SAYUP-SAYUP terdengar lirik lagu. Gadis di depan saya tampak bernyanyi menirukan chant meski lirih yang datang dari tribun utara. Mereka berdiri di sektor tribun timur Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali. Waktu itu, Sabtu, 3 September 2016, di lapangan sedang bertanding antara Bali United melawan Persipura Jayapura pekan ke-18 lanjutan Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016. Tercatat sebanyak 13.127 penonton di pertandingan itu. Para penonton beberapa kali menoleh di tribun utara.
Tribun utara menjadi interest pandangan sore itu. Penuh sesak, penonton berderet di tribun itu dengan kaus dominan hitam. Bukan jersey melainkan feysen casual. Di pagar tribun terpampang NORTHSIDEBOYS12 (NSB12). Mereka terpisah dari tribun timur yang diisi suporter Semeton Dewata, dan tribun selatan Brigaz. Mereka membuat arsiran di stadion Kapten Dipta.
Sebelum masuk stadion, mereka melakukan ritual corteo konvoi jalan kaki dari Jalan By Pass Buruan Gianyar menuju gate 12. Suara riuh sepanjang laga dengan aksi bernyanyi, tepuk tangan, koreografi bak ultras Ballspielverein Borussia 09 e.V. Dortmund atau Borussia Dortmund di Signal Iduna Park, Jerman. Atau deretan ultras Liga Seri A, Roma Boys (AS Roma) atau Irriducibili (Lazio) yang keduanya merupakan pemeluk neo-fasisme secara ideologi. Atau sejalan dengan Brigade Autonome Livornesi ultras klub Livorno yang memilih ideologi kiri.
Minimal mirip-mirip dengan Brigata Curva Sud (BCS) suporter Indonesia PSS Sleman. Khusus BCS, kini mampu menghidupkan suasana dan gairah sepak bola Sleman. Di Stadion Maguwoharjo, aksi BCS mengundang detak jantung penonton di tribun lain dengan koreografinya mengalahkan tontonan pertandingan yang sedang berlangsung. Mazhab BCS seperti menjadi suporter tertib, bayar tiket, no ticket no game, harus pakai sepatu memang diadopsi oleh NSB12.
Mereka tak henti beryanyi sejak menit pertama hingga menit terakhir. Tak ada lagi chant “Ini nonton bola bukan nonton bokep.” Atau teriakan bernada SARA, apalagi kekerasan, caci maki, umpatan, intimidasi, dan provokasi. Mereka bernyanyi, tepuk tangan, dan berjingkrak tak henti secara serempak. Melepas kaus dan membalikkan badan bersama meski Serdadu Tridatu (julukan Bali United) kalah. Pasukan Indra Sjafri waktu itu kalah dengan skor 0-1 melalui gol tunggal Marinus Mariyanto (72’).
Ini juga alasan saya, kenapa harus pertandingan Bali United lawan Persipura. Sambil mengukur kesetiaan suporter. Lazimnya pendukung yang haus kemenangan, maka jika timnya kalah, tanpa diberi aba-aba berduyun-duyun meninggalkan tribun, pulang. Tetapi ini tidak, NSB12 tetap bertahan dan bernyanyi memberikan semangat Fadil Sausu dkk untuk terus berjuang meraih kemenangan minimal imbang, dan hasil akhir Bali United kalah 0-1.
Pemandangan ini jelas jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ketika stadion ini menjadi home base tim berkompetisi di level teratas Liga Indonesia seperti Persegi Bali FC pada 2005 misalnya. Tim yang dibesut Henk Wullems ini, meski bermain kandang, suporter yang datang tak lebih 500 hingga 1.000 orang. Mereka seperti tampak di satu titik tribun timur. Persegi Bali FC pun akhirnya resmi mundur di tahun 2007 karena kesulitan finansial. Sejak muncul, NSB12 di barisan tribun utara mereka menjelma kekuatan identitas suporter.
Hiruk-pikuk dan aksi mereka memunculkan semakin menambah semarak stadion. Ada banyak chant mereka nyanyikan. Di antaranya Bangga Mengawalmu Pahlawan, Bali United Selamanya, Jayalah Bali United, Bali Belongs To Me, We Love You Bali, Ayo Serdadu Tridatu, dan YNWA Bali United. Teriakan teror wasit macam “wasit naskl*ng” pun tak terdengar lagi.
Lantas siapa NSB12? “Siapapun, apapun dan bagaimanapun cara kalian. Kita semua satu tujuan, satu cinta dan demi satu kebanggaan Bali United FC. NSB12 bukan sebuah organisasi, NSB12 sebutan untuk mereka yg di tribun utara. siapa saja boleh bergabung datang dan berdiri di Gate 12 Tribun Utara. Beginilah kami mendukung dengan cara kami sendiri.” tulis mereka di website resmi NSB12, www.northsideboys12.com.
Mereka didominasi kaum muda. Makin hari jumlah mereka makin banyak. Mereka berhasil memikat dengan kuat kaum muda. Kini mereka memenuhi tribun utara, merintis jalan baru kebudayaan yang disebut subkultur. Saat kick off babak pertama pemain tepat mengumpan bola, di sinilah mereka mulai perang identitas sebagai subkultur di tribun stadion Kapten Dipta. Mereka memiliki ciri khas gaya, feysen, bahasa dan musik sendiri.
Gaya dan feysen yang dipakai seolah seperti fans Liverpool yang berdandan feysen casual saat pulang dari stadion Olimpico, Roma, Italia setelah menyaksikan tim kesayangannya Liverpool melawan Borussia Monchengladbach (Jerman) pada laga final European Cup, Mei 1977 silam. Mereka pun mengenakan kaus bukan jersey Bali United, namun fesyen casual hitam dipadu dengan sepatu rata-rata Adidas klasik semacam era 1980-an. Mereka datang menuju stadion dengan bangga mengenakan merchandise,giant flag dan spanduk berisi dukungan Bali United.
Meskipun tak se-ekstrim layaknya ultras suporter garis keras, mereka semacam menciptakan perlawanan ideologi anti kapitalisme. Semacam perlawanan membongkar makna dominan atas berbagai realitas sosial yang dikuasai budaya mainstream dengan mengusung solidarity is power. Juga tak mau diwawancarai oleh jurnalis.
Pada ajang Trofeo Bali Celebest 2016 pada Sabtu (24/9/2016) malam misalnya. Mereka pesta flare yang lazim dilarang dalam pertandingan resmi. Stadion benar-benar dibuat berasap. Mereka lalu membentangkan spanduk bertuliskan PYRO IS NOT A CRIME.
Dalam momen itu mereka menganggap hajatan sendiri dan harus dirayakan. Mereka bersikap karena pada laga resmi merasa sudah dikekang dengan aturan industri. Industri pemilik pemodal. Mereka menilai pemodal tidak pernah peduli dengan gairah yang timbul dalam sepak bola, kecuali hanya mengetahui keuntungan yang didapat dari tayangan sepak bola.
Pada ajang itu, Bali United pun juara setelah mengalahkan dua tim lemah Celebest FC (ISC B) dan Perseden Denpasar. Namun pada akhirnya mereka tidak akan melakukan lagi pada laga resmi dengan alasan tim yang mereka dukung menanggung beban denda karena ulahnya. “Jangan pernah takut mengajak anak-anak pergi ke stadion. Menonton bola secara langsung tidak seseram yang Bapak & Ibu bayangkan, Karena kelak merekalah yang akan meneruskan gerakan ini mengawal sang kebanggan.” Pesan mereka.
Nah, ini mungkin cara mereka campaign tentang salah kaprah memahami anarkisme. Tafsir faham anarkisme yang dimaknai aksi keonaran, barbarisme. Mereka mengajak dan mengikis bahwa anarkisme bukan seperti yang tergambar dan dikhawatirkan. Mengajak kembali membaca tentang sepak terjang pemuda 18 tahun asal Italia Pietro Ferrua. Atau memahami artikel pemikir anarkis macam Peter Kropotkin, Pierre-Joseph Proudhon, Mikael Bakunin atau Emma Goldman.
Kisah suporter casual seperti ini di Indonesia sebenarnya sudah pernah ada pada tahun 2005 lalu. Kala itu, ada fans Persib Bandung dengan nama Flower City Casual (FCC). Namun FCC tidak bertahan lama dan tahun 2012 lalu membubarkan diri karena dianggap kontroversi.
Suporter casual kini menyebar di mana-mana membentuk subkultur di tribun selatan dan utara stadion di Indonesia. Hampir klub yang berlaga di ajang ISC memiliki basis suporter feysen casual. Nah, apakah ini sekadar trend atau benar-benar sebagai suporter sepak bola dan menjadi budaya baru dunia suporter Indonesia? Kita tunggu mereka di laga kandang maupun tandang. (T)