WIJI Thukul, seorang sastrawan dan aktivis yang tak pernah lekang oleh waktu. Puisi-puisinya seakan menjadi nyanyian dalam sebuah aksi turun ke jalan untuk perlawanan menolak keadilan. Hingga banyak orang percaya bahwa ia masih ada dan berlipat ganda dalam jiwa-jiwa pembangkang yang menolak tunduk.
Beberapa minggu terakhir nama Wiji Thukul kembali ramai dibicarakan. Bukan karena MayDay, atau bukan karena ia ditemukan setelah dihilangkan sebulan sebelum tumbangnya kediktatoran ala Orde Baru. Ini karena sebuah film. Film “Istirahatlah Kata-Kata” yang memang mengisah satu penggal pelarian Wiji Thukul dengan latar wilayah Pontianak.
Film merupakan media edukasi paling mudah dan menyenangkan untuk mempelajari apapun, sejarah salah satunya. Tapi itu tak sama halnya dengan menonton film Wiji Thukul di hari ke-4 di Bali. Di pemutaran pukul 14:10 hanya delapan orang yang menduduki kursi penonton dari sekian banyaknya kursi yang tersedia. Ini ada apa?
Kenapa penonton “Istirahatlah Kata-Kata” tak seheboh penonton daya imaji hantu Valak yang bahkan hingga dua minggu orang masih antri untuk membeli tiket. Jangan-jangan orang lebih suka berkaca pada hantu daripada berkaca pada sejarah? Ah, urusan itu saya kurang tahu.
Ngeri, membayangkan orang berkaca pada mantan saja yang orang sungguhan masih agak sungkan memikirkannya, apalagi pada hantu.
Film “Istirahatlah Kata-Kata” diputar secara bersamaan 19 Januari 2017. Di Bali pemutaran film itu dilakukan di Park 23 XXI, Kuta. Saya menonton di hari ke-4, pukul 14.10. Ya, seperti saya katakan, di kursi penonton saat itu hanya ada delapan orang, termasuk saya.
Saya tak tahu, apakah pada hari-hari sebelumnya, atau pada jam pemutaran malam, penontonnya ramai. Kalau pun ramai, saya kira penontonnya tak seheboh ruang cineplex di sebelah-sebelahnya. Saya lupa melihat, film jenis apa yang diputar di ruang sebelahnya. Film apa pun itu, yang jelas “Istirahat Kata-Kata” kalah jauh dari segi jumlah penonton.
Saya curiga, Bali memang tak diperhitungkan sebagai masyarakat penggemar Wiji Thukul oleh “penjual” film “Istirahatlah Kata-Kata”. Buktinya, pada awalnya, Bali tak masuk dalam daftar 10 kota sebagai tempat pemutaran film itu. Lalu belakangan saya baca di Rolling Stones Indonesia lokasinya bertambah menjadi jadi 15. Akhirnya pada 19 Januari menjadi 17 kota dan Denpasar masuk di dalamnya.
Saya termasuk yang sangat gembira karena pada akhirnya Bali kebagian. Karena jika Bali tak kebagian, saya anggap itu bentuk ketidakadilan. Tapi, mengherankan sekali, kenapa film itu tampaknya sepi peminat, terutama anak muda dari kalangan saya?
Siapa sebenarnya penonton “Istirahatlah Kata-Kata” di Bali?
Dari tujuh orang yang saya ajak nonton pada hari ke-4 pukul 14:10 itu saya hanya kenal satu orang, yakni dosen saya sendiri. Saya tak heran dia nonton. Dia memang dosen pengajar sastra yang juga dikenal sebagai sastrawan di Bali. Enam lainnya, saya tak kenal, meski mungkin saja mereka orang terkenal.
Saya hanya menduga-duga mereka adalah penyair, mantan aktivis 98, atau filmmaker. Atau mereka warga biasa yang hanya sekadar ingin tahu.
Di Bali memang terdapat banyak sastrawan, banyak juga seperti Wiji Thukul, menulis puisi. Banyak juga mantan aktivis, seperti Wiji Thukul, yang ikut berjuang menumbangkan kekuasaan Orde Baru. Banyak juga pembuat film, pengamat film, LSM dan anak-anak muda kreatif yang menyukai sesuatu yang jauh dari mainstreams. Merekalah yang saya bayangkan sebagai penonton film Wiji Thukul itu.
Beberapa tahun lalu, sebuah kelompok mahasiswa di sebuah kampus menggelar acara sastra dengan mengambil tema khusus Wiji Thukul. Saat itu ada ratusan mahasiswa menggunakan baju kaos bergambar Wiji Thukul. Ada musikalisasi puisi, ada diskusi puisi, ada pembacaan puisi Wiji Thukul. Saya pikir, mahasiswa itulah yang akan memenuhi bioskop saat “Istirahatlah Kata-Kata” diputar.
Namun melihat kenyataan bahwa bersama saya hanya ada 8 orang di kursi bioskop, saya menjadi tidak yakin. Atau mereka malas menuju bioskop yang lokasinya memang berada di wilayah turis, wilayah yang mungkin jauh dari “pemukiman” kaum pecinta Wiji Thukul. Jika begitu, saya tak khawatir, mungkin film itu akan ditonton ramai-ramai setelah dengan mudah bisa didapatkan di internet.
Saya sendiri – yang hanya sastrawan KW dan tak paham banyak soal teknis film – tak kecewa menonton film ini. Film ini sangat bagus. Saya sendiri bangga dengan karya-karya anak bangsa yang kualitasnya semakin hari semakin bagus. Pengambilan gambar yang apik serta pengaturan yang pas membuat kita seakan-akan dibawa ke situasi tersebut, situasi yang mencekam, terancam dan dikejar kemanapun layaknya seorang buronan.
Memang Anggi Noen ini sutradara edan. Pantas saja film ini mendapat banyak penghargaan. Peran seorang Wiji Thukul yang dibawakan oleh Gunawan Maryanto dilakukan dengan baik, apalagi saat pembacaan puisi. Gaya berjalan khas Sipon, istri Wiji Thukul, yang diperankan oleh Marissa Anita juga menarik perhatian.
Jadi, film ini memang harus masuk dalam daftar film yang wajib kamu tonton. Ada banyak yang dapat dipelajari dari film ini, lebih dari sekedar imaji takut-takutan ala hantu. Tapi belajar tentang kebenaran yang harus diperjuangkan.
Dalam film yang berdurasi 1 jam 45 menit itu dapat dibayangkan bagaimana seorang Wiji Thukul hidup dalam pengejaran hanya karena sajak dan suaranya yang melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran. Hanya dengan kata-kata. (T)