AWAN berbalut jingga, terik matahari perlahan menghangat seraya menuruni lengkung langit. Penuh dengan ketenangan yang menyiratkan waktu istirahat untuk para pekerja yang telah menunaikan tugas mereka masing-masing. Begitulah suasana sore hari sering terintepretasi dalam benak beberapa orang. Waktu untuk melepas lelah, waktu untuk berkumpul bersama keluarga, pasangan ataupun sahabat.
Taman kota adalah satu dari beberapa tempat yang lumrah menjadi saksi waktu berkumpul dan merayakan hari yang telah terlewati. Hijaunya rumput, rindangnya pohon dan sejuknya air dalam kolam air mancur merupakan pemandangan yang melegakan dan menyejukkan hati. Banyak orang melepas jenuh dan mencari secercah kebahagiaan sederhana dengan berkunjung di taman kota pada sore hari.
Dari kejauhan tampak seekor anjing dengan tali yang melingkar di lehernya, berlari dibuntuti tuannya yang seakan ditarik paksa oleh si Pomeranian kecil. Baru beberapa putaran saja, namun sepertinya si Pom mungil sudah kehabisan tenaga dan berbaring manja di atas rumput taman kota. Sang tuan duduk tepat di sebelahnya membelai lembut bulu halus anjing kesayangannya.
Dari kejauhan dilihatnya sekelompok orang tua lanjut usia berpakaian seragam berjingkat-jingkat melakukan senam rutin seminggu sekali. Seorang nenek usia tujuh puluhan tahun nampak masih bisa melenggak-lenggokkan badannya mengikuti instruktur yang memimpin senam. Di sebelah si nenek nampak suaminya yang sedikit lamban mengikuti gerakan senam, mungkin takut encoknya kumat. Namun dia tersenyum melihat istrinya masih bisa bergerak bebas layaknya gadis tujuh belas tahun.
Pandangan si kakek sedikit terlena melihat anak-anak mengayuh sepedanya mengitari lapangan hijau. Dipenuhi senyum lepas, sekelompok anak usia sekolah dasar pawai sepeda tanpa lelah menemani senja yang mulai membenamkan matahari. Sudut mata mereka yang masih menghadiri sinar-sinar polos mengukir senyum di wajah kakek yang mengamati mereka.
Di sebuah bangku di bawah pohon kamboja, terlihat pula sepasang muda-mudi menghabiskan waktu malam minggu bersama. Tatapan mata si gadis seakan tak ingin berpisah dari kekasihnya. Tangan sang pria menyulam lembut tangan sang gadis. Seakan kehidupan di luar bangku kayu yang mereka duduki berhenti untuk sekejap merayakan kebersamaan mereka. Sang kakek hanya mampu tersenyum, berpaling ke wajah sang istri sembari mengenang masa lima puluh tahun yang lalu.
Kemesraan si dua sejoli terhenti saat sebuah bola hampir menyambar kepala sang gadis. Bola karet yang sedikit kempes ditangkap dengan gampangnya oleh si pria. Dengan raut wajah sedikit kesal karena diganggu, bola cokelat berbalut debu dilemparkannya ke sekelompok pria yang penuh peluh berkaos oblong. Dengan gawang bertiangkan sepasang sandal dan kaki telanjang, sepuluh pria tanpa lelah beradu kehebatan dalam mengolah si kulit bundar.
Sekali lagi sebuah tendangan mengakibatkan bola menjadi liar. Seorang anak berusia tiga tahun hampir terkena sambarannya. Namun bola lebih dulu ditangkap oleh kakek si adik kecil. Si nenek dengan penuh kekhawatiran datang menghampiri dan bertanya, “Ada yang sakit, Nak?” Si adik kecil hanya tersenyum dan berkata, “Nek, aku mau jadi pemain bola!” Kata-kata yang dijawab dengan lengkung senyum oleh kakek neneknya.
Tak jauh di sudut timur, seorang balita lainnya tertawa lepas digendong oleh ayahnya sembari berlari. Si ibu hanya bisa berkata, “Pelan-pelan, Yah, nanti jatuh!” Tapi seperti itulah memang seorang ibu, penuh kekhawatiran akan anaknya. Seorang ayah? Seorang ayah selalu ingin bersenang-senang dengan bayinya. Betapa beruntungnya si kecil memiliki orang tua seperti mereka.
Di atas bangku di sebelah air mancur, seorang pria dua puluhan tahunan duduk sendiri dengan sepasang earphone melekat di telinganya. Keindahan pemandangan yang terpampang seakan penuh makna diiringi nada-nada sederhana yang berdengung di gendang telinganya. Kesejukkan belaian yang diterima si Pomeranian kecil, senyum hangat si kakek lansia, roda-roda sepeda yang terus berputar, kemesraan si dua sejoli, peluh matang para pemain bola, senyum penuh keyakinan si adik kecil calon pemain bola, dan tawa lepas adik bayi yang bergantung di gendongan ayahnya. Semua kebahagiaan sederhana itu dirasakannya seakan itu adalah kebahagiaannya sendiri.
Kebahagiaan sederhana yang diberikan semesta.
Seperti itulah semesta menikmati dirinya, dengan memberikan waktu untuk semua orang merasakan kebahagiaan sederhana bersama keluarga, teman, anak, cucu, peliharaan, pasangan, dan bahkan dengan diri sendiri. Sama halnya dengan virus penyakit, kebahagiaan, kenikmatan dan juga pikiran positif sebenarnya mudah menyebar dan menular. Namun sama dengan virus, kebanyakan orang seakan ‘tervaksinasi’ agar tidak terkena ‘virus’ kebahagiaan dan ‘virus-virus’ pikiran positif dari orang lain.
Biarkanlah diri kalian ‘tertular virus’ kebahagiaan dan ‘virus’ pikiran positif dari orang lain. Karena kebahagiaan, kedamaian dan pikiran positif wajib untuk ‘ditularkan’. Salam damai 😀