NAMA grup band ini Ake Buleleng. Dari namanya tahulah di mana mukim band itu. Dari nama “apa adanya” itu tahu juga kita “apa maunya” band itu. Ya, band itu ingin menunjukkan “ini lho Buleleng”, “ini lho orang Buleleng”, “ini lho karakter orang Buleleng”, maka dengar lagu-lagunya.
Ake Buleleng adalah peneguhan identitas. Ake adalah aku. Aku tentu bukan kau. Identitasku jelas, tegas dan tak bisa ditawar. Ake kene, kal ngenken nani? Aku begini, mau apa kau?
Ake berasal dari kata awake, lalu disingkat jadi wake, yang kemudian disingkat dengan lebih tegas menjadi ake. Dari unsur bunyi tentu ake lebih punya tenaga, lebih bernas, lebih punya jati diri, ketimbang awake atau wake, meski semuanya berarti aku.
Ake adalah khas sebutan untuk menunjuk ke diri, ya, ke diri orang Buleleng. Bahkan jika kata Buleleng dihilangkan di belakang Ake, sehingga jadi Ake tok atau Ake ajah, maka kata itu tetap merujuk pada orang Buleleng.
“Nyen ngelah HP-ne kecag dini?” Lalu seseorang menjawab “Ake!”. Maka hampir bisa dipastikan orang yang menjawab itu adalah orang Buleleng setidaknya orang dengan karakter Buleleng.
Saya menduga nama Ake Buleleng dipilih, kurang lebih, dengan alasan-alasan yang dipaparkan di awal tulisan ini. Dan bukan dibentuk dengan alasan rasial, rasis, fundamentalis, primordial, dan feodal (awas, kata-kata gawat ne). Bukan dibentuk dengan pemikiran bahwa “Ake ini Buleleng, maka yang bukan Buleleng dilarang ambil bagian di Buleleng”.
Mimih, jangan sampai ada anggapan dan alasan semacam itu. Sebab, jika itu alasannya, saya sendiri yang “orang Tabanan tinggal di Buleleng setelah menikahi perempuan Buleleng” akan merasa sing juari, lalu bisa menyingkir diam-diam. Maka, anggapan itu tolonglah diusir dari pikiran.
Sebab, kata “Buleleng” di belakang “Ake” bukan semata berarti wilayah secara geografis. “Buleleng” di belakang “Ake” lebih merujuk pada karakter khas, unik dan spesial.
Nah, setelah berumur 9 bulan sejak dibentuk, band Ake Buleleng merilis album perdana bertajuk “Yuk ke Buleleng” yang diluncurkan di markas Demores Rumah Musik di Pantai Penimbangan, Singaraja, Rabu 11 Januari 2017. Sepuluh lagu yang ada di album itu semunya ditulis oleh sang gitaris, Gde Kurniawan. Dari lirik dan tema-tema lagu itu, tak satu pun bisa digunakan sebagai alasan bahwa Ake Buleleng adalah grup band rasial, rasis, fundamentalis, primordial, dan feodal, he he he.
Buktinya, lagu-lagunya tak menyinggung SARA, yakni Saku (status ekonomi), Asal (darimana seseorang berasal), Rumah (entah di mana seseorang tinggal), dan Amah-amahan (tak peduli orang makan apa: pemakan segala atau rumput-rumputan, pemakan babi atau pecel lele).
Anggota band itu adalah Budi Kurniawan alias Unyil (drum), Ngurah Noky (bass), Gde Kurniawan (gitar), Yoga (vokal), Andik (vokal), Agus Jrink (vokal), dan Pande Unyil (vokal). Mereka semua sudah berkeluarga. “Semua sudah laku,” kata Gde Kurniawan.
Mungkin karena semuanya sudah berkeluarga mereka jadi agak jinak karena sadar bukan anak muda lagi. Pahamlah mereka jika mereka sudah jadi orang tua. Maka, tak ada lirik lagu dengan tema cinta: cinta segitiga, cinta terlarang, apalagi cinta monyet. Tak berani juga mereka bikin tema lagu tentang selingkuh, gadis simpanan, mabuk bersama cewek kafe, apalagi lagu jaruh. Istri-istri mereka pastilah tak mau dukung, bahkan siap “menerkam”.
Apalagi, terdengar bisik halus: rata-rata personil Ake Buleleng anggota ISTTTI (Ikatan Suami Takut Tolak Telepon Istri). Meski sedang pegang gitar atau pegang katik mik atau pegang katik drum, jika HP berdering dan nama Si Sayang muncul pada layar HP, seserius apa pun latihannya, ya, kadang bisa dihentikan sejenak. Bahkan ada vokalis yang kerap buru-buru pulang usai sesi latihan dengan alasan istri harus secepatnya dioleh-olehi tipat cantok. (He he, maaf, kebablasan)
Mana berani mereka bikin lirik sensitif. Tengok saja lirik pada album Yuk ke Buleleng ini. Isinya lebih banyak soal yang umum-umum saja, soal yang aman-aman saja. Misalnya lirik berisi kegembiraan, nostalgia, dan nasehat – baik nasehat untuk kawan, untuk diri sendiri maupun nasehat untuk istri sendiri. Coba simak:
Kene keto sing dadi yen sube makurenan
Kemu mai sing dadi
Mekejang dadi uyutang oh… oh…
Sebilang lakar melali paling ngalih alasan
Yening kene unduke penjara dogen Beli
Sampuang oh sampunang
Reff:
Beli muani paling satia
Beli muani paling ngelah wirasa
saling percaya paling satya
saling tresnain
buktiang jani tresnane sujati
wow… wow… wow… wow
Itu satu contoh lirik dalam lagu “Beli Muani” yang berisi semacam nasehat untuk keluarga (diri dan suami). Masih aman dan tidak nyinggung siapa-siapa kan? Terjemahan bebasnya:
Begini begitu tak boleh kalau sudah berkeluarga/ ke sana ke mari tak boleh/ semua jadi masalah oh… oh…/ setiap hendak keluar bingung cari alasan/ kalau begitu masalahnya penjarakan saja Abang/ Jangan oh jangan//
Abang lelaki paling setia/ Abang lelaki paling punya perasaan/ saling percaya saling setia/ saling cinta/ buktikan sekarang cinta sejati/ wow… wow… wow… wow//
Meskipun aman dan umum bahkan terkesan menghindar dari diksi Blelengan yang kental dan kasar, lirik-lirik lagunya tetap menebarkan teror khas Buleleng. Coba simak reff lagu “Sing Peduli”.
Sing peduli aku kamu hebat/ sing peduli aku kamu besar/ sing peduli aku/ seken sing peduli/ ne penting aku/ sing ngamah ulian kamu//
Sing peduli (tidak peduli) memang salah satu karakter khas Buleleng. Sing peduli maksudnya bukan apatis, tapi lebih pada pengertian tidak iri, tidak cemburu dan tidak menganggu. Ada orang kaya, sombong, sruet-sruet bawa mobil mewah, ya biar saja, sing peduli. Ada orang tiba-tiba jadi pejabat tinggi, sombong, tinggi hati, ya biar saja,sing peduli. Yang penting, ini ungkapan paling khas Buleleng: sing ngamah ulian orang kaya atau pejabat itu (makan atau tidak makan bukan karena si kaya atau si pejabat itu).
Saya tak berani membahas musikalitas, kosa nada dan olah vokal dalam album ini. Dua hal itu tak bisa diragukan karena saya tahu pemusik dan vokalis yang tergabung dalam Ake Buleleng adalah sejumlah pemusik dan penyanyi papan atas, bukan di Buleleng semata namun juga di luar daerah. Mereka berasal dari grup-grup musik ternama yang beberapa kali di antaranya menyabet penghargaan dalam lomba bergengsi.
Ake Buleleng yang dibentuk 30 Maret 2016 dan diinisiasi oleh komposer Gde Kurniawan memang merekrut empat orang vokalis dari empat band berbeda. Sebut saja Yoga yang tercatat sebagai vokalis Batara Band, Andik yang kini bergabung bersama Oi Band, vokalis sekaligus gitaris AA Rock N Roll Agus Jrink, serta frontman New4mation band Pande Unyil.
Namun sebagai timpal (bukan sebagai pengamat atau bukan sebagai kritikus musik) izinkan saya sedikit menyumbang saran untuk lirik atau syair. Meski lirik tak sepenuhnya dibuat berdasarkan diksi atau pilihan kata-kata khas Buleleng, misalnya dicampur dengan bahasa Indonesia atau diselipi dengan bahasa halus khas Bali Selatan, namun sebaiknya ada kata-kata kunci yang tetap konsisten memberi aksen khas Buleleng.
Yang paling mudah adalah memilih “sebutan orang” atau subjek orang sebagai kata kunci sekaligus menjadi ikon-ikon pengingat di setiap lagu. Nama band Ake Buleleng sesungguhnya sudah menegaskan hal itu. Sehingga kata ake untuk menyebut aku (orang pertama tunggal) harusnya secara konsisten digunakan di seluruh lagu.
Jika ake digunakan konsisten, maka subjek lain juga dipilih dengan pertimbangan rasa bahasa setara dengan ake. Misalnya cai untuk menyebut orang kedua tunggal, atau cai-cai untuk orang kedua jamak. Lalu timpalake untuk menyebut orang ketiga tunggal, timpal-timpalake untuk orang ketiga jamak. Jadi, meski secara keseluruhan misalnya lirik menggunakan bahasa Indonesia atau campuran Indonesia- Bali, atau campuran Bali halus-kasar, subjek-subjek itulah tetap sebaiknya dipertahankan sebagai satu kekhasan.
Dengan begitu akan lebih unik jika lagu Sing Peduli diubah menjadi: Sing peduli ake cai hebat/ sing peduli ake cai besar/ sing peduli ake/ seken sing peduli/ ne penting ake/ sing ngamah ulian cai//
Dalam lagu Yuk ke Buleleng liriknya juga bisa ditambahi sedikit pada kata “timpal-timpal” sehingga menjadi:
Yuk melali ke Buleleng
Liu dini ade tonggos mewisata
Mai timpal-timpalake jak mekejang
Saya percaya hal-hal semacam itu pasti sudah menjadi perdebatan dalam diskusi internal di grup band. Hanya mungkin “rasa aneh dan tidak enak” lebih dominan jadi pertimbangan (terutama karena lagu ini akan tersebar di seluruh Bali) sehingga pilihannya adalah “penyesuaian bahasa”.
Padahal jarang orang menyadari selama ini kita di Bali tak memiliki kata yang benar-benar enak untuk “sebutan orang pertama tunggal” atau “orang kedua tunggal”. Dengan alasan tak enak itulah, kecuali kata titiang atau tiyang, jarang ditemui dalam lagu Bali kata ake, awake, wake, wae, icang, cang, icung, untuk menyatakan si diri, aku, atau orang pertama tunggal.
Jarang juga ditemukan kata cai, ci, nyai atau nyi untuk menyebut kamu atau orang kedua tunggal. Kata-kata yang digunakan biasanya kata ganti orang pertama atau kata ganti orang kedua tunggal, seperti Bli dan Adi, atau Nyoman, Gung, dan Gek. Atau langsung diganti dengan Aku dan Kamu sebagimana kerap dilakukan penyanyi belakangan ini.
Untuk itulah kita memang harus belajar dari pergaulan bahasa di Buleleng. Dalam bertutur kata, orang-orang Buleleng enak saja mencampur-campur bahasa, yang awalnya mungkin agak sulit didengar kuping, namun kemudian jadi kebiasaan yang mengsyikkan. Kata-kata dari bahasa Arab seperti ana dan ente bisa menyelip dengan leluasa dalam tutur-kata bahasa Bali. Demikian juga bahasa Mandarin semacam gocing dan gopek.
Maka sebagai band dari Buleleng tentu potensi-potensi bahasa yang tumbuh subur dan bebas di Buleleng itu sayang untuk disia-siakan.
Tabik, timpal-timpalake di Ake Buleleng. Ampura… (T)