14 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Festival Sudah Dibuka, Kecil tapi Megah – Ayo Lanjutkan Perjuangan

Wayan SumahardikabyWayan Sumahardika
February 2, 2018
inEsai

Sumahardika saat memainkan naskah Damai. /Foto: Mursal Buyung

16
SHARES

FESTIVAL Monolog Bali 100 Putu Wijaya sudah dibuka 22 Maret 2017. Setelah sekitar dua bulan melakukan persiapan, gelar acara monolog untuk mengapresiasi karya Putu Wijaya ini resmi dibuka di Rumah Belajar Komunitas Mahima. Acara pembukaan di panggung kecil tapi megah.

Malam itu, terlihat kawan-kawan tim produksi tengah sibuk menyetting panggung pementasan. Rumah belajar Komunitas Mahima yang biasanya digunakan sebagai tempat diskusi ditata sedemikian rupa. Para penonton yang tak kebagian kursi, berdiri, mondar-mandir di halaman, di beranda rumah, sampai di tengah ruangan. Acara dibuka dengan orasi Putu Wijaya yang dibacakan oleh Putu Satriya Kusuma sebagai penggagas acara.

Lampu panggung dimatikan. Putu Satriya hilang. Ia yang sedari tadi terlihat sibuk menanam dupa pada kulit pohon jepun di tengah bangku penonton, kini tak kelihatan sama sekali. Di antara rasa penasaran penonton akan sosok Putu, mucul titik-titik api, samar di kegelapan.

Nyala api dari dupa yang demikian kecil jika dibandingkan dengan gelap dan rasa pengap yang saling berdesakan ini tengah menyihir penonton buat mengikuti setiap geraknya. Kadang diam, kadang digetarkan, kadang dipantul-pantulkan membentuk cipratan layaknya cat merah yang dipoleskan pada dinding gelap kanvas.

Ketika tangan dan kakiku lumpuh dan tubuhku tak mampu lagi melontarkan seluruh kobaran batin yang bergelora di kepala, aku menatap ke langit yang tiba-tiba berbicara: anakku jangan sesali apa yang kamu miliki lapangkan hati nurani lepas seluruh peluru sanubari yang ingin kamu tembakkan ke sekitar menyapa rakyat-bangsamu.

Orasi Putu Wijaya

Teks orasi Putu Wijaya dilantunkan sebagai lagu. Seperti penari arja yang menembangkan dialognya, Putu Satriya membuka Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya dengan bermacam renungan tentang geliat teater modern di Bali. Bagai titik api kecil yang selalu nyala di kegelapan.

Seumpama rasa pengap, sesak, semangat, dan penasaran yang saling peluk tengah panggung yang begitu sederhana. Soal tradisi sebagai sebuah akar yang tak bisa dilepaskan serta pola-pola barat yang saling jalin-menjalin, ikat-mengikat, pengaruh-memengaruhi. Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya pun dimulai!

Kesadaran Regenerasi

Hari pertama diisi dengan pentas “Kemerdekaan” oleh Komunitas Mahima, “Ih” oleh Teater Kampung Seni Banyuning dan “Surat Kepada Setan” oleh Teater Kalangan. Pentas “Kemerdekaan” dimainkan oleh Julio Saputra dan disutradarai oleh Kadek Sonia Piscayanti.

Kemerdekaan bercerita tentang seorang tua yang ingin melepas burung peliharaannya ke langit luas. Dalam pentas ini, kemerdekaan didefinisikan sebagai kebebasan yang didapatkan dengan mengorbankan jiwa raga dan semangat bersama bukan sebuah kebebasan individu.

Pentas “Ih” yang disutradarai oleh Putu Satriya Kusuma bercerita tentang pengadilan seorang anak yang dicurigai dibunuh oleh ibu tiri dan ayahnya sendiri. Meski tempo pementasan cenderung lambat, di sini dapat dilihat begitu kuatnya stamina Ayu Sri Damayanti sebagai aktor memainkan pentas yang berdurasi lebih dari satu jam.

Adapun pentas terakhir, dimainkan oleh A.A Ngurah Anggara Surya yang disutradarai oleh Ketut Manik Sukadana. Surat Kepada Setan yang sejatinya menawarkan narasi yang sangat beragam ini, tampak difokuskan pada persoalan TKW Indonesia yang tak lagi diperhatikan hak-haknya oleh bangsanya sendiri.

Jika ditilik lebih dalam, ketiga pementasan yang disajikan pada hari pertama tampak dimainkan oleh aktor-aktor yang masih tergolong muda dalam dunia teater.

Entah memang direncanakan atau tidak, ada semacam kesadaran yang tumbuh pada hari itu, bahwa teater Bali sedang berada di tangan anak-anak muda ini. Tentu saja, begitu banyak persoalan yang sebenarnya bisa didiskusikan semisal persoalan Julio yang belum sepenuhnya percaya pada tubuhnya sendiri, karakterisasi penokohon pada Ayu, serta pemahaman teks yang dikuasai oleh Anggara.

Semua itu tampak diamini sebagai PR bersama di tengah tepuk tangan penonton dan guyur hujan yang pecah menjelang akhir pementasan.

Kesadaran Ruang, Aktor dan Artistik Pertunjukan

Pada 23-24 Maret, hari kedua dan ketiga pentas, panggung berpindah ke area Kampus Bawah Fakultas Bahasa dan Seni Undiksha, Singaraja. Pada hari itu, kawan-kawan teater begitu fasih dalam menyiasati ruang pementasan. Teater Kampus Seribu Jendela misalnya, memainkan naskah “Hari Ibu” di Ruang Teater Kampus Bawah, Undiksha.

Kain putih yang dipotong menjadi tiga bagian dibentangkan sebagai backdrop. Bagian belakang kain, ditembak cahaya LCD muncul secara perlahan. Di sini, tampak kepiawaian Hardiman selaku sutradara dalam menata ruang yang notabene, meski dinamakan ruang teater sebenarnya lebih mirip ruang kelas.

Cahaya yang muncul diantara celah kain dibiarkan merayap sampai ke atas atap. Lalu bergerak mengajak penonton seperti menaiki kereta api menuju pusat cerita.

Yusna Safitri, aktor pentas ini muncul dari balik kain sambil menyangga kursi. Kata-kata tentang ibu meluncur dengan derasnya berbaur dengan nyanyian serta kecipak air yang terus dipukulkan oleh pemusik. Tak ada satu kalimatpun yang benar masuk ke pikiran.

Dialog, nyanyian, dan kecipak air seolah saling memburu telinga. Sedang mata tak hentinya terpukau dengan visual pentas. Dalam kondisi ini, kita seolah dibiarkan tenggelam dalam hingar bingar artistik sekaligus noise musik yang megah. Adapun yang benar jelas kedengaran hanya satu kata: Ibu!

Ketika LCD mati, dialog dan suara-suara berhenti menandakan pementasan berakhir. Yusna Safitri berubah menjadi tokoh penonton yang terpukau dengan pertunjukan. Dengan semangat menggebu usai pentas, ia ucapkan selamat hari ibu pada ibunya yang kemudian ditanggapi dengan perasaan datar oleh sang Ibu. Bukankah setiap hari adalah hari Ibu?

Adegan-adegan ini pun terus berulang dilakukan. Mengingatkan kita pada hal yang serupa. Mengucapkan selamat pada ibu setiap hari ibu yang sejatinya tiap hari adalah hari ibu. Sebuah ironi yang sangat menggelikan. Dalam konteks ini, Hardiman benar-benar telah menyajikan realitas sesungguhnya di atas panggung.

Usaha

Usaha menyajikan artistik pementasan juga tampak pada Komunitas Puntung Rokok yang memainkan naskah “Nol”. Garapan sutradara muda, Syahrul Iman ini menyajikan tawaran yang amat menarik. Cermin dengan berbagai ukuran dan penempatan yang berbeda dipajang di area Basement Kampus Bawah membawa kita pada pemahaman eksistensialisme.

Sayangnya, hal ini tak dibarengi dengan kesadaran pemain dalam memahami subteks cerita. Dhani Mahatma Gandhi, yang memang baru pertama kali pentas teater tak mampu menggiring penonton pada cerita. Alhasil, pertunjukan lebih banyak menjadi sebuah tontonan, sedang artistik belum mampu menciptakan lapisan kontemplatif pementasan.

Adapun Ari Sariadi dan Teater Kampung Seni Banyuning Putu Satriya Kusuma terlihat bermain dalam ruang improvisasi. Ari Sariadi memainkan naskah “Tua”. Yang menarik adalah pola pentas yang mengingatkan kita dengan permainan tradisi. Ia hanya membawa dirinya. Berhias sendiri, menyetting panggung sendiri. Apa yang ada di sekitarnya, itulah yang direspon dan digunakan sebagai properti pentas. Begitu pula dengan Putu Satriya Kusuma yang memainkan naskah “Anjing”.

Beberapa jam sebelum pentas, ia masih tampak mondar-mandir di sekitar area kampus. Mengambil rantai bekas yang tergeletak di parkiran dan menyusun kursi besi mengitari panggung. Adapun naskah “Anjing” sendiri, bercerita tentang anjing yang ingin menjadi manusia. Setelah dikabulkan, ia sadar bahwa kehidupan anjing lebih enak ketimbang manusia.

Dalam pertunjukan, narasi teks dikaitkan pada peristiwa kerusuhan 98 yang kala itu terjadi penembakan membabi buta tanpa bisa membedakan mana manusia mana anjing. Mana yang layak ditembak, mana yang tidak.

Dari sekian banyak pentas, adalah Desi Nurani Komunitas Mahima yang tampak memukau memainkan naskah “Mulut”. Pentas yang disutradarai oleh Kadek Sonia Piscayanti ini menggiring monolog pada fitrah sejatinya sebagai sebuah usaha presentasi keaktoran. Desi sebagai aktor benar-benar mengeksplorasi dirinya semaksimal mungkin. Tanpa musik. Dengan tata cahaya seadanya dan properti seperlunya.

Kendati demikian, penonton benar-benar dibuat terperangah oleh penampilannya. Tubuhnya yang lentur dibarengi dengan pola-pola yoga sebagai bahan utama dalam mewujudnya koreografi pentas dihadirkan dengan takaran yang pas. Begitu pula dengan pengkarakteran berbagai tokoh yang dibangun dengan ciri khasnya masing-masing.

Naskah Mulut sendiri bercerita tentang seorang perempuan yang tidak punya mulut. Setelah diberikan mulut, mengumbar seenak udelnya, lalu dibungkam kembali oleh aparat. Sebuah refleksi tentang sistem demokrasi dan birokrasi negari kita yang amburadul.

Hal-hal di Luar Pentas

Selama tiga hari pembukaan, masing-masing menyuguhkan tiga pementasan dari berbagai kelompok teater Singaraja. Masing-masing kelompok teater ini berusaha tampil secara maksimal. Meski semua naskah ditulis oleh Putu Wijaya, menariknya adalah, hampir tak ada kemiripan sama sekali dalam setiap pentas yang disuguhkan.

Semua punya tafsirnya masing-masing. Semua punya caranya sendiri dalam mewujudkan pentas. Hal inilah yang kemudian menimbulkan pembacaan yang begitu beragam dan sulit dipetakan dalam setiap pentas yang disajikan.

Tak hanya menyisakan diskusi dalam pentas, pembukaan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini pun diselingi banyak peristiwa.

Setiap harinya, ada saja peristiwa yang membuat tertawa, geli, khawatir bercampur aduk. Pada hari pertama misalnya, menjelang akhir pementasan, hujan tiba-tiba saja datang. Penontonpun berdesakan mencari tempat teduh. Sedang pentas terus dilanjutkan sampai akhir.

Acara hari pertama sebenarnya tak pernah benar-benar ditutup secara formal. Penonton, pemain, dan tim produksi saling baur berkenalan, menyapa, dan mengobrol. Pentas dalam hal ini menjadi ruang pertemuan yang begitu hangat antara berbagai kalangan yang pentas maupun yang menyaksikan pentas.

Hari kedua dan ketigapun tak kalah uniknya.

Pada hari kedua, pentas yang semula direncanakan digelar di wantilan kampus bawah diubah menjadi ruang teater. Ruang teater, yang selama ini begitu enggan digunakan tempat pentas pertunjukan, untuk pertama kali akhirnya digunakan juga. Bahkan, menuai hasil yang maksimal.

Tentunya, ini membuka kembali kesadaran terhadap pertanyaan purba tentang ruang teater itu sendiri. Benarkah kita memerlukan ruang khusus teater? Atau sejatinya, karena ketidakadaan ruang teater inilah yang membuka kemungkinan-kemungkin lain dalam pertunjukan?

Sebagaimana yang biasa dihadapi oleh kawan-kawan teater di Singaraja yang memang kerapkali menggunakan ruang alternatif sebagai tempat pertunjukan.

Sedang hari ketiga, pentas diramainkan oleh haul salah seorang kawan dari Komunitas Puntung Rokok yang akan menggunduli rambutnya, jika mereka berhasil pentas di acara ini.

Melihat tingkah polah kawan-kawan muda ini, membuat teater sangat amat “anak muda”. Bukan hanya upaya gerakan seni untuk seni saja melainkan sebagai wadah buat bersenang-senang. Dalam konteks ini, diri jadi teringat dengan penutup orasi Cok Sawitri tentang Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini.

“Maka festival ini, dikembalikan kepada semua proses pribadi-pribadi, tak peduli kalangan mana itu; apakah dimulai dari kepura-puraan tahu ataukah karena kenekatan, karena suka ria ataukah karena diajakin teman! Bila proses itu dengan berpegang pada bahwa proses ini adalah intropeksi! Maka selamat datang di festival ini, sebab semua hasil itu adalah akan tetap menjadi medan tempur simbolik. Akan menjadi pementasan monolog sendiri. Semua sikap, semua ekspresi, semua kemunculan dan kebuntuan! Semuanya adalah fiesta!”

Singaraja, 2017

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologPutu Wijayaseni pertunjukanTeater
Previous Post

Bagaimana Proses Terjadinya Hujan? – Berceritalah Ibu kepada Ratna

Next Post

Membaca Buku Cerpen “I Kolok”: Merenungi Hidup yang Tampak Sahaja tapi Maharumit

Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

Next Post

Membaca Buku Cerpen “I Kolok”: Merenungi Hidup yang Tampak Sahaja tapi Maharumit

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more

Refleksi Visual Made Sudana

by Hartanto
May 12, 2025
0
Refleksi Visual Made Sudana

JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali,...

Read more

Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

by Sonhaji Abdullah
May 12, 2025
0
Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

DI Sekolah, fenomena bullying (dalam bahasa Indoneisa biasa ditulis membuli) sudah menjadi ancaman besar bagi dunia kanak-kanak, atau remaja yang...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co