TEKHNOLOGI pengilingan padi telah muncul di kepulauan Solomon 26.000 ( dua puluh enam ribu ) tahun lalu. Walaupun bukti pembudidayaan pertanian padi yang lebih maju baru ditemukan di Gua Sakai, Semenanjung Malaya berusia 7000 SM.
Orang-orang Asli seperti orang Jakun, Sakai, Temiar, Siamang dan Senoi yang sampai kini masih mendiami pedalaman dan wilayah pesisir Semenanjung Malaya ditenggarai telah mengembangkan pertanian padi semenjak 9000 tahun lalu dan mereka juga membawa pengetahuan sereal ini hingga ke Cina dan India bersamaan dengan terbukanya Selat Malaka akibat naiknya permukaan laut pada masa Holosin.
Sejak itu padi menjadi salah satu simbol terobosan budaya yang penting dan setara dengan pencapaian-pencapaian maritim yang dimulai di sekitar Sulawesi pada akhir zaman ES ketiga. Di pulau Jawa, budaya pertanian padi barangkali baru mengalami kemunduran semenjak kolonialisme Belanda memperkenalkan budaya pertanian komersial untuk memacu produk ekspor hasil pertanian ke Eropa.
Walaupun tanpa mengubah secara fundamental struktur pertanian dan ekonomi tradisional, pertanian komoditi yang diperkenalkan pemerintah Hindia Belanda telah semakin meningkatkan populasi petani yang berupaya melakukan kompensasi penghasilan uang untuk pertanian mereka.
Hal ini pada gilirannya mendorong perubahan-perubahan dalam budaya pertanian tradisional itu sendiri, dari yang mulanya agraris murni ke masyarakat petani urban atau pertanian komoditi.
Sumatra tentu lebih aman dari proses ini, karena kekuasaan penuh Belanda atas wilayah-wilayah Sumatra baru terjadi pada akhir abad 18. Oleh karena itu, budaya pertanian padi non komoditi pada banyak wilayah masih bertahan sampai Orde Baru melancarkan modernisasi pangan.
Ketika sejumlah ilmuan melakukan ekspedisi ilmiah ke dataran-dataran tinggi Sumatra pada akhir abad 19, mereka mencatat masih terdapat ratusan jenis padi, alat dan berbagai keahlian pertanian lokal yang dikembangkan oleh masyarakat dataran tinggi Sumatra.
Jumlah itu kemudian menyusut secara drastis menjadi beberapa jenis padi saja pada era modernisasi pertanian. Dan pada masa sekarang, orang hanya mengenal pertanian padi sawah dan hanya mengetahui tak lebih dari enam atau lima jenis padi saja.
Tahun 1970, pemerintah memulai proyek modernisasi pertanian melalui program intensifikasi pertanian. Konsekwensinya, penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia menjadi faktor dominan dalam peningkatan proses produksi pertanian. Pabrik pupuk dan obat-obatan kimia pun gencar dibangun besar-besaran.
Sementara model-model produksi yang berbasis kearifan lokal (yang tidak tergantung pada harga obat) menjadi lenyap dan seluruh pranata budaya tani kita pun beralih pada ketergantungan terhadap kapitalisme obat dan pupuk. Salah satu yang menjadi penyebab terjadinya “guremisasi petani”.
Produktifitas tanah pun cenderung menurun dari tahun ke tahun dan paradigma pertanian tidak lagi melibatkan kebudayaan sebagai “core” atau inti dari pertanian. Padahal, di dalam paradima ekologi budaya, sebagaimana yang diterangkan Geertz, budaya adalah inti dari budidaya pertanian.
Dijelaskan oleh seorang pakar IPB dalam sebuah artikelnya, bahwa kemunduran atau krisis pertanian sebagai akibat dari pembangunan pertanian rekayasa dapat dijelaskan dari dua fakta.
Pertama, produktifitas sesaat. Peningkatan produktifitas pertanian pada repelita III, menurun tajam pada repelita berikutnya dan secara pasti Indonesia pun menjadi importir beras sampai hari ini.
Kedua, distribusi peningkatan produksi padi semasa revolusi pupuk, ternyata bersifat diskriminatif dan hanya menguntungkan golongan minoritas petani besar. Terjadi proses guremisasi petani, polarisasi penguasaan tanah di pedesaan, dan transfer penguasaan lahan dari petani kecil ke petani besar akibat ketiadaan modal dari petani kecil.
Krisis yang dipicu paradigma pertanian rekayasa ini, menurut pakar ekologi budaya, hanya dapat ditawar dengan cara revitalisasi budaya tani kita. Pertanian harus kembali kepada bentuk “asli”nya yang menjadikan keseimbangan antara “benih, tanah, manusia dan Pencipta” sebagai pusat kearifannya. Itu berarti mengembalikan paradigma pertanian kepada paradigma budaya. (T)