INI adalah era dimana ketakjuban dapat direkayasa. Semua tahu, bagaimana dan mengalami percepatan dan perpendekan jarak ruang dan waktu. Kini hitungannya yang terbesar adalah detik dan supra tak terhingga. Teknologi memberi ketercengangan untuk fasilitas komunikasi. Telepati gaya lama, klenik dengan semadi bertapa di gua digantikan dengan video call, dengan pesan singkat yang jelas-jelas, itu bergerak secara kalau dipikirkan dengan ortodoks; itu mirip komunikasi mistik.
Ditengah-tengah keriuhan segitiga kekuasaan (politik, agama dan kapital) dan benoa Hi-Tech, maka panggung-panggung kesenian ini turut serta mengalami kegugupan. Sejauh mungkin melibatkan teknologi agar nampak tentunya mendekati penghiburan dan kezamanan. Sebab kita tahu, betapa riuhnya pasar visual yang sama kleniknya dengan kisah pasar saham. Kita menghadapi dengan keluh kesah proses terjadinya Konglomerasi Budaya tanpa tahu kita turut semangat menjadi konsumennya juga!
Karena itu dalam berkesenian, seolah mengundang senyum bila berucap: seni itu adalah arena perjuangan! Bukan pengumpulan massa untuk menyoraki pidato kampanye politik dan atau konser musik dari penyanyi ternama! Arena perjuangan itu selalu melahirkan para penyendiri dan kesepian, tidak oleh pengerahan massa dengan motiv apapun! Kita tentu paham bahwa kini seniman, produser dan sponsor adalah ‘kehendak’ yang paling sulit dijabarkan. Bahwa arena perjuangan itu sebagai produksi wacana yang dikontrol oleh kekuatan kepentingan.
Kita saat ini otomatis menarik diri dalam bersikap kritis, kecuali keluh kesah atau mencaci maki sebagai pelampiasan—dan sering mengira itu model kritik dan apalagi jika sanggup dituliskan dengan bahasa santun dengan berstruktur! Tetap kategori keluh kesah alias ratapan! Kritik adalah sikap wawasan dan keluaran pikiran untuk menanggapi kadar pencapaian tertentu!
MAKA:
Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya, dalam pemikiran saya, tidaklah semata-mata tengah memuaskan kecengengan-kecengengan penulis amatiran yang menduga teater di Bali sedang koma ataukah sekarat ataukah menjadi jawaban kepada : bahwa kegiatan teater di Bali selalu meriah dan merakyat seperti pertunjukan joget porno atau pertunjukan teater dalam rangka mengkultuskan pahlawan atau memperdebatkan apakah seni penghiburan komedi ala opera van java lalu menjadi tiruan lipsing dibawa dalam arena perdebatan pada proses kreatif teater!
Maka secara teknis! Festival ini lebih saya pikirkan sebagai kritik balik terhadap begitu banyak orang, yang mengira ada dalam proses berkesenian.
Sebabnya, jika memberi pandangan kritis terhadap teater maka tidaklah dapat semata hanya menilai kegiatan festival dalam rangka project ini dan anu atau dengan menghitung jumlah kelompok teater di sekolah dengan pelatihnya yang seringkali hanya berbekal nekad menjadi pelatih atau memiliki CV pernah pentas di gedung A atau B, Negara X ataukah Z.— Yang hendak dijadikan adu pemikiran adalah; Pelaku teater memang sejak lampau, selalu berjumlah minimal. Penontonnya pun tidak banyak seperti hasrat pencapaian pasar promo gebyar pelepasan album politik dan produk ekonomi yang dikemas oleh konglomerasi budaya.
Mengapa saya, menyampaikan pendapat ini, sebab arus deras dalam memperlakukan teater sebagai salah satu jenis seni pertunjukan, kini, tak ubahnya seperti memasangkan standar dagangan; laris manis, sebagai ukuran pencapaian. Dan tentu, pernyataan saya akan mendapatkan tanggapan berbeda. Tapi mari belajar menghadapi perbedaan itu, jika ada dalam koridor tengah memasuki proses berkesenian.
Bukankah, ada kecenderungan ketika menghargai gagasan berteater dalam rangka memasuki festival ini bahwa seni berteater ini akan menjadi momen-momen harmonis, menyenangkan, menghibur, menyindir, melelahkan, bertengkar, jatuh cinta bahkan juga muak (?) —Kita tidak harus sepakat bahwa dalam berkesenian itu ada momen yang menawarkan kesempatan unik untuk melakukan refleksi.
Kita tahu, fisik dan psikis kita dalam proses berteater itu merupakan arena pergulatan batin; bahkan dari soal mengatur waktu sampai kecemasan bila pentas dan belum hapal naskah, belum lagi masalah pribadi; anak sakit, pasangan rewel dan pencemburu, hutang cicilan motor dan kebaya, nilai kuliah jelek, bekal habis, dll.
Kemudian kita juga menghadapi konflik-konflik sosial; tulisan hoax berhamburan, berita politik mencengangkan dengan isu agama dan ‘sara’ yang membuat kita berada dalam ketidak berdayaan menghadapi gempuran ‘benoa Hi-tech’ ini. Lalu kita secara pribadi juga menghadapi persoalan status-status sosial di dalam diri manusia, sebagai pribadi, itu semua berhamburan dalam sikap keseharian, dalam komunikasi keseharian.
Bagaimana kita berupaya menjadi ‘yang baik-baik’ saja dalam hidup rumah tangga, dalam hidup di dunia kerja, dalam kuliah, dalam sekolah, dari urusan bayar listrik sampai persaingan jabatan seolah ‘engkau baik-baik saja’. Bukankah, semua itu dapat dibalut busana apa yang diinginkan ketika kita menghadirkan status sosial dalam keseharian (?)– Karena itu, kegiatan teater juga akan mengalami apa yang dicemaskan, bahwa seni sebagai arena perjuangan, yang apabila dimasuki kepentingan ekonomi dan politik, maka kehidupan budaya itu akan terganggu dan kita menghadapi proses berkesenian itu dengan tanpa sadar ada dalam yang dimaksudkan : telah diberi label harga! Sama dengan pajangan camilan di etalase!
Kita pun menghadapi perbedaan-perbedaan semacam itu dalam apresiasi masyarakat, disebabkan seni teater itu melibatkan emosi-emosi kita yang terdalam, bukankah setiap peran dalam seni teater itu merupakan struktur perasaan dan cita rasa? –Semua itu tanpa kita sadari, karena kecerdasan emosional itu tidak sebanding dengan kecerdasan karena sekolah tinggi-tinggi, mengabaikan apa yang dimaksudkan dengan bahwa pertunjukan teater itu adalah bagian mewujudkan keyakinan-keyakinan dan sentimen-sentimen kita, serta membentuklah struktur perasaan itu, karena itu jelaslah keliru bila menduga saya tengah menyampaikan seni teater adalah eksklusif, tanpa cela ataupun aspek -aspek yang dihargai tinggi secara moral dalam eksistensi kita. Bahwa secara personal, teater menghidupi aspirasi-aspirasi kita yang terbuka dan juga yang rahasia dalam berbagai bidang kehidupan yang kita inginkan, atau tidak pernah terpikirkan, ternyata menjadi bagian kita yang bisa mengandung elemen, yang berbeda rentangnya, mulai dari elemen rendahan hingga yang mistis.
Teater adalah juga bagian dari perjuangan sosial melalui ekspresi-ekspresi kesenangan, kedengkian, amarah, hasrat, nafsu, kehalusan budi, kekuasaan, sinisme, sarkasme, munafik, atau trauma, ketakuan yang dapat dibagikan kepada orang lain seperti pemikiran-pemikiran mana yang diiinginkan untuk disampaikan oleh kaum cendikiawan. Teater tidak akan dapat mengontrol mana yang tepat dengan konteks sosial dalam daya ucapnya.
Karena pertanyaan mendalamnya adalah dalam festival monolog 100 putu wijaya ini: dari perspektif budaya, mana yang lebih berguna, kepuasan yang segera terasa sebagaimana yang diharapkan dapat dipertunjukan oleh pengalaman artistik, ataukah proses pembelajaran yang panjang dan lama mengenai apa yang bernilai tinggi dalam seni teater dan mengenai apa yang memberi dimensi lebih mendalam pada kehidupan?— Refrensi-refrensi macam apa, yang dapat dibuat oleh semua peserta festival monolog terhadap situasi aktual politik atau sosial, rujukan-rujukan tentang apa saja yang mereka sarankan agar terhindari dari ketidaknyamanan dalam kenyataan hidup (?)
Kita tahu, bahwa pentas-pentas teater, monolog utamanya, adalah juga medan tempur simbolik. Yang kadang tidak serta merta bercocokan dengan sekitarnya. Atau otomatis dipahami pesannya. Bahkan oleh penikmat teater bahkan oleh penulis teater yang dangkal pengetahuan dan wawasannya. Yang masih kebanyakan mengira; jumlah pertunjukan dan keriuhan penonton itu adalah tanda pencapaian proses kreatif teater. Karena itu, atas nama ketidakberdayaan kita pun tahu bagaimana beberapa perlakuan terhadap seni teater ini atas nama; ambisi hendak nampak berpengaruh; nampak pada bagaimana membawa-bawa strategi ’kepopuleran’ dengan menyelimutkan tema-tema berkandungan keprihatinan sosial politik, dengan memanfaatkan akses media, festival dengan kurasi atas koneksi selera! Seolah itu sebagai seleksi dari proses.
Padahal, itu salah satu bentuk pola penyakit sosial saat ini, yang dipanggungkan oleh kepentingan politik. Sikap-sikap yang nampak ‘berseni’ namun sesungguhnya mirip dengan seseorang yang punya uang dan karena ingin menjadi politisi, maka dia membeli apa saja untuk mendapatkan predikat itu. Itu juga menjadi bagian kenyataan yang dihadapi oleh seni teater; menghadapi kejumawaan beberapa orang yang memiliki peluang seolah-olah menjadi tokoh teater; karena sanggup membiayai pentas, memberitakan di media dan menyewa artis yang tengah galau; gilanya lalu dijadikan narasumber seolah pengalaman teater adalah sebatas proses produksi.
KARENA ITU:
Maka festival ini, dikembalikan kepada semua proses pribadi-pribadi, tak peduli kalangan mana itu; apakah dimulai dari kepura-puraan tahu ataukah karena kenekadan, karena suka ria ataukah karena diajakin teman! Bila proses itu dengan berpegang pada bahwa proses ini adalah introspeksi! Maka selamat datang di festival ini, sebab semua hasil itu adalah akan tetap menjadi medan tempur simbolik. Akan menjadi pementasan monolog tersendiri. Semua sikap, semua ekspresi, semua kemunculan dan kebuntuan! Semuanya adalah fiesta!
Selamat pentas selamat berpesta! Sepanjang tahun 2017. Semoga berdebat dengan kadar yang lebih berkarat!
Denpasar, 2017
Cok Sawitri