SEBUAH percakapan mengejutkan di ruang kelas:
Saya : Anak-anak, kalian punya cita-cita?
Ada yang jawab punya, ada yang menjawab tidak. Saya lontarkan pertanyaan ini kepada setiap siswa yang ada di dalam kelas itu. Setelah saya sampai kepada salah seorang anak yang bernama ‘Tertius’, saya terkejut ketika tahu alasannya menjadi seorang guru.
Saya : Kalau kamu, Tertius, kamu punya cita-cita?
Tertius : Punya, Pak Guru.
Saya : Bagus… Cita-cita kamu apa?
Tertius : Saya ingin menjadi guru.
Saya : Kenapa kamu ingin jadi guru?
Tertius : Saya ingin jadi guru supaya pada suatu hari nanti saya bisa membalas guru-guru yang pernah memukul saya.
Percakapan itu terjadi sekitar tahun 2013 saat saya menjadi guru dalam Program Sarjana Mendidik di daerah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (SM3T). Lokasinya di pedalaman sebuah pulau di NTT.
Sangat miris memang. Tapi itulah ungkapan jujur dari seorang anak kecil. Kemungkinannya ada banyak. Entah itu ingin membalas dengan harapan supaya dia menjadi anak yang benar-benar serius menjadi guru dengan cara membalas kemenangan: ‘Saya bukan anak bodoh seperti yang engkau kira”.
Atau menjadi guru dengan cara membalas kemenangan bahwa suatu hari nanti dia bisa melakukan apa yang selama ini guru-guru lakukan terhadap dia. Dan bisa saja membalas kemenangan itu dengan cara yang lain. Saya memang tidak begitu tahu tentang arti dari ungkapan itu.
Jika benar seperti yang saya katakan tadi, maka alasan menjadi guru akan menjadi tidak benar lagi yaitu MEMBALAS DENDAM.
Kadang kala, apa yang terjadi tak seperti apa yang kita pikirkan. Saya juga hampir tidak percaya anak yang baru berumur sekitar 9 tahun bisa berbicara seperti itu.
Jika flash back ke jaman saya SD dulu, saya tidak ada keinginan untuk membalas semua kejahatan yang pernah guru saya lakukan. Malah saya bertekad untuk tidak meneruskan budaya “memukul” ini kepada anak didik. Karena saya tahu ketika anak diberi suatu “pukulan” selamanya dia akan menjadi anak yang pengecut.
Saya tahu juga, saat itu pukulan memang menyakitkan, maka dari itu saya tidak akan membuat anak didik saya sakit suatu hari nanti. Pepatah “di balik rotan ada emas” tak selamanya benar.
Beberapa perlakuan yang Guru saya lakukan saat itu memang menyakitkan untuk saya. Bukan hanya sakit secara fisik saat dijitak dan dipukul. Namun, mental saya juga saat itu benar-benar terguncang. Tapi pembuktian yang saya lakukan saat ini adalah ketika saya sukses membuat anak-anak mengerti tentang pelajaran yang saya berikan walaupun tidak dengan cara memukul.
Semoga pengertian yang saya berikan ke anak-anak bisa diterima. Bahwa suatu hari nanti dia kelak menjadi Guru yang benar-benar mengabdi untuk bangsa dan bukan karena BALAS DENDAM. (T)