BELAJARLAH pencitraan dari kuliner khas Buleleng, terutama dari lawar getih. Karena pencitraan itu adalah pertunjukan tentang “rasa dan kesan” yang serupa antara apa yang dilihat mata dengan apa yang dicecap lidah, apa yang dihirup hidung, dan apa yang disetuh hati – bahkan hati yang paling dalam.
Kesimpulan itu saya dapatkan ketika berkunjung ke stand kuliner Buleleng Festival (Bulfest) di Jalan Veteran Singaraja, Jumat (5/8) siang.
Usai menjadi juri lomba menulis dan baca puisi di Sasana Budaya, saya bersama guru-sastrawan Tuti Dirgha dan penulis-muda Anggara Surya, masuk ke stand kuliner Mie Cel yang dikelola Semeton Paket Agung. Di stand itu ada sejumlah menu berbahan daging babi, semisal mie, rawon, sate dan tentu saja lawar getih.
Saya pesan lawar getih, rawon dan sate plecing. Ketika menu terhidang, seperti biasa saya takjub pada lawar getih. Merah dan kasar. Lamat-lamat tercium aroma darah. Saya segera melumatnya. Ketika adonan masuk mulut, terasa betapa darah bercampur dengan ludah hingga melumuri gusi dan gigi hingga meleleh ke tepi bibir. Saya bayangkan seperti itu mungkin mulut harimau saat mencincang seekor rusa tak berdaya dengan giginya. Tak ada rasa jijik di hati, karena kalah oleh rasa yang dicecap oleh lidah.
Lawar getih dengan bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai lawar darah. Lawar adalah menu masakan Bali berupa adonan daging, sayur, bumbu lengkap dan darah. Ada lawar nangka, artinya lawar yang didominasi sayur buah nangka muda yang diiris atau dicincang. Lawar klungah (batok kelapa muda) yang tentu didominasi cincangan klungah. Begitu juga dengan lawar kacang, lawar dolong, lawar sapi, lawar gerang (ikan teri), dan berpuluh-puluh jenis lawar lain.
Yang dominan dari lawar getih tentu saja darah. Bahkan tanpa sayur sama sekali. Lawar getih terdiri dari campuran ati dan jeroan. Sebelum diadon, ati dan jeroan dibakar, kemudian diiris-iris, lalu diaduk dengan basa genep (bumbu lengkap). Setelah itu adonan dilumuri dan dicampur dengan darah. Benar-benar darah segar dan harus tetap berwarna merah. Merah darah itu menyelimuti seluruh bahan lain, sehingga gurih ati dan jeroan akan terasa menyentak jika ia sudah berlompatan di muka lidah, di larut ludah, di antara gigi.
Saya pikir seperti itulah pencitraan. Pencitraan itu tindakan untuk memperkenalkan apa yang asli di diri kita, bukan upaya keras dan berlebihan untuk menyembunyikan apa yang palsu.
Lawar getih sejak awal memperlihatkan apa yang asli dari menu itu. Sehingga orang yang takut dan tak doyan darah, sejak awal tak akan menyentuh makanan itu. Lawar getih tak ingin tampil elegan yang hanya enak dilihat mata semua orang, namun menipu di lidah dan berkhianat di hati. Lawar getih hanya mengundang penyuka darah, yang tak suka pesan menu lain.
Jenis menu plecing juga menunjukkan hal seirama. Di Bali yang terkenal itu plecing kangkung. Namun di Buleleng ada banyak masakan bisa di-plecing. Selain sate plecing, ada tipat plecing. Ciri khas plecing itu lalah (pedas). Pedas bukan hanya dirasa oleh lidah, namun juga oleh mata. Meskipun plecing tetap pedas dengan cabai kecil, ia tetap diisi cincangan cabe merah besar. Cabe merah besar itu sesungguhnya tak menyumbang rasa pedas, hanya ia memberi warna merah menyala pada adonan.
Jadi, gilingan cabe merah besar itu ditugaskan sebagai iklan pencitraan sekaligus peringatan kepada mata sebelum masuk ke mulut dan dilumat lidah bahwa plecing itu benar-benar pedas. Jadi, sekali lagi, mata, lidah dan hati tak boleh saling berkhianat.
Dengan pencitraan semacam itulah masakan khas Buleleng memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk dikenal dunia luar. Buktinya, siobak singaraja, rujak buleleng, sate plecing buleleng, tipat cantok dan tipat plecing mulai menebar di Denpasar dan dicari-cari penggemar makanan, justru karena keberaniannya menjadi “asli, khas dan berbeda”.
Dalam hal kesenian pun begitu. Dialog-dialog pemain dalam seni drama gong gaya Buleleng misalnya, memang harus tetap menunjukkan bahasa asli khas Buleleng. Bahasa yang cenderung apa adanya, tanpa repot dengan sor-singgih bahasa. Karena di keseharian pun bahasa yang berseliweran dalam pergaulan antarwarga di Buleleng adalah bahasa yang biasa.
Jika ada orang Buleleng tiba-tiba ngomong halus, padahal sebelumnya ia biasa ngomong kasar dan apa adanya, justru bisa dicurigai orang itu sedang membangun pencitraan untuk menutup kepalsuan, bukan memperlihatkan keaslian. (T)