PUJIAN BAGI TANGANMU
Tanganmu seperti senja hilang cahaya
tanganmu seperti dua bayang bersilang
di petang yang lengang
Setiap kali kata punya goa dan jejak rahasia
Tanganmu menuliskannya, menulisnya
sambil mengenang aku
Laki-laki sia-sia
yang datang padamu
di usianya yang hampa
Tanganmu seperti gerimis
yang ingin menghapus tangis
yang ingin mengusap pilu langit biru
Tanganmu seperti mata si mati di pagi hari
yang menembus hutan bayang
yang menggemakan gaung murung
di dinding-dinding, di puing-puing
kota masa tua ibumu
Aku laki-laki yang membaca semua sajakmu, mendatangimu
mengigaukan tangan yang lebih lembut dari maut
mengigaukan tangan yang lebih lengang dari petang
Aku laki-laki yang sesat di baris pertama, tak percaya
sungguh tak percaya, kenapa di akhir kata seseorang
terbawa rasa hampa; kenapa cerita tentang sorga
tak membuatnya bahagia tak menjadikannya suka cita
seperti ketika kecil dulu terlena seharian di sisi ibu
Tanganmu buah-buah kenari yang berjatuhan sepanjang hari
tanganmu senyap batu beradu di dasar kolam yang menunggu
Tanganmu,tanganku, tangan waktukah yang lunglai hilang lambai
Aku dan maut datang dengan wangi bunga yang sama
Maut dan aku berbagi derita rahasia kecupan pertama;
tapi bukan dalam sajakmu.
PUISI OKTOBER UNTUK TILEM
Baru saja aku terpana
oleh matanya yang jenaka
Baru saja ibunya yang jelita
beranjak sejenak meninggalkannya
Bayang si anak seketika itu melayang
luluh begitu cepat menembus dinding
Malam yang puing
hanya menyisakan dongeng
Di bahunya yang hangus
tak tumbuh sepasang sayap
yang menjanjikannya sorga
Tuhan yang kadang tak bernama
perkenankan aku tak memahamimu
TIANANMEN
Kepada Suklu
Istana larangan
bayangan kota terlarang
Kau duga itu hanya sekilas pandang
dari kisah tak terhapuskan
seorang anak muda berdiri di depan tank
yang tak kunjung retak oleh isak
Kau kira itu serupa torehan cahaya
yang menggenangi dinding
ujung paling lengang
dari kanvasmu
Namun di bawah hujan
yang basah oleh kenangan
pohon tua di tepi petang
sesaat lagi tumbang
Seekor ulat
yang menghuni sepotong daun
terlambat menyadari
bahwa dirinya tak punya waktu
untuk menjelma seekor kupu-kupu.
Lalu di sisi lapangan yang agung ini
seorang ibu memberimu sekerat roti
sambil berulang meyakinkanmu
bahwa revolusi telah selesai tadi pagi.
ODE DINI HARI
Seekor cicak mati sedini ini sendirian
tubuhnya remang membayang
menggenangi lantai dingin
tersentuh pendar cahaya dari seberang
tak ada sekadar sapa duka
atau doa sederhana yang memberkatinya
begitu saja hidupnya lintas percuma
seakan terlupakan tanpa makna
padahal bermalam sebelumnya
suara riangnya melipur kita
menggodamu dengan teka-teki nasib
bahwa hari esok akan jauh lebih baik
apakah bunyi hujan di luar itu
adalah suara gaibnya
atau lenguh dan keluh kita
yang tak bersudah
seekor cicak mati sedini ini
harinya telah selesai
tapi matanya masih saja terbuka
walau hampa tanpa cahaya
menatap ke arah gelap
dimana senyap tak kunjung tersingkap
sebagaimana hidup ini yang lenyap sekejap