APA itu ujian? Dan kenapa harus ada ujian?
Apakah hanya hal itu yang bisa menandakan bahwa kita telah mengerti apa yang telah diajarkan? Ah, kalau seperti itu kita hanya bisa menghapal.
Apakah setelah kita mendapatkan pelajaran harus diberikan penilaian dengan cara ujian? Apakah tidak ada cara lain?
Rasanya memang UN (Ujian Nasional) perlu dihapuskan. Karena sangat hororlah jika belajar di sekolah selama tiga tahun justru lulus-tidaknya ditentukan tiga hari.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy juga merencanakan menghapuskan UN dan menggantikannya dengan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional).
Apakah USBN lebih baik dari UN dalam menilai hasil dari proses pendidikan? Tentu harus ditunggu. Namun dengan rencana dihapuskannya UN dan digantikannya dengan USBN, pendidikan di Indonesia tetap harus diperbaiki, terutama dalam proses keberlangsungan pendidikan itu sendiri.
Karena bagaimana pun, pendidikan di Indonesia harus dinilai berdasarkan proses bukan hasil. Jadi ujian, apa pun bentuknya, tidak bisa menentukan kelulusan. Buat apa sekolah tiga tahun, jika nilai ujian yang tidak memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) dinyatakan tidak lulus? Apa gunanya sekolah tiga tahun kalau “kepintaran” dan “kebodohan” hanya ditentukan dalam tiga hari?
Seharusnya walau nilai ujiannya tidak memenuhi KKM, tidak sampailah si siswa tidak lulus. Bukankah dia juga sudah mengikuti proses pendidikan dengan sebagaimanamestinya?
Di Bangku Kuliah
Di bangku perkuliahan hasil pendidikan juga harus berdasarkan proses. Nah, sesungguhnya hal itu sudah kerap dielu-elukan para dosen pada saat kontrak kuliah.
Katanya sih penilaian 30% UAS, 30% UTS, 30% Tugas dan 10% Kehadiran. Terus di mana prosesnya?
Jika prosesnya terletak pada kehadiran mengapa bobot penilaiannya paling kecil? Katanya pendidikan berdasarkan proses. Tetap saja kalau seperti ini jadinya sama seperti permasalahan di bangku sekolah. Kalau nilai UAS jelek, ya tidak lulus mata kuliah, meski hadirnya 100%. Artinya, ujian tetap nomor satu.
Belum lagi dosen-dosen yang kadang “bertingkah seenaknya”.
Bilangnya pendidikan berdasarkan proses tapi “gak pernah ngajar”, bagaimana bisa melihat prosesnya? Bilangnya pendidikan berdasarkan proses tapi “cuma ngasi tugas” bagaimana bisa melihat prosesnya?
Bilangnya pendidikan berdasarkan proses tapi “3 SKS diajar 1 SKS” bagaimana bisa melihat prosesnya? Bilangnya pendidikan berdasarkan proses tapi “kuliah 6 bulan aktifnya 2 bulan” bagaimana bisa lihat prosesnya?
Kalau begini terus, bagaimana nasib pendidikan Indonesia yang katanya berdasarkan proses, terutama di bangku perkuliahan?
Mungkin pendidikan di Indonesia harus diperbaiki tidak hanya dalam ujian, melainkan juga pada penilaiannya. Baik penilaian di bangku sekolah yang dihantui dengan ujian yang menentukan kelulusan, maupun di bangku perkuliahan yang kadang dihantui dengan beragamnya “tingkah dosen”, “cara mengajar” dan “cara menilai”.
Tentu saja, agar pendidikan berdasarkan proses bisa efektif, harus ada kerjasama baik dari pendidik (guru maupun dosen) serta pihak pemerintah (Kemendikbud maupun Kemenristekdikti). Semua pihak harus bersama-sama menjadikan pendidikan di Indonesia maju, dengan melakukan penilaian berdasarkan proses bukannya penilaian berdasarkan hasil. (T)