SINTHA Pramadewi terlihat serius melihat aksara demi aksara yang tertulis di atas selembar daun lontar. Dengan terbata-bata ia berusaha membaca aksara demi aksara, yang ukurannya tak lebih dari 0,5 milimeter. Setelah hampir lima menit memelototi lontar berjudul Kakawin Dharma Sunya Kling, ia mulai putus asa. “Sulit sekali membacanya,” katanya.
Lontar Kakawin Dharma Sunya Kling, adalah satu dari 26 buah lontar koleksi Hanacaraka Society yang dipamerkan di Hatten Wines Building, Jalan Bypass Ngurah Rai No. 393 Sanur. Puluhan lontar itu akan dipamerkan setidaknya hingga Minggu (7/8) mendatang.
Puluhan lontar itu sengaja dipamerkan. Lontar yang selama ini disakralkan, ditunjukkan untuk umum. Tujuannya agar bisa dilihat, dibaca, sekaligus menghilangkan kesan angker dan sakral pada lembar-lembar daun lontar.
Sesungguhnya lontar tak ubahnya seperti buku pada masa kini. Aksara-aksara yang tertulis pada selembar daun lontar pun sesungguhnya sama seperti huruf latin seperti masa kini.
“Kalau dipadankan dengan masa kini, lontar itu sebenarnya buku. Hanya wujudnya itu daun lontar dan tulisannya aksara Bali, sansekerta, atau aksara lainnya. Lontar juga sama seperti buku, ada judul di bagian awal, kadang ada tahun pembuatan, kadang ada nama penulisnya,” jelas Pendiri Hanacaraka Society, Sugi Lanus.
Penjelasan Sugi Lanus sekaligus meruntuhkan kesan sakral dan angker pada lontar. Maklum saja, selama ini lontar tidak bisa diakses sembarang orang. Biasanya lontar baru akan ditunjukkan pada hari atau upacara tertentu, karena dianggap sebagai pusaka. Itu pun hanya ditunjukkan kemudian diupacarai. Sangat jarang lontar dibuka, apalagi dibaca.
Sebagai sebuah buku, lontar memuat hal-hal yang bernuansa pendidikan, informasi, maupun puja dan puji kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika dipadankan dengan masa kini, lontar pada jaman itu sama seperti buku dongeng, majalah, atau buku-buku doa yang dijual bebas di toko buku.
Sebut saja lontar Siwaratri Kalpa yang disalin pada tahun 2016 lalu. Lontar ini bercerita tentang seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari Lubdaka tidak menemukan seekor buruan. Ketika hari beranjak malam, ia memanjat pohon Bila kemudian memetiki daunnya. Daun-daun tersebut jatuh ke kolam yang terdapat “lingga” Dewa Siwa. Setelah Lubdaka meninggal, pasukan Dewa Yama dan Dewa Siwa berperang memperebutkan jiwa Lubdaka. Akhirnya pasukan Dewa Siwa berhasil membawa Lubdaka ke Siwaloka.
Ada pula lontar Tutur Usana Bali yang diperkirakan ditulis pada tahun 1800-an. Lontar itu berisi naskah yang mengandung legenda, mitos, dan sejarah raja-raja Bali dari periode Bali Kuno sampai terbentuknya Kerajaan Gelgel. Lontar juga menceritakan sekelumit kisah penyerangan Jawa terhadap Bali yang ditulis dalam bentuk metafora Bhatara Indra menyerang Mayadanawa.
Beberapa lontar juga terkait denganwarigaatau sistem penanggalan Bali. Lontar ilmu perbintangan itu ditulis dalam lontar berjudul Wariga, Aji Swamandala I dan Aji Swamandala II.
Lontar-lontar yang dipamerkan juga tak semuanya berkaitan dengan falsafah Hindu atau kondisi kehidupan Bali di masa lampau. Beberapa lontar berkaitan dengan falsafah agama Islam. Aksara yang ditulis pun mirip dengan aksara Bali. Para penggiat di Hanacaraka Society menyebutnya sebagai aksara jejawen.
Salah satu lontar yang terkait dengan Islam adalah Naskah Tasawuf dan Kidung Nabi Haparas. Cakepan lontar yang terdiri atas dua naskah itu mengisahkan Nabi Muhammad yang dicukur oleh Malaikat Jibril.
“Memang tidak semua lontar itu berkaitan dengan Hindu dan Bali. Pada jamannya lontar itu buku. Jadi bisa memuat soal Islam, kerajaan di Jawa, Lombok, atau tempat lain maupun ajaran lain. Aksaranya juga aksara jejawen yang secara fisik mirip dengan aksara Bali. Sedangkan bahasanya itu bahasa jawa tengahan atau bahasa sasak. Pembedanya itu ada di halaman depan. Biasanya kalau unsur islamiah, ada kata bismillah,” jelas Ida Bagus Komang Sudarma, penggiat di Hanacaaraka Society.
Dari sekian banyak lontar yang dipamerkan, lontar yang paling menarik adalah naskah pipil atau sertifikat kepemilikan tanah. Ada dua lontar pipil yang dipamerkan. Satu diantaranya tercantum angka 1791 saka atau 1869 masehi, sementara sebuah lontar lainnya tercantum angka 1801 saka atau 1879 masehi.
Pipil itu pun menunjukkan bahwa masalah kepemilikan tanah pada penghujung abad ke-19 sudah sangat maju. “Padahal negara baru punya sertifikat pada tahun 1960 dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria. Ini sebuah hal yang luar biasa,” kata senator DPD RI perwakilan Bali, Gede Pasek Suardika yang ikut hadir pada pameran tersebut.
Dari sekian banyak lontar, juga ada lontar-lontar yang berkaitan dengan upakara, mantra, dan pengobatan atauusadha Bali. Sebut saja lontar Tges Banten Pamlaspasan yang memuat sarana persembahan untuk upacara peresmian. Baik itu aturan persembahan hingga mantra yang harus dibacakan. Lontar Tetamban yang memuat pengobatan tradisional Bali ikut dipamerkan.
Sementara lontar yang memuat hal lebih serius juga ada. Seperti Tutur Wiraga yang memuat tata cara mengoalah energi di dalam tubuh manusia yang disertai dengan mantra-mantra magis. Maupun lontar Pangwalik yang menjadi acuan penolak energi yang merusak. Lontar ini juga sering disebut lontar penangkal leak. Didalamnya tertulis mantra serta sarana upakara yang harus dibuat.
Lontar-lontar seperti itu, tak banyak ditemukan di Bali, karena memang tidak sembarang orang yang boleh membacanya. Sugi Lanus mengungkapkan, lontar seperti itu tidak tabu untuk dibaca, namun rentan disalahgunakan oleh orang yang belum siap. Tak heran jika lontar seperti itu kemudian disakralkan.
“Boleh dibaca dan sah-sah saja dibaca. Pada umumnya lontar seperti usadha, tutur wiraga, atau pangwalik itu hanya dibaca oleh orang-orang pilihan atau orang yang benar-benar siap. Tujuannya biar tidak disalahgunakan,” jelasnya.
Jika toh kemudian pada masa kini masih banyak lontar-lontar yang disakralkan, dijadikan pusaka keluarga, para penggiat di Hanacaraka Society tak mempermasalahkannya. Karena lontar-lontar itu memang berusia tua dan peninggalan leluhur yang harus dijaga. Namun mereka berharap agar bisa diberi akses untuk membuka, membaca, bahkan menyalin lontar itu. Harapannya agar pengetahuan-pengetahuan di dalamnya dapat dipelajari oleh masyarakat luas.
Demikian halnya dengan lontar-lontar Bali yang disebut banyak berada di Belanda. Mereka tak terlalu mempermasalahkannya. Mengingat lontar-lontar itu disimpan dan dirawat dengan baik, bahkan dipelajari. Penggiat Hanacaraka Society berpendapat, jika masyarakat belum siap untuk menyimpan, merawat, menjaga, dan mempelajarinya, lebih baik lontar-lontar itu berada di Belanda. Jika sudah siap, barulah langkah-langkah pemulangan lontar-lontar kuno itu dilakukan. (T)