“Mama, please take this badge off of me, I can’t use it anymore.” (Knockin’ on Heaven’s Door – Bob Dylan)
JAUH sebelum seniman besar pengusung musik balada itu berbicara murung perihal atribut, identitas – atau apa pun namanya – hinduisme sudah membabarkannya terlebih dahulu melalui kitab Weda Smerti : Itihasa. Epos Mahabharata, tepatnya. Dalam salah satu petilannya disampirkan sebuah kiasan bagus bagaimana identitas melambungkan, sejurus berikutnya, menjerumuskan penyandangnya tanpa ampun ke titik sebaliknya.
Arjuna dan Ekalaya Sebagai Alegori
Pada hari yang tidak ingin ia ingat, di tepi sebuah hutan, Arjuna mendapati anjing berburunya mati dengan cara yang ganjil. Lima anak panah menancap tepat di langit-langit mulutnya, “atraksi” yang hanya sanggup dilakukan oleh pemanah dengan kecakapan luar biasa. Anak panah yang tentu dilesakkan kelima-limanya sekaligus pada jeda amat singkat saat binatang malang itu menyalak membuka mulutnya.
Ekalaya muncul dari balik gerumbulan pohon, meminta maaf atas kelancangannya. Arjuna berdiri kikuk, dan jauh di dasar kesadarannya, ia merasa ciut, kerdil dan kalah. Anak Pandu yang seumur-umur merasa tak menemukan tanding itu, yang jumawa oleh pelbagai atribut yang ia sandang : seorang panengah Pandawa, pemanah paling titis dari keluarga Bharata, pangeran paling berbakat dalam ilmu perang, murid kesayangan Rsi Durna pula ……
Nyatanya, sederet embel-embel cemerlang yang membuat jeri lawan itu mati hawa, tampak biasa, sangat biasa di depan Ekalaya. Pemanah dengan asal-usul yang tak cemerlang. Yang ditolak sebagai murid oleh Durna. Yang memutuskan belajar sendiri dengan memuja dan menyuntuki bertahun-tahun patung Durna sebagai guru imajiner. Kabar kemunculannya, tidak bisa tidak, mengagetkan seisi Hastina, tidak terkecuali Guru Durna.
Identitas, Sebuah Paradoks.
Betapa absurd identitas sebenarnya. Memuliakan sekali waktu, memasung penyandangnya ke dalam sekat sempit di lain waktu. Memasang jarak, mematikan kesediaannya berbagi ruang dengan yang beda.
Dalam skala besar bernama Indonesia, identitas itu bisa bernama etnis, agama, ras, golongan atau pilihan warna politik. Stratifikasi sosial pun begitu. Mendudukkan orang pada posisi tinggi-rendah, kadang berhadap-hadapan, kemudian membuat rumusan pongah atasnya. Kita mengenal terminologi ‘kelas menengah’, ‘kelas bawah’, ‘kota’, ‘udik’, ‘kaum terdidik’, ‘kaum tak terdidik’.
Dalam konteks Bali, embel-embel itu bisa bernama kawitan, trah, wangsa, ‘orang tempatan’, ‘kaum pendatang’ alias tamiu, dan seterusnya. Tiga yang pertama saya abaikan dalam tulisan ini. Sementara dua yang terakhir – orang tempatan (wed : bahasa bali) dan kaum pendatang – rasanya lebih seksi sebagai tema, setidaknya tahun-tahun belakangan ini.
Saya tidak sedang memparadekan sensitivitas orang Bali, tidak. Hanya suka tercenung, jengah oleh sindrom dualitas tidak berkesudahan ‘saya-Anda’, ‘kita-mereka’ yang saya jumpai. Beberapa kawan, sering dengan sinisme, berbicara seakan kata-katanya mewakili kedalaman sebuah mimpi buruk : “Tukang pecel lele, penggali sumur, pemasang instalasi kabel listrik bawah tanah, bahkan canang pun mulai dibuat dan dijual oleh orang Jawa.” Saya menangkap kegundahannya. Yang agak memakan energi, terutama untuk tujuan meredakan singsut hati kawan saya tadi, dibutuhkan kesabaran ekstra plus penjelasan yang terbilang rumit dan panjang.
Secara kultural, manusia Bali tergolong lentur mengadopsi nilai-nilai luar, mengendapkannya seakan entitas tadi bukan lagi entitas asing. Untuk menyebut contoh : budaya memperingati hari ulang tahun atau merayakan Valentine’s Day tampak diterima baik-baik saja tanpa resistansi. Dari aspek kontestasi kapital apalagi, Bali tak ubahnya besi sembrani di mana janji-janji kesejahteraan, perputaran uang, gerak perekonomian dan kalkulasi industri berpusing saling menyangga.
Apa yang salah? “Mereka yang selalu menyalahkan lantai tidak akan pernah bisa menari”, saya ingat bunyi sebuah amsal Melayu. Sembari mensyukuri Bali sebagai magnet yang dikaruniai daya pikat, andai boleh berurun saran, manusia Bali baiknya menyiapkan kebesaran hati, kecakapan menghitung resiko sebagai ‘tambang galian’ ke mana orang berduyun-duyun menguji keberuntungannya.
Sektarianisme Menemukan Gelanggang
Di beberapa media on-line, para pemandu sorak menebar istilah nyame dauh pangkung atau Kurawa, stigma yang mengacu kepada orang-orang non Hindu-Bali yang bertempat tinggal ataupun bekerja di Bali. Saya pikir, istilah-istilah tadi adalah imaji negatif semata yang datang dari bilik bawah sadar, ekspresi rasa inferior akut sekelompok kaum yang tidak kunjung merasa menjadi tuan di tanah sendiri.
Frasa nyame dauh pangkung, apalagi selain identifikasi geografis tanpa peta yang berangkat dari akumulasi kecemasan dan fobia. Pertanyaannya, ada apa dengan kesadaran ruang berbangsa kita andai setiap identitas dimaknai sesempit anak uli kangin, anak uli delod, dan seterusnya. Bagaimana dengan para transmigran asal Bali yang tersebar di banyak belahan Indonesia lain? Bayangkan frase dengan sinisme yang sama disematkan kepada saudara-saudara kita oleh warga Buton, Palopo atau Lampung.
Istilah Kurawa pun segendang sepenarian. Perumpamaan berkonteks genealogi yang semena-mena dijumput dari khasanah dunia wayang yang diniatkan, lagi-lagi sebagai panggung pertunjukkan subyektivitas ‘aku-kamu’, ‘kita-mereka’ dengan bangunan dinding kokoh di tengah-tengahnya. Kekuatan otoritatif mana yang berhak mengkualifikasikan yang lain sebagai Kurawa? Lantas dengan menyebut pihak lain Kurawa, apakah serta merta mengesahkan penyebutnya memperoleh previlese sebagai Pandawa ?
Manusia tumbuh dari kompleksitas anasir tanpa batas. Mustahil, misalnya, menguliti seseorang, memindai sel organ-organ tubuhnya di bawah teropong mikroskop, membuka kubah tengkoraknya untuk kemudian menyimpulkan isi relung pikirannya.
Identitas lebih kepada perkara aproksimasi. Kira-kira. Tak pernah tunggal. Cap yang belum tentu permanen. Jauh dari eksak. Untuk pertanyaan-pertanyaan ‘Dari mana asalmu?’, ‘Apa agamamu?’, ‘ Bagaimana latar belakang sosialmu?’, atau rumusan-rumusan yang identified object begitu, saya percaya, tidak pernah ada jawaban definitif atasnya.
Menu Bernama Indonesia
Saya tutup tulisan ini dengan sebuah analogi sederhana: sebuah menu pepes ikan barakuda. Seekor ikan barakuda, cincangan daun kemangi, rimpang rempah-rempahan penyedap, pembungkus dari daun pisang dan terakhir, biting bambu sebagai pengait. Tidak penting menduga-duga si ikan barakuda dari laut mana, tidak penting si daun kemangi dari halaman rumah mana, rempah-rempahan dicerabut dari tanah mana, daun pisang dari empang sebelah mana, bambu dari hutan mana. Garam laut tidak harus mendaku diri lebih utama dari asam gunung, bukan? Mari berendah hati, bersepakat melebur diri bersama menjadi sebuah menu rancak “Pepes Ikan Barakuda” bernama Indonesia.
Selamat Ulang Tahun, Indonesia.