RASANYA baru kemarin saya menjadi mahasiswa semester 6 dan kini sudah beranjak ke semester 7. Segala pahit getir hari-hari di semester 6 yang agak jahanam akhirnya bisa saya lalui dengan sehat dan selamat. Kini, kisah baru yang lebih jahanam sudah menanti saya – atau lebih tepatnya kami para mantan semester 6 – di ambang pintu semester 7.
Berbicara soal semester 7, pasti sudah tidak asing lagi dengan mata kuliah dengan bobot 3 SKS ini (red: KKN). KKN atau yang lebih panjang disebut Kuliah Kerja Nyata menurut buku materi pembekalan KKN adalah suatu bentuk pendidikan dengan cara memberikan pengalaman belajar bagi mahasiswa untuk hidup di tengah-tengah masyarakat di luar kampus. Dan secara langsung mengidentifikasi dan menangani masalah-masalah pembangunan yang dihadapi oleh masyarakat.
KKN juga merupakan salah satu mata kuliah jenis intrakurikuler yang terpadu dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Betapa mulia KKN itu. Namun berbicara soal KKN memang tidak ada habisnya karena selalu ada kontroversi di dalamnya. Selalu ada perubahan-perubahan yang terjadi baik bersifat baik maupun buruk – yang homesick mulai bisa mandiri, yang tidak bisa masak mulai bisa masak, yang antipati mulai bersimpati, yang tidak suka mengajar mulai terbiasa mengajar, yang introvert perlahan menjadi extrovert, yang jomblo mulai mendapat pasangan, yang punya pasangan tiba-tiba jomblo, yang sama-sama punya pasangan mulai berkamuflase.
Sebuah petikan bijak pernah mengatakan, “Hal yang paling kekal di dunia ini adalah perubahan itu sendiri”.
Perubahan dibagi lagi menjadi banyak jenis perubahan-berubahan. Baiklah, dalam hal ini mari kita fokus pada perubahan yang disebabkan oleh KKN, katakanlah perubahan perasaan atau yang lebih keren disebut ‘cinlok’ atau cinta lokasi. Seakan menjadi trending topic yang paling hangat diperbincangkan seputar KKN, cinlok merupakan virus mematikan bagi pasangan-pasangan labil yang terpisah lokasi akibat penempatan KKN.
Cinlok ini terjadi karena manusia haus akan kasih sayang dan mereka akan mengisi dahaga mereka dengan berbagai cara. Adanya niat dan kesempatan juga dapat menjadi momok yang akan memuluskan ajang cinta lokasi ini.
Pada suatu waktu di sebuah kesempatan ketika kami sedang kebetulan mengobrol, lawan bicara saya bertanya,“Gimana KKNnya? Udah berapa dapat gebetan?”
Saya menahan tawa. Saya juga tidak menyalahkan pertanyaan membabibuta orang itu. Saya menjawab, “Gak ada, aku udah punya pacar kok.”
Orang itu seakan tidak terima dan menambahi dengan komentar yang lebih menusuk, “Ah gak percaya, palingan kamu juga udah dapat banyak di sana.”
Sekali lagi saya menahan tawa dan saya tidak menyalahkan sama sekali pertanyaan serta komentar orang itu. Berkaca dari percakapan singkat tadi, hal pertama yang harus kita pikirkan bukan dengan cara apa kita menjawab atau mencari alasan, tapi dengan bertanya ‘mengapa’. Mengapa orang itu sampai bisa bertanya demikian?
Sesuatu akan dikenang lama apabila hal tersebut berkesan atau terjadi berulang-ulang sehingga terus terngiang dan teringat, dalam istilah Bali mecolek pamor. Entah siapa yang terdahulu memulainya, mengajarkan ketidaksetiaan dan mengisi dahaganya dengan rakus, tidak ada yang tahu.
Yang jelas tradisi cinta lokasi bukan lagi hal baru di telinga mahasiswa yang pernah merasakan KKN. Padahal jika mau menyelami lebih dalam, cinlok bisa dicegah dengan berbagai cara. Pertama, jika kita benar-benar mencermati panduan KKN yang telah disusun apik oleh pihak perguruan tinggi, tentu kita akan tahu istilah ‘mencari jodoh’ sama sekali tidak ada dalam panduan, maka ber-KKN-lah dengan sungguh-sungguh.
Kedua, jika kebetulan saat KKN kita memiliki pasangan yang lokasinya berbeda atau jauh dengan kita, maka sering-seringlah berkomunikasi, ya sekedar menanyakan ‘sudah makan atau belum?’ atau menanyakan kabar, bercerita seputar keseharian, atau bisa juga mendiskusikan sesuatu, gunanya agar fokus kita tidak goyah pada godaan ‘setan’.
Ketiga, jangan terlalu berteman dekat dengan lawan jenis, jika anda pria jangan terlalu dekat dengan wanita dan sebaliknya, karena manusia labil zaman sekarang kebanyakan ‘baper’ atau sering terbawa perasaan. Simpati sedikit dikira memberi harapan, cuek dikira sombong, dan lain sebagainya. Jadi, bersikaplah biasa-biasa saja, profesional.
Keempat, jika terlanjur ada yang menaruh perasaan kepada kita di saat kita sudah memiliki pasangan, jangan balas perasaannya. Perlakukan dia layaknya teman-teman yang lain, jangan juga terlalu cuek, juga jangan termakan hasutan teman-teman lain yang bermaksud mengompori. Jika demikian, mulailah mengeratkan hubungan dengan pasangan, saling mengasih-asihi, saling mengabari agar pikiran tidak diracuni, atau bisa juga menyibukkan diri dengan kegiatan lain karena KKN sebetulnya memiliki banyak program kerja yang harus dirampungkan dalam waktu sebualan.
Terlepas dari kontroversi seputar KKN, sudah saatnya KKN mestinya diluruskan. Entah kapan KKN akan kembali ke wujud harfiahnya, Kuliah Kerja Nyata yang benar-benar nyata. Setidaknya melalui tulisan ini kita lebih dapat merenungkan tujuan sebenarnya dari KKN yang benarnya berkepanjangan Kuliah Kerja Nyata, bukan Kliang-Klieng Nyentana seperti plesetan masyarakat Bali awam. (T)