SERING terjadi dua atau tiga komunitas etnis atau pemeluk agama menemukan hari baik yang sama untuk memperingati dan merayakan hari-hari suci dan tradisi mereka. Misalnya pada Rabu 5 April 2017 ini, pemeluk agama Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Galungan, dan pada hari yang sama juga warga keturunan Tionghoa merayakan sebagai puncak persembahyangan tradisi Ceng Beng.
Apa itu Ceng Beng?
Dalam Kitab Anggutara Nikaya, tertulis pernyataan Sang Buddha bahwa di dunia dan dalam hidup ini, ada dua orang yang tidak bisa dibalas budinya. Siapakah mereka? Jawabannya sederhana, ayah dan ibu.
Ya, ayah dan ibu. Dua nama itulah yang sudah dikenal sejak dulu. Bahkan, jauh sebelum nama Tuhan dikenal oleh umat manusia. “Ayah” ditujukan kepada langit, sementara “ibu” ditujukan kepada bumi.
Begitulah, mengapa akhirnya ada istilah Bapak Akasa dan Ibu Pertiwi yang kita kenal sampai sekarang. Ayah dan ibu adalah langit dan bumi. Ayah dan ibu adalah orang tua yang nantinya akan menjadi bagian dari leluhur bagi generasi selanjutnya.
Lalu, kenapa tidak bisa dibalas?
Begini lho. Cobalah diibaratkan seperti ini: Langit sudah memberikan udara, memberikan hujan, juga memberikan energi, dan Bumi sudah memberikan tempat tinggal, sumber daya alam, makanan dan minuman. Keduanya sudah memberikan kehidupan. Keduanya memberikan kebahagiaan. Itulah juga yang dilakukan oleh ayah dan ibu.
Keduanya sudah berkorban banyak. Mereka melahirkan, membesarkan dan kemudian menunjukan dunia kepada anaknya, kepada kita. Tentu sebuah pengorbanan hidup yang tidak akan bisa dibalas oleh apapun. Inilah yang diyakini oleh warga keturunan Tionghoa.
Kita, anak-anaknya, yakin bahwa satu-satunya cara untuk membalas budi adalah dengan berbakti kepada Ayah dan Ibu di dunia dan di akhirat. Lho, maksudnya apa?
Kita akan berbakti meski Ayah dan Ibu sudah meninggal dunia. Meskipun kita sebenarnya juga percaya bahwa dengan cara itu pun kita tidak akan bisa membalas budi baik ayah dan ibu secara sepenuhnya, secara lunas.
Berbakti
Warga keturunan Tionghoa memiliki sebuah tradisi yang bisa dikatakan khusus untuk menunjukkan bakti kepada ayah dan ibu dan leluhur yang sudah meninggal, atau bisa dikatakan untuk berbakti kepada mereka yang sudah berada di akhirat.
Tidak hanya ditujukan kepada leluhur, ayah dan ibu, atau kakek dan kenek, tetapi juga kepada anggota lain dalam keluarga, seperti kakak, adik, paman, dan sebagainya yang tentu juga sudah meninggal dunia. Tradisi ini dikenal sebagai sembahyang kubur dengan nama Ceng Beng yang memiliki arti cerah dan cermerlang. Dan pada saat tradisi ini dirayakan, maka areal pemakaman biasanya akan ramai oleh warga keturunan.
Sembahyang kubur Ceng Beng mungkin memang tidak seterkenal Imlek dan Cap Go Meh. Namun bagi warga keturunan, tradisi ini sangatlah penting. Tradisi sembahyang kubur ini biasanya dirayakan setiap tanggal 4 April atau tanggal 5 April pada penanggalan masehi. Namun yang dirayakan pada tanggal tersebut adalah puncak persembahyangan itu sendiri. Rangkaian acara Ceng Beng itu sesungguhnya sudah bisa dirayakan sejak seminggu sebelumnya.
Warga keturunan Tionghoa akan datang ke makam atau kuburan keluarganya, entah orang tua atau leluhur, kemudian melakukan pemebersihan. Semak-semak, gulma atau ilalang yang tumbuh akan dicabut, rumput yang sudah lebat juga dirapikan. Setelah rapi, makam dihias dengan berbagai macam bunga, sehingga makam akan terlihat sama seperti makna Ceng Beng itu sendiri, cerah dan cermerlang.
Jika makam sudah dibersihakan, warga keturunan biasanya akan menaruh kertas kuning di atas makam sebagai tanda bahwa makam telah dibersihkan. Setelah bersih, barulah persembahyangan dimulai.
Sarana persembahyangan yang digunakan masih sama seperti tradisi sembahyang warga keturunan lainnya, seperti dupa, bunga, masakan dan jajanan khas hari raya, dan uang kertas. Yang membedakan adalah biasanya warga keturunan juga menghaturkan berbagai jenis makanan, terutama makanan kesukaan orangtua atau leluhurnya. Ada pula yang terang-terangan menghaturkan sebungkus rokok jika orang tua atau leluhur yang bersangkutan adalah perokok berat.
Sejumlah Legenda
Ada beberapa lagenda yang melatarbelakangi adanya tradisi semabhyang kubur Ceng Beng ini, namun yang paling terkenal adalah cerita tentang seorang anak yang mencari makam orang tuanya yang sudah meninggal ketika ia dititipkan dan dibesarkan di kuil.
Ia meminta setiap warga untuk membersihkan dan berziarah ke makam keluarga mereka masing-masing dan menaruh kertas kuning di atasnya sebagai tanda bahwa makam telah dibersihkan. Kemudian ia menemukan ada beberapa makam yang tidak dibersihkan dan juga tidak ada kertas kuning di atasnya.
Anak itu pun meyakini bahwa makam-makam yang tak dibersihkan itu adalah makam orang tua dan kerabatnya. Dari cerita inilah tradisi sembahyang kubur Ceng Beng dimulai.
Tidak ada yang menyebutkan secara pasti dan tertulis bahwa tradisi sembahyang kubur Ceng Beng hanya dirayakan bagi warga keturunan yang beragama Budha atau Kong Hu Cu saja. Siapapun warga keturunan tentu boleh merayakan tradisi ini. Mengingat tujuannya adalah untuk menjaga silsilah keluarga, mengikat rasa kekeluargaan dan tentu saja yang paling utama adalah menghormati dan membalas jasa orang tua dan leluhur.
Hal ini tentu saja masih berkaitan dengan nilai-nilai dan ajaran yang diyakini dan ditanamkan oleh warga keturunan Tionghoa, yaitu penghormatan leluhur, bakti kepada orang tua, keharmonisan, dan kekeluargaan. (T)