam itu, terlihat kawan-kawan tim produksi tengah sibuk menyetting panggung pementasan. Rumah belajar Komunitas Mahima yang biasanya digunakan sebagai tempat diskusi ditata sedemikian rupa. Para penonton yang tak kebagian kursi, berdiri, mondar-mandir di halaman, di beranda rumah, sampai di tengah ruangan. Acara dibuka dengan orasi Putu Wijaya yang dibacakan oleh Putu Satriya Kusuma sebagai penggagas acara.
Lampu panggung dimatikan. Putu Satriya hilang. Ia yang sedari tadi terlihat sibuk menanam dupa pada kulit pohon jepun di tengah bangku penonton, kini tak kelihatan sama sekali. Di antara rasa penasaran penonton akan sosok Putu, mucul titik-titik api, samar di kegelapan.
Nyala api dari dupa yang demikian kecil jika dibandingkan dengan gelap dan rasa pengap yang saling berdesakan ini tengah menyihir penonton buat mengikuti setiap geraknya. Kadang diam, kadang digetarkan, kadang dipantul-pantulkan membentuk cipratan layaknya cat merah yang dipoleskan pada dinding gelap kanvas.
Ketika tangan dan kakiku lumpuh dan tubuhku tak mampu lagi melontarkan seluruh kobaran batin yang bergelora di kepala, aku menatap ke langit yang tiba-tiba berbicara: anakku jangan sesali apa yang kamu miliki lapangkan hati nurani lepas seluruh peluru sanubari yang ingin kamu tembakkan ke sekitar menyapa rakyat-bangsamu.
Orasi Putu Wijaya
Teks orasi Putu Wijaya dilantunkan sebagai lagu. Seperti penari arja yang menembangkan dialognya, Putu Satriya membuka Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya dengan bermacam renungan tentang geliat teater modern di Bali. Bagai titik api kecil yang selalu nyala di kegelapan.
Seumpama rasa pengap, sesak, semangat, dan penasaran yang saling peluk tengah panggung yang begitu sederhana. Soal tradisi sebagai sebuah akar yang tak bisa dilepaskan serta pola-pola barat yang saling jalin-menjalin, ikat-mengikat, pengaruh-memengaruhi. Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya pun dimulai!
Kesadaran Regenerasi
Hari pertama diisi dengan pentas “Kemerdekaan” oleh Komunitas Mahima, “Ih” oleh Teater Kampung Seni Banyuning dan “Surat Kepada Setan” oleh Teater Kalangan. Pentas “Kemerdekaan” dimainkan oleh Julio Saputra dan disutradarai oleh Kadek Sonia Piscayanti.
Kemerdekaan bercerita tentang seorang tua yang ingin melepas burung peliharaannya ke langit luas. Dalam pentas ini, kemerdekaan didefinisikan sebagai kebebasan yang didapatkan dengan mengorbankan jiwa raga dan semangat bersama bukan sebuah kebebasan individu.
Pentas “Ih” yang disutradarai oleh Putu Satriya Kusuma bercerita tentang pengadilan seorang anak yang dicurigai dibunuh oleh ibu tiri dan ayahnya sendiri. Meski tempo pementasan cenderung lambat, di sini dapat dilihat begitu kuatnya stamina Ayu Sri Damayanti sebagai aktor memainkan pentas yang berdurasi lebih dari satu jam.
Adapun pentas terakhir, dimainkan oleh A.A Ngurah Anggara Surya yang disutradarai oleh Ketut Manik Sukadana. Surat Kepada Setan yang sejatinya menawarkan narasi yang sangat beragam ini, tampak difokuskan pada persoalan TKW Indonesia yang tak lagi diperhatikan hak-haknya oleh bangsanya sendiri.
Jika ditilik lebih dalam, ketiga pementasan yang disajikan pada hari pertama tampak dimainkan oleh aktor-aktor yang masih tergolong muda dalam dunia teater.
Entah memang direncanakan atau tidak, ada semacam kesadaran yang tumbuh pada hari itu, bahwa teater Bali sedang berada di tangan anak-anak muda ini. Tentu saja, begitu banyak persoalan yang sebenarnya bisa didiskusikan semisal persoalan Julio yang belum sepenuhnya percaya pada tubuhnya sendiri, karakterisasi penokohon pada Ayu, serta pemahaman teks yang dikuasai oleh Anggara.
Semua itu tampak diamini sebagai PR bersama di tengah tepuk tangan penonton dan guyur hujan yang pecah menjelang akhir pementasan.
Kesadaran Ruang, Aktor dan Artistik Pertunjukan
Pada 23-24 Maret, hari kedua dan ketiga pentas, panggung berpindah ke area Kampus Bawah Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha, Singaraja. Pada hari itu, kawan-kawan teater begitu fasih dalam menyiasati ruang pementasan. Teater Kampus Seribu Jendela misalnya, memainkan naskah “Hari Ibu” di Ruang Teater Kampus Bawah, Undiksha.
Kain putih yang dipotong menjadi tiga bagian dibentangkan sebagai backdrop. Bagian belakang kain, ditembak cahaya LCD muncul secara perlahan. Di sini, tampak kepiawaian Hardiman selaku sutradara dalam menata ruang yang notabene, meski dinamakan ruang teater sebenarnya lebih mirip ruang kelas.
Cahaya yang muncul diantara celah kain dibiarkan merayap sampai ke atas atap. Lalu bergerak mengajak penonton seperti menaiki kereta api menuju pusat cerita.
Yusna Safitri, aktor pentas ini muncul dari balik kain sambil menyangga kursi. Kata-kata tentang ibu meluncur dengan derasnya berbaur dengan nyanyian serta kecipak air yang terus dipukulkan oleh pemusik. Tak ada satu kalimatpun yang benar masuk ke pikiran.
Dialog, nyanyian, dan kecipak air seolah saling memburu telinga. Sedang mata tak hentinya terpukau dengan visual pentas. Dalam kondisi ini, kita seolah dibiarkan tenggelam dalam hingar bingar artistik sekaligus noise musik yang megah. Adapun yang benar jelas kedengaran hanya satu kata: Ibu!
Ketika LCD mati, dialog dan suara-suara berhenti menandakan pementasan berakhir. Yusna Safitri berubah menjadi tokoh penonton yang terpukau dengan pertunjukan. Dengan semangat menggebu usai pentas, ia ucapkan selamat hari ibu pada ibunya yang kemudian ditanggapi dengan perasaan datar oleh sang Ibu. Bukankah setiap hari adalah hari Ibu?
Adegan-adegan ini pun terus berulang dilakukan. Mengingatkan kita pada hal yang serupa. Mengucapkan selamat pada ibu setiap hari ibu yang sejatinya tiap hari adalah hari ibu. Sebuah ironi yang sangat menggelikan. Dalam konteks ini, Hardiman benar-benar telah menyajikan realitas sesungguhnya di atas panggung.
Usaha
Usaha menyajikan artistik pementasan juga tampak pada Komunitas Puntung Rokok yang memainkan naskah “Nol”. Garapan sutradara muda, Syahrul Iman ini menyajikan tawaran yang amat menarik. Cermin dengan berbagai ukuran dan penempatan yang berbeda dipajang di area Basement Kampus Bawah membawa kita pada pemahaman eksistensialisme.
Sayangnya, hal ini tak dibarengi dengan kesadaran pemain dalam memahami subteks cerita. Dhani Mahatma Gandhi, yang memang baru pertama kali pentas teater tak mampu menggiring penonton pada cerita. Alhasil, pertunjukan lebih banyak menjadi sebuah tontonan, sedang artistik belum mampu menciptakan lapisan kontemplatif pementasan.
Adapun Ari Sariadi dan Teater Kampung Seni Banyuning Putu Satriya Kusuma terlihat bermain dalam ruang improvisasi. Ari Sariadi memainkan naskah “Tua”. Yang menarik adalah pola pentas yang mengingatkan kita dengan permainan tradisi. Ia hanya membawa dirinya. Berhias sendiri, menyetting panggung sendiri. Apa yang ada di sekitarnya, itulah yang direspon dan digunakan sebagai properti pentas. Begitu pula dengan Putu Satriya Kusuma yang memainkan naskah “Anjing”.
Beberapa jam sebelum pentas, ia masih tampak mondar-mandir di sekitar area kampus. Mengambil rantai bekas yang tergeletak di parkiran dan menyusun kursi besi mengitari panggung. Adapun naskah “Anjing” sendiri, bercerita tentang anjing yang ingin menjadi manusia. Setelah dikabulkan, ia sadar bahwa kehidupan anjing lebih enak ketimbang manusia.
Dalam pertunjukan, narasi teks dikaitkan pada peristiwa kerusuhan 98 yang kala itu terjadi penembakan membabi buta tanpa bisa membedakan mana manusia mana anjing. Mana yang layak ditembak, mana yang tidak.
Dari sekian banyak pentas, adalah Desi Nurani Komunitas Mahima yang tampak memukau memainkan naskah “Mulut”. Pentas yang disutradarai oleh Kadek Sonia Piscayanti ini menggiring monolog pada fitrah sejatinya sebagai sebuah usaha presentasi keaktoran. Desi sebagai aktor benar-benar mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin. Tanpa musik. Dengan tata cahaya seadanya dan properti seperlunya.
Kendati demikian, penonton benar-benar dibuat terperangah oleh penampilannya. Tubuhnya yang lentur dibarengi dengan pola-pola yoga sebagai bahan utama dalam mewujudnya koreografi pentas dihadirkan dengan takaran yang pas. Begitu pula dengan pengkarakteran berbagai tokoh yang dibangun dengan ciri khasnya masing-masing.
Naskah Mulut sendiri bercerita tentang seorang perempuan yang tidak punya mulut. Setelah diberikan mulut, mengumbar seenak udelnya, lalu dibungkam kembali oleh aparat. Sebuah refleksi tentang sistem demokrasi dan birokrasi negari kita yang amburadul.
Hal-hal di Luar Pentas
Selama tiga hari pembukaan, masing-masing menyuguhkan tiga pementasan dari berbagai kelompok teater Singaraja. Masing-masing kelompok teater ini berusaha tampil secara maksimal. Meski semua naskah ditulis oleh Putu Wijaya, menariknya adalah, hampir tak ada kemiripan sama sekali dalam setiap pentas yang disuguhkan.
Semua punya tafsirnya masing-masing. Semua punya caranya sendiri dalam mewujudkan pentas. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pembacaan yang begitu beragam dan sulit dipetakan dalam setiap pentas yang disajikan.
Tak hanya menyisakan diskusi dalam pentas, pembukaan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini pun diselingi banyak peristiwa.
Setiap harinya, ada saja peristiwa yang membuat tertawa, geli, khawatir bercampur aduk. Pada hari pertama misalnya, menjelang akhir pementasan, hujan tiba-tiba saja datang. Penontonpun berdesakan mencari tempat teduh. Sedang pentas terus dilanjutkan sampai akhir.
Acara hari pertama sebenarnya tak pernah benar-benar ditutup secara formal. Penonton, pemain, dan tim produksi saling baur berkenalan, menyapa, dan mengobrol. Pentas dalam hal ini menjadi ruang pertemuan yang begitu hangat antara berbagai kalangan yang pentas maupun yang menyaksikan pentas.
Hari kedua dan ketigapun tak kalah uniknya.
Pada hari kedua, pentas yang semula direncanakan digelar di wantilan kampus bawah diubah menjadi ruang teater. Ruang teater, yang selama ini begitu enggan digunakan tempat pentas pertunjukan, untuk pertama kali akhirnya digunakan juga. Bahkan, menuai hasil yang maksimal.
Tentunya, ini membuka kembali kesadaran terhadap pertanyaan purba tentang ruang teater itu sendiri. Benarkah kita memerlukan ruang khusus teater? Atau sejatinya, karena ketidakadaan ruang teater inilah yang membuka kemungkinan-kemungkin lain dalam pertunjukan?
Sebagaimana yang biasa dihadapi oleh kawan-kawan teater di Singaraja yang memang kerapkali menggunakan ruang alternatif sebagai tempat pertunjukan.
Sedang hari ketiga, pentas diramainkan oleh haul salah seorang kawan dari Komunitas Puntung Rokok yang akan menggunduli rambutnya, jika mereka berhasil pentas di acara ini.
Melihat tingkah polah kawan-kawan muda ini, membuat teater sangat amat “anak muda”. Bukan hanya upaya gerakan seni untuk seni saja melainkan sebagai wadah buat bersenang-senang. Dalam konteks ini, diri jadi teringat dengan penutup orasi Cok Sawitri tentang Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini.
“Maka festival ini, dikembalikan kepada semua proses pribadi-pribadi, tak peduli kalangan mana itu; apakah dimulai dari kepura-puraan tahu ataukah karena kenekatan, karena suka ria ataukah karena diajakin teman! Bila proses itu dengan berpegang pada bahwa proses ini adalah intropeksi! Maka selamat datang di festival ini, sebab semua hasil itu adalah akan tetap menjadi medan tempur simbolik. Akan menjadi pementasan monolog sendiri. Semua sikap, semua ekspresi, semua kemunculan dan kebuntuan! Semuanya adalah fiesta!”
Singaraja, 2017