2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Penampakan Zaman Dalam Puisi Umbu: Mendengarkan Musik Jazz di Rumah Seorang Kenalan

Riki Dhamparan PutrabyRiki Dhamparan Putra
February 2, 2018
inUlasan
463
SHARES

SESUATU yang alpha kita ketahui tentang seseorang yang rasa kita kenal dekat, pastilah mengejutkan nian. Tak kecuali dalam dunia puisi, seperti halnya puisi Umbu Landu Paranggi yang kami tampilkan ini.

Puisi berjudul MENDENGARKAN MUSIK JAZZ DI RUMAH SEORANG KENALAN ini diupload pertama kali oleh akun atas nama Odi Shalahuddin Mahdami pada tanggal 31 Desember 2016 pukul 20:25 WIB, di fanpage Umbu Landu Paranggi, Facebook dalam format file jpeg. Tampaknya, itu merupakan kliping pribadi penguploadnya, yang telah menjadi fans di laman yang kami buat pada tahun 2008 dan sudah memiliki hampir delapan ribu penyuka hingga saat ini.

Jumlah fans itu sebenarnya telah jauh berkurang, akibat lama sekali fanpage tersebut tidak kami buka, lantaran kami menonaktifkan akun FB kami selama hampir tiga tahun. Kami lalu membuat sebuah akun email khusus untuk menjaga fanpage tersebut tetap aktif. Baru pada tahun 2014 kami mulai lagi membuka akun tersebut dan laman Umbu Landu Paranggi dengan sendirinya update kembali.

Ada dua hal yang membuat puisi yang sedang kita bahas ini begitu mengejutkan bagi kami. Pertama, karena kami memang tidak pernah tahu perihal puisi tersebut. Oleh karenanya, kami sangat berterimakasih kepada yang mengupload.

Kedua, puisi itu sendiri, yang menurut kami menunjukkan keluasan jangkauan wilayah eksplorasi Umbu Landu Paranggi dalam kerjanya sebagai penulis puisi. Walaupun kita kurang referensi mengenai puisi-puisi Umbu, tetapi dibanding puisi-puisinya yang pernah terpublikasi, puisi “Mendengarkan Musik Jazz Di Rumah Seorang Kenalan” patut dikatakan mencengangkan, karena di dalamnya terkandung sebuah visi yang menorobos ke masa depan.

Seperti tertera pada pemuatan di koran Sinar Harapan, puisi tersebut ditulis pada tahun 1970 (tertera 197… angka terpotong). Tetapi mengingat puisi itu ditulis di Yogyakarta, kami duga angka tersebut seharusnya 1970, karena Umbu Landu Paranggi sudah hijrah ke Bali pada 1971.

Pada tahun itu, pemerintah Orde Baru belum berusia satu repelita. Artinya, konsep pembangunan baru saja disusun, politik masih labil, Ekonomi Susah Beras warisan Soekarno pastilah masih berlangsung. Dalam suasana itu, lazim kalau rakyat kehilangan pemandangan cerah dalam membayangkan masa depan mereka.

Akan halnya sastra Indonesia, wawasan “politik selaku panglima” yang sebelumnya eksis, tentu sedang proses tiarap. Perannya kemudian digantikan wawasan baru dan tenaga baru yang lebih fleksibel. Para peneliti sejarah sastra umumnya cenderung menghubungkan permulaan Orde Baru ini dengan permulaan tampilnya kekuatan baru dari kalangan pendukung Manifesto Kebudayaan – yang dalam manifestonya pada 1963 – menyatakan hendak menyempurnakan kondisi hidup manusia, tidak mengutamakan satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lainnya, dan setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai kodratnya.

Aktualisasi dari cita-cita itu kelak, terlihat dari dominasi mazhab sastra tanpa wabah slogan, individuasi, sekuler dan penyendiri. Baik dalam tampilan konvesionalnya maupun dalam eksperimen-eksperimen sastra yang didorong oleh pencetus mazhab ini. Hal ini membawa tanggapan serta kritik yang beragam. Antaranya, sastra telah dikritik sebagai bagian dari proses individuasi yang terlampau dan terperangkap ke dalam permainan bahasa yang membingungkan.

Pendapat itu antaranya dinyatakan oleh Henk Maier, seorang akademisi Belanda. Dikutip dalam Aveling (Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998, hal 3), profesor bahasa Melayu itu menulis: “karya sastra tahun 1970-an dan 1980-an diwarnai oleh kebebasan bereskperimen dan semangat bermain-main yang membingungkan pengkritik, …yang berakibat pula pada menjauhnya pemain baru dari medan gelanggang sastra Indonesia itu.”

Pandangan yang berbeda tentu saja dikemukakan oleh pelaku sastra 1970-1980-an. Goenawan Mohamad misalnya, mengatakan bahwa sastra hanya bisa mendapatkan rasa percaya dirinya yang sejati dengan cara menjauhi bahasa Indonesia yang telah dikuras oleh slogan-slogan (Kesusastraan dan Kekuasaan, hal.16-17). Kecenderungan ‘menyendiri’ yang kita temukan dalam sastra dan eksperimen sastra, kalau demikian merupakan suatu strategi untuk terbebas dari tekanan kekuasaan.

Pada pokoknya, ulasan mengenai situasi sastra di permulaan Orde Baru itu, berfokus pada topik pertentangan bahasa dan kekuasaan negara. Yang intinya, menempatkan puisi hanya bagian dari ruang kekuasaan yang dibuat manusia. Suatu sudut pandang yang melewatkan rel penting lain: bahwa diluar topik semacam itu, dan dalam setiap genre yang ada, terdapat suatu medan transenden yang memungkinkan sastra itu terbebas dari perangkap pembacaan dikotomis dalam perdebatan-perdebatan mengenai situasi sastra kala itu. Apalagi jika sastra itu sebuah puisi.

Penampakan-penampakan dan Obat Trauma

Kudrat puisi, kata penyair Amir Hamzah, tidak dikandung alam. Ungkapan yang bermakna ia adalah kuasa itu sendiri yang mampu menciptakan alamnya sendiri dan berdaulat dalam semua ruang dan waktu. Itulah cita-cita puisi Indonesia yang diperlugas lagi oleh penyair Chairil Anwar melalui ungkapan “bebas dari ruang dan waktu yang fana”. Untuk menerima kudrat yang seperti itu, puisi bukan hanya perlu bebas dari kuasa ruang dan waktu, tetapi juga perlu menemukan kudratnya sebagai kekuasaan itu sendiri.

Lalu, bagaimana puisi bekerja sebagai kekuasaan? Salah satu tandanya adalah adanya visi yang terkandung di dalamnya, yang dalam pengantar ini kami pergaul istilahnya dengan penampakan. Maksudnya, kemampuan puisi untuk memberikan ilham dan pandangan yang menerobos masa. Banyak puisi besar dari sejak zaman Baghavad Gita sampai AL Barzanji, bekerja melampaui masa-masa, antara lain karena ia memiliki visi itu.

Dalam model pendekatan inilah puisi Mendengarkan Musik Jazz Di Rumah Seorang Kenalan patut diberi nilai premium. Dengan gaya ungkap yang tulus dan sederhana, puisi ini menyiratkan visi yang tidak remeh. Di permulaan Orde Pembangunan, ia sudah membangun imajinasi tentang nasib hitam yang pelan terbakar/ dan sukma yang diam-diam kan menjilat pencakar2 langit. Tak keliru jika ditafsir, nasib hitam yang dimaksud adalah nasib tragis bangsa Indonesia di tengah Pembangunanisme yang saat itu baru saja digencarkan pemerintah. Suatu keadaan yang ditegaskan lagi melalui baris-baris: semburan asap pabrik, kapal, cerobong dapur.

Kita tahu, Yogyakarta, di mana sajak ini diselesaikan, ketika itu belum menjadi kota komersil yang disesaki mall dan event seni budaya komersial. Rekaman pengalaman mereka yang hidup pada era 70-an mengatakan, Yogya kala itu masih sebuah kota onthel atau kota fit yang bernuansa Jawa. Pohon Asam Jawa masih berjejer di sepanjang jalan Solo hingga Jalan Sudirman. Andong dan gerobak sapi masih digunakan untuk membawa hasil pertanian ke kota Yogya. Orang masih mendengar Basiyo di RRI, menonton wayang, ketoprak mataram dan menunggu-nunggu kedatangan layar tancap yang diselenggarakan departemen penerangan.

Bukankan ajaib bila sajak Umbu Landu Paranggi justru sarat dengan “kegaduhan industri dan trauma metropolitan”? Hal itu tidak mungkin terjadi pada sebuah sajak yang terikat pada ruang dan waktu. Namun sangat mungkin bagi sebuah sajak yang terbuka terhadap dimensi-dimensi transenden.

Tidak banyak kita temukan puisi dengan kekuatan pawisik seperti puisi Mendengar Musik Jazz ini. Kebanyakan puisi era 70-80-an justru berkutat mencapai otentisitas melalui aksi-aksi eksperimentalnya dalam bahasa. Sebagian berisi, kebanyakan hampa belaka.

Di sisi lain, puisi-puisi yang distimulus oleh keinginan untuk mengungkap gagasan besar, justru kehilangan gagasan karena tidak dapat mengungkap kenyataan sebagai gagasan. Begitu pula sejumlah puisi protes sosial, yang justru kehilangan sisi protesnya karena tidak dapat mengatakan apa-apa yang tersembunyi di dalam kehidupan yang diprotesnya. Ada juga puisi-puisi yang membawa bungkusan zikir, tetapi tidak memperlihatkan kalau si penulisnya sedang berzikir.

Pada bentangan peta seperti itulah kita menemukan keunikan puisi sederhana gubahan Umbu Landu Paranggi ini. Ia tidak neko-neko, tetapi hari ini kita merasakan kekuatan visionernya. Baru sekarang kita merasakan kenyataan nasib hitam yang digambarkan dalam puisi itu akibat trauma pembangunan yang semakin parah.

Keunikan lainnya, puisi Mendengarkan Musik Jazz Di Rumah Seorang Kenalan juga menawarkan sebuah cara untuk memulihkan trauma akibat nasib hitam yang menjilat pencakar2 langit itu. Cara yang juga alamiah dan sederhana, yang dapat dilakukan setiap orang melalui kenangnya terhadap pedesaan di kampung halaman. Itu terungkap pada bait ketiga:

Aku ingat pohon2 terang dari masa kanak di kebun-kebun gandum

kincir2 angin, panen appel, leguh lembu dipadang majikan

aku ingat keluhan papa, nenenda dan pasti airmata ibu

pulang dari sekolah sore hari yang mencibir kehadiranku

Kata orang, urbanisme, industralisasi, pembangunan, menjadi menakutkan karena ia laksana monster yang mengambil kehidupan kita dan meninggalkan kita dalam suasana yang teralienasi, terasing . Pendek kata, kita dibuat merantau di negeri sendiri. Pada saat seperti itu, kerinduan kepada Ibu dan Kampung Halaman menjadi obat yang murni. Yang seperti pohon2 terang dari masa kanak di kebun-kebun gandum.

Sementara ingatan kepada Papa, Nenenda dan Ibu yang mencibir kehadiranku akan menjadi perlindungan dan penyemangat dalam keterasingan di negeri jauh. Dalam konteks yang diperluas, menemukan kembali semua subjek yang disebut pada bait ini, berarti memulihkan derita akibat semburan asap pabrik, kapal, cerobong dapur yang diciptakan pembangunan itu.

 

Jakarta, 14 Maret 2017

Tags: PuisisastraUmbu Landu ParanggiYogyakarta
Previous Post

Bondres Dwi Pama Karangasem: Pelawak Main Sulap atau Pesulap Sedang Ngelawak

Next Post

Anak-anak Ketakutan Dapat Nilai Nol? Ketahuilah, Nol itu Sangat Berharga

Riki Dhamparan Putra

Riki Dhamparan Putra

Lahir di Padang, pernah tinggal di Bali, kini di Jakarta. Dikenal sebagai sastrawan petualang yang banyak penggemar

Next Post

Anak-anak Ketakutan Dapat Nilai Nol? Ketahuilah, Nol itu Sangat Berharga

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co