KETIKA Alexis tiba-tiba jadi bahan debat pasangan calon (paslon) Pilkada DKI Jakarta yang disiarkan secara luas melalui jaringan TV nasional, orang-orang di desa yang sepi pun kini dengan pasih bisa ngobrol tentang Alexis.
Usai debat, seorang teman yang tinggal di wilayah pantai di Bali Timur menulis di laman facebook-nya: “Nelayan di teluk paling sepi di ujung Bali Timur pun sekarang tau apa itu Alexis dari debat calon gubernur DKI. Alexis dapat iklan gratis…”
Baru-baru ini saya kaget dengar percakapan sejumlah ABG di sebuah kampung. Mereka berkelakar saat ditanya mau ke mana oleh teman-temannya?
“Ke Alexis jep. Kal milu? Adep tanahe malu!” Begitulah jawab kelakar itu, yang kemudian diikuti tawa berderai dari teman-temannya yang bertanya. “Ke Alexis sebentar saja. Mau ikut? Jual tanahmu dulu!” Ha ha ha…
Saya sendiri benar-benar tak tahu apa itu Alexis. Benar-benar tak tahu. Tidak tahu secara teks, artinya tak pernah membaca tentang Alexis di buku atau di media massa. Tidak tahu juga secara fisik, artinya mungkin saya pernah lewat di depannya, tapi tak pernah melihat apalagi memasukinya.
Sampai akhirnya Alexis muncul dalam debat pilgub DKI itu. Dan saya baru kitip-kitip cari tahu makhluk apa yang didebatkan itu. Ah, malu saya jadi wartawan.
Dari pengetahuan yang saya dapat di mesin pencari milik Pekak Google akhirnya bisalah saya membayangkan apa itu Alexis. Dalam bayangan saya, benda yang dihebohkan itu hanya hotel yang berisi tempat hiburan. Itu biasa. Sungguh biasa. Banyak hotel yang seperti itu. Hanya konon tarif hiburannya di Alexis sangat mahal, mungkin setara dengan harga 500 piring tipat cantok, atau setara dengan harga 1.000 gelas daluman.
Hiburan seperti apa semahal itu? Itu mungkin pertanyaan yang agak luar biasa. Maaf, saya benar-benar tak mau sok tahu menjawab hanya dengan membaca keterangan sepenggal-sepenggal lewat google. Tapi dari sepenggal-sepenggal itu saya punya imajinasi. Imajinasi aneh. Hanya imajinasi, karena lewat mimpi pun saya tak pernah masuk ke situ.
Apakah imajinasi saya sesuai kenyataan? Iseng-iseng saya melakukan investigasi kecil-kecilan. He he he, investigasinya bukan ke Alexis, tapi cukup mencari informasi dari sejumlah teman yang saya duga pernah ke tempat itu. Saya ingin mendengar cerita dari narasumber yang benar-benar pernah menikmati hiburan yang konon seperti sorga dunia itu. Namun investigasi saya gagal. Tak satu pun narasumber mengaku pernah ke sana.
Seorang teman pemandu wisata yang kerap bolak-balik Jakarta-Bali ngantar rombongan turis mengaku tak pernah ke tempat yang bagi saya sangat imajiner itu. Ia memang ingin ke situ, tapi tak mampu. Mahal, katanya. “Sempat mencoba masuk sampai di depan saja, begitu tahu tarifnya, saya langsung ngelingus. Malu!” ujarnya.
Beberapa teman pejabat, baik di lembaga ekskutif maupun legislatif, yang kerap melakukan kunjungan kerja (kunker), studi banding, atau urusan pemerintahan ke ibukota, yang sempat saya mintai info juga mengaku tak pernah ke tempat itu. Tak pernah. Sumpah.
Tapi saya sempat mendapat jawaban menarik. Katanya: “Lebih baik maceki daripada ke Alexis!”
Saya tertawa, lalu mengambil kesimpulan bahwa mereka, narasumber yang kebanyakan memang teman-teman saya, baik dari kalangan pengusaha maupun pejabat, ternyata masih punya pikiran jernih untuk tidak memenuhi nafsu mencari hiburan di ibukota, apalagi pada saat bekerja. Apalagi tarif hiburannya tak hanya bisa menguras uang saku bekal kantor, tapi juga membobol uang cadangan SPP anak-anak yang siap dibayarkan saat pergantian semester. Syukurlah.
Eh, agar tak salah paham, ungkapan “lebih baik maceki” itu jangan kemudian diartikan bahwa para pejabat yang kunker ke Jakarta itu benar-benar suka maceki di kamar hotel tempat mereka menginap. Bukan begitu maksudnya. Jangan salah paham.
Ungkapan itu hanya perumpamaan belaka. Artinya jika harus memilih, maka mereka akan memilih lebih baik maceki di kamar hotel tempat mereka menginap, ketimbang ke Alexis. Artinya mereka tak benar-benar maceki.
Sekali lagi, itu hanya perumpamaan, pengandaian. Karena kalau ke Alexis yang hiburannya bertarif mahal itu, mereka pasti pulang dengan “kekalahan”, uang terkuras. Tapi kalau maceki, uang mungkin terkuras karena kalah, tapi mungkin juga bertambah karena menang. Jadi, dalam maceki masih ada kemungkinan menang. Paham kan?
Tapi, kalau pun mereka benar-benar maceki, ya tak apa-apa juga. Saya yakin banyak yang mendukung, terutama para istri. Ya, daripada ke Alexis… (T)