Kisah Petani Kopi
DI sebuah desa di Tabanan Kauh, Bali, seorang petani kopi sibuk bekerja di kebun merabas rumput. Karena rumput sudah tinggi melebihi lutut. Seperti biasa, rumput harus dipangkas, rata-rata 3 kali dalam setahun, agar produksi kopi bisa optimal.
Sambil bekerja Si Petani berharap bisa memetik buah pisang untuk dijual. Hari itu ada satu pohon pisang yang sudah tua. Pikir Si Petani, setidaknya 50-75 ribu rupiah uang pasti didapat dari menjual buah pisang di warung. Kebetulan hari itu Si Petani tak punya uang sepeser pun untuk membeli lauk-pauk bagi anak-anaknya.
Sore hari menjelang pulang, Si Petani bergerak menuju pohon pisang. Batang pisang dipotong sedemikian rupa agar batang pisang rebah perlahan, sehingga buah pisang bisa dipetik dengan mudah.
Sayang seribu sayang, buah pisang yang dalam satu tandannya terdiri dari ratusan buah itu tidak layak dijual. Buahnya kena penyakit. Bagian dalamnya memerah dan hitam. Padahal dari luar kelihatan mulus. Harapan Si Petani lenyap. Ia gagal menjual buah pisang di warung terdekat.
Dengan pikiran kosong, Si Petani beranjak pulang. Ia sudah siap makan dengan lauk ala kadarnya: sambel telengis dan sayuran. Namun, saat menyusuri jalan setapak di kebun, seorang petani tetangganya yang membantu merabas rumput menginformasikan kalau di salah satu pohon kopi ada burung punglor yang bersarang dan kemungkinan sedang beranak.
Di desa itu para petani sudah mahir membedakan suara burung punglor di alam terbuka. Dari suaranya saja, biasanya diketahui burung punglor sedang beranak sekaligus diketahui pula keberadaan sarangnya.
Burung punglor adalah salah satu jenis burung yang banyak dipelihara karena memiliki suara bagus. Anakan burung punglor sudah lama menjadi komuditi pasar yang laris manis di desa itu. Penggemar burung punglor biasanya membeli anakannya agar mudah dilatih sehingga ketika dewasa mampu berkicau bagus. Burung dengan kicau yang bagus memiliki nilai jual tinggi karena mampu memenangkan perlombaan suara burung.
Komunitas dan penggemar burung punglor di Bali dan Indonesia ada ribuan dan sudah eksis sejak lama. Rata-rata harga anakan punglor Rp. 200-250 ribu per ekor.
Tak berpikir panjang, Si Petani Kopi bergegas mencari ordinat sarang burung punglor seperti yang ditunjukkan oleh petani tetangganya. Benar saja, tidak begitu sulit Si Petani Kopi menemukan sarang burung punglor itu. Setelah dilihat, jumlah anakannya hanya 1 ekor. Namun tampaknya sudah layak dijual sesuai harga pasar.
Di sisi lain, kecintaan Si Petani Kopi terhadap lingkungan mulai membuatnya ragu. Ia tidak langsung mengambil anakan burung punglor itu di sarangnya. Sejenak ia diam. Ia berpikir panjang antara mengambil atau membiarkan anakan burung punglor itu di sarangnya.
Terbersit rasa kasihan di hati Si Petani Kopi. Ia tidak biasa menjual anakan burung punglor yang hanya satu ekor itu, walau hal itu sudah lumrah dilakukan oleh warga di desanya. Tetapi di sisi lain, jika tidak diambil ia yakin tidak lama lagi lokasi sarang itu akan diketahui orang lain dan anakannya diambil orang lain untuk dijual.
Setelah merenung sejenak Si Petani Kopi akhirnya memutuskan untuk mengambil saja anakan burung punglor itu. Ia menjualnya ke pengepul. Dan sore itu ia bisa membawa pulang uang Rp. 200 ribu. Anak-anak dan keluarganya pun bisa menikmati lauk-pauk yang agak mewah di meja makan.
Begitulah dinamika kehidupan. Walau Si Petani itu sadar akan makna konservasi lingkungan namun ada kondisi lain yang membuatnya terpaksa melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan nuraninya. Begitulah nasib burung punglor, gara-gara suaranya yang merdu, akhirnya ia menjadi komuditi untuk diperjualbelikan.
Garis Wallacea
Di Indonesia terdapat beragam jenis burung peliharaan karena suaranya merdu. Tetapi belum banyak yang tahu kalau dari beragam jenis burung di Indonesia itulah garis Wallace berhasil dipetakan oleh peneliti kawasan biogeografis flora dan fauna di Indonesia. Salah satunya adalah Alfred Russel Wallace yang melakukan pengamatan dalam perjalanannya menjelajahi lautan Nusantara antara tahun 1854-1862.
Setelah bertahun-tahun melakukan penelitian akhirnya pada tahun 1863, Wallace menyatakan dengan tegas dalam tulisannya bahwa batas biografis yang bertipe Asia dimulai dari Selat Lombok berlanjut ke Selat Makassar, kemudian berbelok ke arah timur di Selat Filipina yang kemudian terkenal dengan sebutan garis Wallace.
Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia; di timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia. Di Indonesia ada tiga garis biogeografis flora dan fauna yaitu Wallace, Waber dan Lydekker. Antara garis Wallace dengan Ludekker disebut wilayah Wallacea.
Dalam peta garis Wallace terlihat berada di selat Lombok dan Makkasar terus ke atas membelok ke timur Filiphina. Dari sana terihat bahwa penelitian dan data banyak diperoleh dari proses berlayar dan catatan para pelaut yang melintasi kepulauan Nusantara.
Dilihat dari peta biogeografis flora dan fauna, posisi Pulau Bali persis berada di perbatasan antara geografis Asia dan Australia. Ada asumsi bahwa posisi garis Wallace tidak persis ada di tengah laut Selat Lombok. Seolah-olah di Selat Lombok karena penelitian dan pengamatan banyak dilakukan oleh para pelaut saat itu.
Bisa jadi persisnya garis Wallace ada di daratan tengah Pulau Bali. Hal itu ditandai dengan titik-titik kawasan suci yang percis berada di tengah pulau Bali yang lurus dari selatan ke utara.
Jika asumsi di atas benar, maka Bali sebagai kawasan yang unik dari sisi budaya akhirnya terbukti. Bahwa kebudayaan di sebuah wilayah sangat dipengaruhi oleh energi makrokosmos dan mikrokosmos, sekala maupun niskala. Di Bali hal itu disebut taksu. Taksu itulah kemudian menjadikan manusia Bali selalu dibaluri oleh “mistis spiritual”.
Percaya atau tidak, tentu sangat menarik untuk dikaji dan direnungkan. Karena pengaruh alam terhadap adanya “mistis spiritual” bangsa Indonesia juga pernah terjadi ketika meletusnya Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883. Yang mana di kemudian hari letusan Gunung Krakatau dikaitkan dengan tumbuhnya kesadaran nasionalisme bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
“Mistis spiritual” orang Bali hingga kini sebenarnya tidak pernah pudar walau kadang pura-pura ditutupi (sering karena konflik). Ini dibuktikan dengan banyak hal seperti kerinduan untuk mekrama di desa, atau berkumpul bersama keluarga besar di Pura Dadia saat persembahyangan. Juga kesadaran untuk senantiasa menghormati tempat dan kawasan suci, eling ring kawitan dan leluhur, meyadnya, dan megambel di bale banjar. Dan sebagainya.
“Mistis spiritual” itulah yang sesungguhnya menjadikan Bali sebagai “Pulau Dewata” yang membudaya. Karena membudaya, maka di dalamnya pun termuat tentang awig-awig, tradisi dan adat istiadat. Dalam bahasa akademis kemudian disebut “masyarakat kesatuan hukum adat” Bali. (T).