Setiap manusia mengidamkan seorang pahlawan
untuk hapuskan derita dari tirani yang usang yang kini kadaluarsa
(Dimanakah Dia , Zat Kimia)
DUA penggalan lirik ini selalu bercokol di kepala, jika melihat, membaca, atau mendengar berita terkait kasus korupsi. Sebab sampai sekarang tak ada pahlawan yang berhasil meluruskan benang kusut kebiasaan korupsi di negeri ini. Pahlawan ini saya sebut Pahlawan Ikan Salmon.
Ikan Salmon berjuang menerjang arus untuk menelurkan anak-anaknya di perairan air tawar, tidak jarang perjuangannya menemui ajal sebelum sampai tujuan. Tak berlebihanlah saya menyebutnya pahlawan, sebab musuh yang dihadapi pahlawan kita ini sangat ganas, buas, licin bahkan telah beranak-pinak dan tersisip di setiap celah yang tak kita duga, yakni oknum korup.
Di media massa atau media sosial berita korupsi seperti menjadi asupan gizi bagi setiap orang. Bahan menarik untuk diperbincangkan dari kelas warung, bangku kuliah, hingga kelas eksklusif. Korupsi ibarat artis yang selalu asik untuk digosipkan. Tapi semakin sering didebatkan kasusnya pun semakin bertambah. Malah semakin jauh topik ini hanya sebatas obrolan minum kopi atau pencair suasana jika bertemu orang baru.
Korupsi seolah menjadi wajar di negara kita tercinta ini, kebiasaan turun temurun yang diamini semua orang. Memang benar kata Adolf Hitler jika kesalahan dilakukan berulang, maka kesalahan akan menjadi suatu kebenaran. Masyarakat tahu bahwa momok besar bangsa ini, korupsi. Tapi hanya sedikit yang muncul untuk melawan seperti ikan salmon penerjang arus a.k.a Pahlawan Pembasmi Korupsi, a.k.a Pahlawan Ikan Salmon
***
Dalam Novel Max Havelaar (1860) karya Multatuli juga terdapat sejumlah kasus korupsi yang dilakukan oleh kaum priyayi. Novel itu mengisahkan tentang nasib buruk rakyat jelata karena ditindas oleh para petinggi kerajaan. Seluruhnya tunduk kepada titah raja. Meskipun mereka paham sejumlah aturan terkesan merugikan. Namun apa daya rakyat yang tak berdaya, tidak mampu melakukan perlawanan .
Apa yang lebih memalukan dari dijajah oleh bangsa sendiri? Sialan. Menurut saya penindasaan serta mengambil hak orang lain secara paksa juga termasuk tindakan korupsi. Ternyata korupsi telah menjamur sejak zaman kerajaan. Korupsi terkesan melanggeng hingga kini,
Hemat saya, masyarakat kini lebih suka jadi penonton di luar lapangan, berkomentar seenak udel, ngedumel seenak perut, tanpa ada sumbangsih maksimal. Jikapun ada seminar anti korupsi yang di selenggarakan oleh para Agen of Change (mahasiswa), sifatnya hanya sebatas di bangku institusi, gemanya tak sampai di kalangan bawah, di kalangan tukang bakso yang keliling di perumahan, pedagang jukut serombotan di Pasar Kreneng, atau tukang parkir di Pasar Badung.
Belum ada seminar anti korupsi yang pesertanya pedagang sayur, penjual asongan, atau buruh garmen. Sesekali ajaklah mereka, Kawan, agar bisa menikmati coffe break, diskusi di ruang ber-AC, santap siang prasmanan, serta berkalung name tag peserta seminar, lalu mereka selfie mengunduh foto di media sosial berlatar belakang spanduk “Seminar Anti Korupsi”. Pasti bangga mereka.
Kenyataannya mereka seolah di lupakan, padahal merekalah yang perlu dibentengi ilmu pengetahuan yang tebal dalam menyikapi korupsi. Sebab tak jarang mereka yang menjadi korban atau lebih jauh menjadi pelaku korupsi yang diperdayakan oleh oknum pejabat.
Tapi tenang saja, mereka tetap hidup, contohnya seberapapun besar dan gencarnya berita kasus korupsi gula impor akhir-akhir ini, pedagang bakso langganan saya tetap jualan. Toh ia membeli gula di pasar, toh ia tetap membayar biaya keamanan sebesar 3000/hari itu, toh hidupnya berlangsung.
Seandainya para pekerja bawahan ini khatam dalam masalah korupsi, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan Pahlawan Ikan Salmon kita. Dengan semangat membara untuk menindas tindakan korupsi dari kelas bawah. Jangan lupa Indonesia punya Salim Kancil, Munir, Marsinah, Wiji Thukul, dan pejuang-pejuang rakyat kecil Indonesia. Walau Pahlawan Ikan Salmon kita akhirnya menemu ajal, tak apa. Mereka tidak mati, mereka membelah diri.
Di Indonesia, jika muncul satu-dua-tiga orang Pahlawan Ikan Salmon, mereka langsung diserang tentakel-tentakel gurita penguasa. Pahlawan kita tak bisa berbuat banyak, malah terkesan menjadi kontroversial. Karena melawan arus, dan selalu menjadi sorotan publik.
Jadi ingat kata almarhum Gus Dur; di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur (baca : para pejabat) yang tak bisa disuap. Yakni polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng (Kapolri 1968-1971). Jadi, yang lain bisa diduga akan mudah bersatu untuk menghalalkan segala cara, agar Pahlawan Ikan Salmon kita, mati di tengah jalan, sebelum sempat menetaskan telurnya.
***
Apakah situasi ini membuat kita pesimis?
Lah gimana kagak pesimis, Hoegeng diberhentikan dari jabatan kapolri gara-gara jujur, pimpinan KPK yang terkenal bersih selalu jadi polemik bahkan dicari kesalahannya, Gubernur yang keturunan Tionghoa itu juga selalu kesandung masalah gara-gara bertindak tegas. Salim Kancil mati diberangus penguasa, dan contoh lainnya. Negeri kita ini memang selalu parodi. Membasmi yang jujur, membela yang jelas-jelas ngawur.
Tapi saya selalu berdoa untuk kemajuan bangsa kita, seperti lirik lanjutan paragraf pembuka tulisan ini
Dimanakah dia berada saat ini ?
Mungkin hatinya tlah mati kali ini
Kehadiran sang pahlawan tiada lagi
Bara hati yang menyala..jangan mati
Kehadiran dia kan memrikan harapan
bara hati yang menyala
(Dimanakah Dia , Zat Kimia)
Mungkin benar kata Zat Kimia. Pahlawan kita telah mati hatinya dan mungkin tidak akan muncul. Ia bukannya lelah membela kebenaran tapi jenuh dihujam masalah melulu dari segala penjuru arah.
Namun jangan menyerah, bara hati yang menyala jangan mati, sebab akan ada masanya negeri ini bangkit dari keterpurukan. Itulah PR besar bagi generasi muda penerus, untuk selalu berfikir objektif, positif dan tidak cepat terlena dari hasutan buruk penguasa yang hanya mementingkan keuntungan material semata. Dan tentunya melahirkan Pahlawan Ikan Salmon kita, dengan gerakan yang gesit membasmi pejabat korup, dengan gigi yang tajam mengoyak seluruh jaringan korupsi hingga ke akarnya.
Satu lagi pembaca yang budiman selalu ingat pesan Bung Pramoedya Ananta Toer jika yang muda telah memegang posisi penting, jangan lupa bacalah Max Havelaar, karena novel tersebut mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika tidak, niscaya kekuasaan itu akan menjadi kejam. (sumpah saya tidak dapat royalti apa-apa atas himbauan ini, hahahahaha). (T)