20 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Gede Juta

Made Adnyana OlebyMade Adnyana Ole
February 2, 2018
inCerpen

Ilustrasi: IB Pandit Parastu

47
SHARES

Cerpen: Made Adnyana Ole

WAJAH Gede Juta tiba-tiba menyala. Usianya dekat 70, namun seperti seseorang hendak berperang dan siap menghadapi apa saja, bahkan kematian, ia berdiri tegak. Ia memandang Jero Perebekel yang pada malam itu tiba-tiba bertamu ke rumahnya.

“Tidak kulepaskan! Setidaknya sampai aku mati! Jadi, aku harus dibunuh agar tanah itu bisa lepas dari tanganku!”

Jero Perbekel – sang kepala desa, seketika mendongak. Sejak sekitar 50 tahun baru kali ini ia mendengar Gede Juta mengucapkan kata-kata jelas. Kata-kata yang bahkan mengandung kemarahan dan tantangan. Padahal, sudah sejak lama Gede Juta dikenal mengidap gangguan saraf dan kelainan jiwa. Hilang ingatan, hilang pikiran.

Sejenak Jero Perbekel diam. Ia seperti mengatur strategi untuk menyusun kembali kata bujuk-rayu agar terdengar lebih tajam. Bujuk-rayu yang sesungguhnya sejak awal sudah ditolak Gede Juta, yakni menjual seluruh tanah sawah dan kebun termasuk kandang ternak di tengahnya.

Tentu saja, Gede Juta tak akan bisa melepaskan begitu saja tanah kebun dan sawah miliknya termasuk kandang ternak di tengahnya Bukan karena tanah itu peninggalan orang tua paling berharga, namun lebih karena kebun dan sawah sudah menjadi wilayah sakral baginya untuk menyembunyikan ingatan. Di sawah saat bekerja, ia bisa abai pada ruang, lupa pada waktu, tak peduli pada keadaan dan pikun pada diri sendiri.

Masa kecil Gede Juta makmur. Ia lahir dari keluarga petani kaya, setahun setelah Indonesia dikabarkan merdeka. Ayahnya petani tulen yang kerap dijuluki tuan si pemilik sawah seluas tiga danau. Ibunya penjual hasil tani yang dagangannya tak mudah ditawar namun tetap dicari para tengkulak. Pada setiap putaran panen, keluarga itu bisa mengantongi uang sebanyak dua puluh kali lipat dari rata-rata uang yang dikantongi petani lain. Belum lagi ditambah hasil penjualan ternak sapi. Serta sesekali masuk juga penghasilan dari penjualan sayur dan buah-buahan.

Biasalah orang di desa, antara kagum dan sirik, kekayaan keluarga itu selalu jadi gosip. Orang-orang yang suka berkerumun di rompyok kopi dengan sukarela berebut menghitung peningkatan jumlah kekayaan keluarga itu pada setiap habis panen. Dan berhamburanlah decak takjub disertai gumam panjang ketika beberapa orang dengan hitungan ngawur sampai pada kesimpulan angka satu juta rupiah. Kekayaan keluarga petani itu mungkin tak sampai satu juta. Tapi saat itu, untuk mengatakan jumlah amat banyak, orang-orang memang terbiasa menyebut kata juta. Bagi mereka, jutaan adalah angka tertinggi. Mereka tak tahu miliar apalagi triliun.

Nama yang disandang Gede Juta tercipta sebagai lanjutan dari gosip semacam itu. Nama lahirnya hanya Gede. Akibat heboh gosip kekayaan satu juta, orang desa seakan sepakat memanggilnya Juta. Nama Gede Juta resmi dipakai ketika ia masuk sekolah. Ketika itu, ayahnya mendaftarkannya di SR. Satu guru iseng bertanya kenapa nama anak itu hanya Gede. Ayahnya lantas spontan menambahi kata Juta di belakang Gede. Maka, jadilah Gede Juta. Tentu ayahnya tak menyesal. Meski nama itu muncul dari gosip, sesungguhnya ia punya harapan besar, kelak anaknya benar-benar jadi jutawan yang bisa menjaga kekayaan keluarga sekaligus menggelembungkannya. Dengan harapan besar juga, setamat SR, Gede Juta dikirim ke sekolah menengah di Denpasar.

“Kau harus sekolah tinggi, Gede! Karena petani dan peternak harus pintar. Hanya petani dan peternak pintar yang bisa menyelamatkan sawah, kebun, ternak dan seluruh kekayaan keluarga di kemudian hari,” kata ayahnya.

Gede Juta mengangguk. Dan jalan pun terbuka. Selulus ia SMA, universitas baru di Denpasar kebetulan membuka jurusan peternakan. Ia masuk jurusan itu. Cita-citanya, kelak, di sela kerja mengolah sawah, ia membangun usaha peternakan sapi yang besar.

“Tetap tinggal di asrama. Semua keperluanmu akan Ayah kirim. Dan jangan pulang sebelum membawa ijazah!” kata ayahnya ketika mengantar Gede Juta ke asrama mahasiswa di dekat kampus.

Gede Juta sepakat, tapi nasib tidak. Suatu senja, ketika langit dipenuhi pantulan warna darah, ia pulang dengan wajah pucat. Tanpa ijazah. Ia tak bicara meski terus diburu pertanyaan dari ayah, ibu, kerabat dan tetangga. Ia menolak bercerita. Berhari-hari hanya diam. Jika pertanyaan kian bertubi, ia kemudian hanya menggeleng. Ia jadi terbiasa menggeleng meski tak ada lagi orang bertanya. Sejak itu, Gede Juta dianggap mengidap gangguan saraf, tak waras. Hilang ingatan, hilang pikiran. Ayah dan ibunya sedih, sakit, dan keduanya kemudian meninggal.

Sepeninggal orang tua, Gede Juta mengolah sawah dengan amat giat. Ia berlumur lumpur dan mengurus kebun, juga memelihara ternak, dari pagi hingga malam, bahkan sering kerja hingga 24 jam sehari. Ia mencangkul, membajak, menanam, dan menunaikan panen sendirian. Ia tak menikah dan benar-benar sendiri. Padahal seperti perumpamaan orang-orang, luas sawahnya mencapai tiga danau. Sementara itu, ia tetap enggan bicara dan terus menggeleng. Ia bungkam karena takut bercerita. Ia jarang istirahat karena takut melamun. Ia jarang tidur karena takut bermimpi.

Jika melamun dan bermimpi, potongan-potongan gambar yang muncul tak lain dari peristiwa yang justru ingin ia lupakan: satu pasukan bersenjata menyerbu asrama mahasiswa dan dia bersembunyi seperti tikus got di balik drum minyak tanah. Ia menyaksikan dari lubang drum yang robek bagaimana sejumlah mahasiswa yang hampir semua adalah temannya diseret dan dibantai tanpa melawan. Asrama itu diserbu karena dianggap sebagai sarang organisasi mahasiswa beraliran komunis. Ia sendiri selamat dan pulang ke desa dengan wajah serupa mayat.

Kerja di sawah tanpa henti adalah cara ampuh membenamkan lamunan busuk dan mimpi-mimpi keparat ke kubang lumpur. Ketika cangkul diayunkan ke udara ia seakan mengibaskan seluruh ingatan ke langit. Begitu bajak bergerak ia seperti memporakporandakan gambaran getir tentang satu adegan sadis yang membuatnya selalu mual. Saat benih padi ditanam, ia seakan membenamkan seluruh kisah hidupnya ke sebalik lumpur.

Dan kerja tak henti itu tentu saja membuat hasil panennya juga melimpah. Hampir setiap hari Gede Juta mengantongi uang jutaan rupiah dari hasil penjualan padi, hasil kebun, sayur, dan ternak. Ia tak pernah berbelanja, kecuali sesekali membeli pakaian. Ia tak banyak kena iuran listrik desa karena rumahnya lebih sering gelap. Ia tak membeli radio dan TV karena selalu ngeri mendengar berita. Bahkan ia tak sudi mendengar obrolan rakyat tentang politik atau keputusan-keputusan pemerintah yang kadang menggelikan, misalnya naik-turun harga BBM, perubahan mata uang, atau tentang presiden baru. Seluruh informasi ditolaknya. Ia merasa tak bernegara. Ia seperti tak membutuhkan apa-apa, bahkan uang hasil sawah, kebun dan ternak, yang diperolehnya hampir saban hari, dimasukkan begitu saja ke dalam lemari kayu.

Sampai suatu hari, tiba juga deru pariwisata di desa itu. Ada pengusaha besar hendak membangun hotel, restoran dan lapangan golf. Pengusaha itu perlu lahan luas, dan warga desa dengan mudah menjual sawah mereka karena tergiur harga mahal. Hanya Gede Juta yang menolak. Ketika diajak tawar-menawar, ia terus menggeleng. Ia akan terus menggeleng tanpa henti, siapa pun yang mencoba mendekatinya.

Akhirnya Jero Perbekel yang ternyata merangkap calo tanah menemuinya pada malam itu. Gede Juta jengah. Ia tak lagi menggeleng. Ia menjadi waras.

“Jika Jero Perbekel tak paham saat aku menggeleng, maka kini dengarkan suaraku. Aku tak akan menjual tanah itu!” suara Gede Juta makin keras dan jelas meski umurnya dekat 70 tahun.

“Apa Gede tidak kasihan dengan warga yang lain?” Jero Perbekel mencoba tetap bersuara pelan. Jelas sekali ia memiliki strategi untuk menjerat Gede Juta.

“Kasihan bagaimana?” Gede Juta balik bertanya.

“Pengusaha itu tak akan mencairkan dananya kepada warga, sebelum tanah Gede didapatkannya. Warga bingung. Kasihan. Sawah sudah diratakan, tapi mereka belum terima duit!”

“Orang bodoh tak perlu dikasihani. Kenapa mau tanda tangan akte jual-beli jika uang belum ada!?”

Jero Perbekel makin heran saat Gede Juta tampak makin waras.

“Begini saja,” kata Gede Juta kemudian. “Batalkan penjualan tanah itu. Aku yang akan membeli semua tanah warga. Aku bayar sekarang juga!”

Gede Juta kemudian mengajak Jero Perbekel masuk ke dalam kamar besar di dalam rumahnya yang besar. Di dalam kamar ia memperlihatkan 30 lemari kayu ukuran sedang. Ia membuka lemari satu per satu. Begitu lemari terbuka, uang berdesakan menyembul dan berserakan ke lantai. Kamar itu jadi penuh uang. “Semua ini kukumpulkan selama setengah abad, ditambah warisan orang tua!” bisiknya.

Jero Perbekel berjongkok, meneliti. Ternyata hanya sekitar lima lemari berupa uang kertas baru. Selebihnya adalah uang logam dan uang kertas dengan angka tahun 1960-an hingga 1990-an yang kini sudah tak bisa dibelanjakan. Uang itu lecek, kucel dan banyak robek dimakan tikus atau rayap. Jero Perbekel memandang Gede Juta dengan gemas sekaligus iba. Gede Juta seperti menyadari sesuatu. Tiba-tiba ia kembali menggeleng, kali ini dengan gerakan semakin cepat.

Singaraja, Januari 2015

Tags: Cerpen
Previous Post

Puisi-puisi untuk Putu Vivi Lestari – Selamat Jalan, Penyair…

Next Post

Musik Pop Gamelan – Musik yang Sudah “Terkunyah Habis”

Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

Next Post

Musik Pop Gamelan – Musik yang Sudah “Terkunyah Habis”

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Manusia Tersekolah Belum Tentu Menjadi Terdidik

by I Nyoman Tingkat
May 19, 2025
0
Manusia Tersekolah Belum Tentu Menjadi Terdidik

PADA 2009, Prof. Winarno Surakhmad, M.Sc.Ed. menerbitkan buku berjudul “Pendidikan Nasional : Strategi dan Tragedi”.  Buku setebal 496 halamanitu diberikan...

Read more

Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

by Dewa Rhadea
May 19, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

PAGI ini, saya membaca sebuah berita yang membuat dada saya sesak: sekelompok siswa Sekolah Dasar (SD) di Cilangkap, Depok, terlibat...

Read more

Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

by Made Chandra
May 19, 2025
0
Aktualisasi Seni Tradisi dalam Pusaran Era Kontemporer

Upaya Membaca yang Dianggap Lalu, untuk Membaca Masa Kini serta Menerka Masa Depan KADANG kala selalu terbersit dalam pikiran, apa...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Mujri, Si Penjaja Koran: Sejak 22 Tahun Tetap Setia Berkeliling di Seririt
Persona

Mujri, Si Penjaja Koran: Sejak 22 Tahun Tetap Setia Berkeliling di Seririt

TERSELIPLAH sosok lelaki bertopi di antara sahut-riuh pedagang dan deru kendaraan di jalanan sekitar Pasar Seririt, Buleleng, Bali, pada satu...

by Komang Puja Savitri
May 19, 2025
Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar
Panggung

Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar

AMFLITEATER Mall Living World, Denpasar, ramai dipenuhi pengunjung. Sabtu, 10 Mei 2025 pukul 17.40, Tempat duduk amfliteater yang bertingkat itu...

by Hizkia Adi Wicaksnono
May 16, 2025
Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa 
Kuliner

Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa

ADA beberapa buah tangan yang bisa kalian bawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh saat berkunjung ke Singaraja Bali. Salah satunya adalah...

by I Gede Teddy Setiadi
May 16, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co