VALENTINE dan hari-hari biasa tentu saja tidak bisa disamakan. Valentine menjadi hari yang sangat spesial untuk para pasangan, terutama pasangan anak baru gede (ABG) yang ingusnya kadang masih melelh di hidung.
Pasangan-pasangan belia itu mungkin sejak jauh-jauh hari menanti Hari Valentine dengan rasa tak sabar dan berdebar-debar. Setiap baru bangun menengok kalender Februari dengan angka 14 yang sudah dilingkari spidol merah. Seakan-akan dengan ditengok berkali, tanggal yang dilingkari bisa datang lebih cepat.
Namun, ternyata belakangan, tidak hanya yang ingusan saja “buduh paling” saat Valentine. Hari istimewa itu ternyata mewabah juga di kalangan anak sudah gede (ASG), yakni mahasiswa. Tak percaya? Tengoklah ke kampus, tiba-tiba banyak dari teman-teman saya yang mendadak menjadi pedagang buket bunga spesial Valentine. Yang dijuali, ya teman-teman sendiri. Jika masih sisa, ya pakai sendiri.
Meski sesungguhnya masih banyak yang belum saya ketahui tentang Valentine dan arti sesungguhnya dari Hari Kasih Sayang itu, saya termasuk mahasiswa yang ikut latah merayakannya. Alasannya, karena saya punya pacar.
Tahun-tahun sebelumnya saya pun merayakan dengan kejutan-kejuatan yang sudah saya rancang berhari-hari sebelum hari H tiba. Menurut saya selain takut mengecewakan pacar, hari itu patut dirayakan karena Valentine hanya tiba satu tahun sekali.
Jadi Valentine bisa disebut sebagai momen yang hampir langka. Kitalah yang membuatnya jadi langka, karena kita ingin ada hari yang istimewa.
Coba saja kita ikuti kata-kata orang bijak yang mengatakan “kasih sayang bisa dirayakan setiap hari”, maka valentine tidak akan ada artinya. Dan saya termasuk orang yang tidak mengikuti dan merenungi kata-kata bijak itu. Bukan berarti saya tak sayang pacar setiap hari, tapi karena saya memang ingin ada satu hari yang disepakati untuk jadi istimewa dari 360 hari kebersamaan setiap tahunnya.
Meskipun lumayan menguras tenaga, Valentine tak boleh lewat begitu saja. Jauh hari mulai berpikir perihal hadiah dan kejutan. Hal yang terpenting tetap saja adalah coklat. Di hari Valentine, coklat ibarat perangko untuk berkirim surat. Seakan terjadi kesepakatan diam-diam: “Bila tidak ada coklat, ya bukan Valentine lagi namanya”.
Padahal sesungguhnya saya tidak paham hubungan antara coklat dengan Valentine. Meskipun begitu benda manis itu selalu menjadi penentu sah tidaknya hari Valentine. Maka dari itu tahun-tahun sabelumnya saya adalah salah satu penggemar coklat musiman.
Euphoria Valentine saya rasakan ketika masuk ke minimarket-minimarket. Menjelang hari Valentine, biasanya banyak minimarket yang memasang atribut berwarna merah muda yang mungkin menandakan kasih sayang.
Begitu pula hadiah yang sudah disediakan dengan rapi dan cantik, lengkap dengan diskon yang tentu merayu saya untuk membelinya. Saya yang awalnya ingin melawan agar tidak membeli coklat menjadi luluh oleh atribut-atribut itu. Coklat, warna merah muda, dan hiasan itu seolah-olah memberi saya semacam wahyu yang mengharuskan saya memberi hadiah coklat untuk pacar, ketika itu.
Dan, euphoria serta keindahan hari kasih sayang itu hilang tahun ini. Alasannya, saya tak punya pacar lagi. Saya sadar kini, tak punya pacar artinya tak ada Valentine.
Tahun ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Valentine sebelum-sebelumnya yang selalu membuat jidat saya mengkerut karena saya tidak ingin memberikan hadiah yang biasa-biasa saja kepada pacar. Harus ada polesan tangan sendiri. Dan kini, kerut jidat itu menjadi kerinduan tersendiri.
Dulu, sesekali bahkan saya bergumam dalam hati: “Seandainya tidak ada Valentine atau seandainya Valentine dilarang secara resmi di negeri ini, apakah saya akan sesibuk ini?”
Ternyata tak perlu melarang Valentine. Saat tak punya pacar, saat itulah Valentine terasa dihapus dari muka bumi.
Ketika saya tidak merayakan Valentine seperti dulu, saat itulah saya merenung. Saya berpikir keras bahwa kenangan Valentine memberi pelajaran tentang rasa manis yang kini terasa agak pahit. Valentine kali ini mengembalikan beberapa kenangan tentang keindahan hari Valentine pada tahun-tahun sebelumnya. Dikenang indah, tapi agak nyeri juga jika dirasakan.
Valentine yang kelam kini menjadi semacam olok-olok dari teman-teman. Mereka yang memiliki pasangan dari jauh-jauh hari sudah berpikir untuk memberikan apa pada pasangannya. Bahkan, ketika saya berkumpul dengan mereka, hal yang wajib mereka bahas menjelang hari Valentine adalah hadiah dan kejutan.
Hadiah yang menjadi favorit memang coklat, tetapi coklat itu sebagai perangko saja. Tentu saja ada hadiah utama yang juga telah mereka pikirkan dengan matang, mulai dari bendanya hingga teknis memberi hadiah itu seperti apa.Tentu hal yang sama saya lakukan pada tahun-tahun sebelumnya.
Tetapi, sekarang dalam suasana seperti itu saya hanya bisa terdiam di pojok, melihat gadget, sesekali bermain game, sesekali membuka media sosial. Di balik semua itu, ketika pembicaraan semacam itu berlangsung, saya hanya bisa mengenang Valentine yang sudah lewat.
Valentine mereka sangat berbeda dengan Valentine saya kali ini. Sebab beda tahun, beda pula rasa Valentine, tak seperti rasa coklat yang sesungguhnya tetap saja manis meski tak ada Valentine. (T)