5 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Kucing Hitam 1988” – Catatan Perayaan Menyambut Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya

IDG PalgunabyIDG Palguna
February 2, 2018
inEsai
150
SHARES

“I wish I could write as misterious as a cat”

(Aku berhasrat mampu menulis semisterius seekor kucing)

Edgar Allan Poe, cerpenis, dramawan, penyair Amerika (1809-1849)

ARTA Bangun, penyiar beken Radio Prambors era 1980-an, memperkenalkan satu “mantra” penting dalam sejarah hidup saya sebagai eks penyiar radio komersial dan penggemar teater, “Siaran ini adalah show anda. Radio ini panggungnya. Anda aktornya. Seorang penyiar yang berhasil adalah ia yang mampu mentransformasikan semua itu ke dalam siarannya. Parameternya: jika anda mampu membuat pendengar, tanpa menyebut namanya, merasa bahwa anda seolah-olah sedang berbicara kepadanya sehingga ia tidak sempat berpikir untuk berpindah channel, bahkan tatkala anda memutar iklan sekalipun, sampai anda mengakhiri siaran”.

Secara kognitif, alangkah mudah mengingat dan memahami “mantra” itu. Namun, memraktikkannya, alamak… sulitnya minta ampun. Butuh waktu bertahun-tahun melatihnya – meski untuk sekadar mewujudkan 50% saja dari materi training itu. Tak ubahnya ibarat membedakan “belajar perihal bersepeda” dan “belajar bersepeda”: anda harus berkali-kali mengalami jatuh tatkala “belajar bersepeda” untuk memraktikkan pengetahuan tentang “belajar perihal bersepeda”.

Kesulitan macam itulah yang saya gunakan sebagai referensi kasar dan “kamera” untuk memotret olah tubuh, olah vokal, olah rasa, dan kesadaran panggung seorang aktor teater, yang akan saya ceriterakan berikut ini, dari sudut pandang penonton. Lebih-lebih tatkala sang aktor harus bermain sendirian sebab ia mementaskan monolog: bagaimana ia harus menjaga penonton untuk tak sedetik pun hilang fokus dari aktingnya hingga pertunjukan usai – saat di mana penonton “diharapkan” menghela nafas panjang yang menunjukkan apresiasinya terhadap akting si aktor dan keseluruhan pertunjukannya (dalam hal ini, mohon singkirkan jauh-jauh dari rujukan anda bayangan kehebatan Tom Hank ketika ia “berakting sendirian” dalam film Cast Away. Sebab, meski sama-sama “berakting sendirian”, ia melakukannya dalam film yang sedikit banyak “ditolong” scene dan permainan kamera, bukan dalam pentas monolog, pertunjukan panggung yang nyaris tanpa pertolongan apa-apa selain diri si aktor sendiri, lebih-lebih jika si aktor atau sutradara memilih format minimalis).

Dengan pemahaman demikian maka mudah-mudahan bisa dimaklumi kalau saya lebih tertarik memotret proses yang dilakukan dalam menemukan bentuk dan jiwa dari monolog yang akan dipentaskan itu tinimbang pertunjukannya sendiri, sehingga beginilah kurang lebih hasil pemotretan saya itu:

Anno: 1988. Tempus: suatu malam di hari Sabtu. Locus: tempat olah kreatif Klub Studi Teater Bali (KSTB), yang juga sekretariat sekaligus tempat latihan Kelompok Teater Sanggar Putih, sebuah gang di Jalan Surapati Denpasar, di antara belakang tembok (dulu) artshop Besakih di utara dan tembok Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh di selatan, yang di pintu masuk tempat itu di sebelah timur ditandai oleh sebuah warung tipat kuah, namanya warung Mak Non – diambil dari nama “pengelola” sekaligus owner warung itu, seorang perempuan tua yang kini sudah almarhumah, penggemar fanatik serial sandiwara radio Saur Sepuh.

Aktor: Gede Agus Kurniawan, S.H., (saat itu) seorang advokat magang di sebuah kantor advokat terkenal. Sutradara: Abubakar, dramawan-penyair yang (menurut catatan dan ingatan saya) adalah figur yang memperkenalkan teater modern di Bali. Pada anno, tempus, dan locus demikian itulah, tak kurang dari satu jam durasinya, monolog Kucing Hitam dipanggungkan, sebuah naskah monolog yang dialihbahasakan dari The Black Cat, karya Edgar Allan Poe, yang berkisah tentang seorang laki-laki (“Aku”) yang tak berapa lama lagi akan menemui ajalnya di tiang gantungan: ganjaran yang dijatuhkan kepadanya oleh hukum karena telah membunuh istrinya secara “tak sengaja” yang mencoba mencegahnya melakukan kekejaman terhadap Si Pluto, kucing hitam piaraannya, yang dipercayainya sebagai penjelmaan tukang tenung yang menyamar.

Ada begitu banyak pertanyaan yang harus digali jawabannya yang menyangkut sisi dramaturgi yang melatarbelangi ceritera ini guna menemukan ruhnya sebelum direkonstruksi secara estetik ke dalam sebuah bentuk pertunjukan teater. Sungguh bukan pekerjaan mudah, saat itu, ketika referensi tertulis amat susah didapat, dan menjadi makin tidak mudah mengingat ceritera itu akan dipentaskan secara monolog, di mana “kesaktian” seorang aktor (dan kejelian sutradara dalam menggali “kesaktian” si aktor) pada akhirnya menjadi penentu: apakah pertunjukan itu akan memukul lonceng kematian ataukah akan meneror histeria penonton dan memaksa mereka berdiri sembari bertepuk tangan – penanda visual terjadinya konsensus estetika dari pertunjukan itu.

Menggali sisi dramaturgi naskah Kucing Hitam bukan sekadar menjawab pertanyaan: bagaimana seorang pencinta dan penyayang binatang, si tokoh “Aku” dalam ceritera ini (yang bersama istrinya dikisahkan memelihara berbagai jenis binatang: burung, ikan mas, anjing, kelinci, monyet, dan seekor kucing kucing hitam), bisa berubah menjadi begitu membenci binatang yang dulu amat disayang, si kucing hitam Pluto itu, sedemikian rupa sampai tega membunuh istrinya dan “menguburnya” di tembok rumah, hanya karena si istri mencoba mencegahnya melakukan kekejaman terhadap si kucing hitam?

Rasanya terlalu sederhana apabila, dalam menggali sisi dramaturgi tadi, jawaban atas pertanyaan itu “dipercayakan” begitu saja pada pengakuan si “Aku” yang telah berubah menjadi pemabuk atau pada perilaku paranoidnya yang disemai oleh mitos kucing hitam sebagai perwujudan tukang tenung yang menyamar – sehingga secara imajinatif gambaran maksimum yang dihasilkan hanyalah potret seorang lelaki malang yang mengharap simpati di kala berhadapan dengan buah karmanya.

Ada maxim tua yang berbunyi, “Cara berpikir dan bertindak seseorang dipengaruhi oleh keadaan”. Sehingga, jika maxim itu dijadikan titik tolak dalam menggali sisi dramaturgi ceritera Kucing Hitam ini, itu berarti dibutuhkan penggalian informasi dan pemahaman lebih jauh akan gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam proses interaksi sosial masyarakat di tempat dan pada saat ceritera itu ditulis untuk selanjutnya diperhadapkan dengan gagasan-gagasan dan nilai-nilai individual yang “ditawarkan” oleh penulisnya – yang bisa jadi tak selamanya berterima dengan lingkungan sosial sekitarnya.

Maka, saya dapat membayangkan beratnya “riset intelektual” yang harus dikerjakan oleh pelakon “Aku”, sahabat kami Agus Kurniawan, saat itu. Ia bukan hanya harus memahami kondisi sosiologis masyarakat Amerika abad ke-19, saat Kucing Hitam ditulis, tetapi juga harus memasuki dan mentransformasikan “ruh” Edgar Allan Poe – guna menemukan efek dramatis dan emosional dari pengarang yang menjadikan misteri, horor, dan kejahatan sebagai topik dominan dalam karya-karyanya itu – dan pada saat yang sama juga harus menyelami kondisi seseorang yang akan segera berhadapan dengan kematian di tiang gantungan.

Belum lagi ia harus “mengaktualkan dan merelevankan” pemahaman itu kepada penonton yang tentu saja tak terbebani oleh “kewajiban” melakukan riset sosiologis-historis-psikologis seperti yang ia lakukan. Yang membuat saya salut kepada sahabat saya ini adalah usaha kerasnya: bukan hanya latihan maraton hampir sebulan penuh, yang bahkan kerap dilakukannya tanpa sempat mengganti “baju dinas” putihnya sepulang kantor, melainkan juga caranya mengakali keterbatasan referensi yang tersedia melalui diskusi intensif dengan tokoh-tokoh yang telah malang melintang di dunia sastra: di antaranya Bang Umbu Landu Paranggi, sang presiden Malioboro; Bang Frans Nadjira, pelukis yang sekaligus penyair; almarhum Kadek Suardana, seniman teater dan musisi yang juga pentolan Sanggar Putih; dan, tentu saja, Mas Abubakar selaku sutradara.

Keyakinan saya mengatakan, semangat yang sama sedang menyala-nyala di hati para aktor dan sutradara teater yang begitu antusias menyambut ide penyelenggaraan Festival 100 Monolog Putu Wijaya ini. Jadi, silakan interpretasikan dan terjemahkan semangat “teror” dan “bertolak dari yang ada” dalam karya-karya dramawan, aktor, penyair, sutradara, dan esais yang seperti tak pernah kehabisan tenaga ini ke dalam pentas monolog anda. Jika anda tulus dan bersungguh-sungguh, bukan tidak mungkin anda akan menemukan sisi dramaturgi “lain” yang selama ini terpendam dalam karya-karyanya yang meneror itu sehingga, siapa tahu, anda justru berbalik meneror si empunya karya melalui interpretasi anda yang ternyata mampu memberi taksu lain pada karya-karya itu. Bagaimana anda berproses, itulah yang terpenting.

Saya harus mengakhiri tulisan ini dengan pengakuan jujur kalau ulasan bersahaja bernuansa kilas balik pertunjukan monolog Kucing Hitam 1988 di atas sengaja saya pilih dalam memenuhi permintaan sahabat Putu Satria Kusuma (yang minta saya menulis “sesuatu” sebagai sebentuk ungkapan turut bersuka-cita atas penyelenggaraan Festival 100 Monolog Putu Wijaya yang digagasnya) pertama-tama adalah karena alasan bahwa saya tak perlu berpikir dalam menulisnya, sebab begitu berkesannya peristiwa itu sehingga semuanya masih terang dalam ingatan saya, seolah-olah kejadiannya baru berlangsung kemarin sore, dan saya tinggal membuat semacam laporan pandangan mata dengan sedikit improvisasi di sana-sini.

Namun, sudah pasti, itu bukanlah alasan satu-satunya. Alasan lain yang lebih penting sehingga membuat saya rela mengesampingkan sejenak tumpukan berkas perkara di hadapan saya adalah ini: barangkali pementasan Kucing Hitam di tahun 1988 itulah buat kali pertama (jangan-jangan juga yang terakhir) sebuah pementasan monolog dipersiapkan begitu serius bukan untuk merayakan apa-apa kecuali buat bersenang-senang dalam kesungguhan belajar perihal teater dan berteater dari para anggota komunitas KSTB. Penonton tidak (dan bukan) menjadi target, meskipun – tentu saja – diharapkan, khususnya penonton di luar anggota komunitas KSTB.

Saya ingat betul ucapan Putu Satria Kusuma saat itu, “Di Bali, ketika kita berteater, kalau ada satu orang penonton, itu sudah berarti sapih (impas). Kalau lebih dari satu berarti kita untung”. Seloroh yang sesungguhnya refleksi keprihatinan Putu itu disergah sahabat Joni Suhartawan, salah seorang anggota generasi pertama Sanggar Putih, “Eda keto Tu, melihat keseriusan si Agus dan Mas Abu, bisa-bisa justru kekurangan tongos (tempat) buat penonton, meskipun kita masih berteater secara sela-sela waktu”, pernyataan yang diiyakan oleh rekan David “Petruk” Darmawan sambil sibuk memilin-milin tali pramuka: property yang dipersiapkan buat menggantung leher si Agus, alias si “Aku”, pada adegan puncak Kucing Hitam. Dan, betapa bahagianya kami ketika optimisme Joni itulah yang menjadi kenyataan: penonton membludak – terlepas dari fakta bahwa hingga saat ini pun frasa “berteater secara sela-sela waktu” itu ternyata masih juga bertahan sebagai fenomena umum dalam kehidupan berteater (modern) di Bali.

Demikianlah sehingga ketika tepuk tangan panjang dan tulus yang diberikan secara spontan oleh penonton atas pertunjukan itu, bagi saya, reaksi penonton itu hanya mengandung satu interpretasi: kesungguhan proses akan selalu mendapat tempat dan apresiasi, kendatipun sangat melelahkan bahkan tidak jarang menyakitkan. Dalam kasus pementasan monolog Kucing Hitam 1988 ini, kata “menyakitkan” itu bahkan benar-benar bermakna literal: kawan Agus Kurniawan ketika memainkan lakon itu sesungguhnya dalam keadaan flu berat, mungkin karena kelelahan, sehingga begitu usai pentas kami harus mengantarnya ke dokter Mangku Karmaya, sekarang guru besar Fakultas Kedokteran Unud. Oleh dokter Mangku, ia diwajibkan beristirahat total. Itu pun masih dicoba ditawarnya, “Apa istirahatnya tidak boleh sambil nonton bola di tipi, Dok”. Dasar aktor. (T)

Jakarta, Maret 2017

Tags: Festival Monolog Bali 100 Putu WijayaMonologTeater
Previous Post

Cuaca Masih Ekstrem: Para Jomblo Stop Berdoa Mohon Hujan, Carilah Pacar!

Next Post

Anak Perempuan Suka Boneka – Apakah Mereka Pilih Mainan Sendiri?

IDG Palguna

IDG Palguna

Pengajar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Udayana, Hakim Konstitusi 2003-2008 dan 2015-2020.

Next Post

Anak Perempuan Suka Boneka - Apakah Mereka Pilih Mainan Sendiri?

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ritual Sebelum Bercinta | Cerpen Jaswanto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025

“Hey, do you sell this sauce? How much is it?” tanya seorang turis perempuan, menunjuk botol sambal di meja. “It’s...

by Dede Putra Wiguna
June 5, 2025
Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025

MATAHARI menggantung tenang di langit Ubud ketika jarum jam perlahan menyentuh angka 12.30. Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, Rumah...

by Dede Putra Wiguna
June 4, 2025
Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng
Kuliner

Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng

SORE menjelang malam di Pasar Senggol, di Pelabuhan Tua Buleleng, selalu tercium satu aroma khas yang menguar: adonan tipis berbahan...

by Putu Gangga Pradipta
June 4, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co