15 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Wayang Wong yang Kikuk di Panggung “Buleleng Festival”

Made Adnyana OlebyMade Adnyana Ole
February 2, 2018
inFeature

Foto: Eka

121
SHARES

ADA semacam protes di media sosial, kenapa wayang wong, sebagai kesenian klasik adiluhung yang baru saja ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda, justru dipentaskan di areal Puri Kanginan dalam acara Buleleng Festival (Bulfest), Rabu (3/8) malam. Kenapa wayang wong dari Tejakula yang tetap hidup dengan caranya sendiri sejak empat abad itu tidak dipertunjukkan di panggung utama di depan Tugu Singa Ambara Raja?

Si pemrotes bisa dipastikan adalah orang-orang yang memiliki cinta besar terhadap seni tradisi, terhadap warisan leluhur, dan kekayaan penting yang ditinggalkan peradaban. Apalagi kemudian dunia mengakui jika wayang wong memang layak disebut warisan budaya dunia.

Meski sebagai warisan budaya dunia, tampaknya banyak juga warga Buleleng atau warga Bali sendiri tak pernah menonton wayang wong. Untuk itulah, wayang wong sebaiknya dipentaskan di panggung utama. Karena panggung utama adalah pusat berkumpulnya massa pengunjung Bulfest, sekaligus juga tempat para undangan duduk manis selayaknya orang-orang penting.

“Jika dipentaskan di panggung utama, massa pengunjung dan orang-orang penting itu akan ‘terpaksa’ menonton dan ‘dipaksa’ untuk tahu bagaimana seniman wayang wong menari,” demikian kata seorang teman wartawan.

Bahkan Ketua DPRD Buleleng, Gede Supriatna, sempat juga memberi masukan kepada panitia lewat komentarnya di facebook. “Masukan buat panitia Bulfest, mestinya wayang wong Tejakula, kesenian yang diberikan penghargaan sebagai seni warisan dunia oleh UNESCO dipentaskan di panggung utama Bulfest,” tulis wakil rakyat yang berasal dari Tejakula itu.

Protes dan masukan itu benar. Namun mesti dimaklumi, panitia pasti rikuh juga memikirkan di panggung mana wayang wong itu harus ditampilkan. Mungkin sempat terbersit untuk menampilkan wayang wong di panggung utama, namun khawatir panggung utama ditinggalkan pengunjung. Karena harus diakui, wayang wong tak banyak peminat. Apalagi harus dibandingkan dengan pentas grup musik, lebih-lebih grup musik semacam Slank.

Jadi, kekhawatiran semacam itu, meskipun agak berlebihan, tentu bisa dimaklumi. Melihat dari jenis-jenis pertunjukkan yang ditampilkan di panggung utama, bisa diduga kriteria yang dipakai mengukur “seni layak tampil di panggung utama” adalah seni popular dengan massa penggemar yang melimpah, terutama penggemar anak muda. Sehingga jelaslah dengan kriteria seperti itu, pilihannya bukanlah wayang wong.

Dengan begitu pula, harus diakui seni tradisi, apalagi wayang wong, masih tetap dianggap kuno, tak populer, tak bisa menarik massa, dan hanya disukai kaum tua untuk bernostalgia. Jika pun ada anak muda yang suka, itu dianggap anak muda telat lahir, yang jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari.

Wayang wong pun menjadi kikuk di panggung megah Bulfest. Di satu sisi seni itu layak diangkat karena ke-adiluhung-annya. Dosa-lah jika seni itu tak diberi tempat. Panitia bisa dihujat para pecinta kebudayaan. Di sisi lain, seni itu tetap dipentaskan, namun dengan perasaan rikuh panitia terpaksa “menyingkirkannya” ke panggung paling luar, ke panggung terjauh dari pusat keramaian.

Mempopulerkan Wayang Wong

Tentu kita tak suka ada anggapan bahwa wayang wong bisa pentas di panggung-panggung megah hanya karena seni itu warisan nenek moyang, berusia tua, dan patut diberi “belaskasih”. Anggapan semacam itu harus punah. Untuk itu, semua pihak, baik pemerintah, pemerhati seni, dan seniman wayang wong itu sendiri, harus memiliki upaya untuk membuat wayang wong kembali populer.

Jika sudah populer dan memiliki massa penggemar, maka lengkaplah kriteria yang dimiliki kesenian itu: klasik, tua, warisan nenek moyang, warisan budaya dunia, dan juga populer serta diterima zamannya.

Salah satu upaya, wayang wong semestinya mulai terbuka pada zaman. Antara lain dengan melakukan modernisasi, seperti modifikasi, inovasi, hingga kolaborasi, tanpa menghilangkan pakem asli.

Sebagai seni pertunjukkan yang telanjur dianggap klasik, tradisional, magis dan sakral, wayang wong memang seakan-akan tak bisa dimodifikasi menjadi seni modern yang lebih cair dan menghibur. Padahal, dalam sejarah perkembangan seni pertunjukan di Bali, banyak seni tradisi yang hampir-hampir mati bisa bangkit kembali ketika dikonsep dengan menggunakan pola pikir lebih sekuler dan menggunakan peralatan modern. Salah satu contoh bisa disebut wayang kulit Cenk Blonk yang menggunakan alat pencahayaan modern, penyesuaian tempo dan pola pembabakan cerita yang lebih dinamis.

Kelompok Wayang Wong Guna Murti, Desa Tejakula, yang membawakan lakon “Gugurnya Rahwana” pada Bulfest, Rabu (3/8) malam, sesungguhnya telah berada di tengah suasana modern. Tata panggung, tata pencahayaan dan tata suara yang meskipun diatur dengan sangat sederhana namun sudah cukup memberi kesan bahwa pertunjukkan itu berada di ruang modern, bukan ruang magis apalagi sakral.

Sebagai seni klasik, para pemain wayang wong dari seniman-seniman alam di Tejakula itu sudah menunjukkan permainan yang bisa disebut sempurna. Terutama pemain yang memerankan tokoh-tokoh dari pasukan kera. Gerak yang mereka tampilkan adalah gerakan khas wayang wong yang tercipta dari konsep-konsep seniman alam masa lalu. Karakter-karakter penokohannya juga termasuk kuat justru karena pemainnya tidak mencoba untuk menonjolkan gerak tari yang berlebihan.

Namun seluruh rangkaian pertunjukkan sepertinya terpaku dalam ruang masa lalu, terkesan statis dan berat. Tanpa ada upaya untuk menarik sedikit atau beberapa bagian saja ke ruang yang lebih kontekstual. Punakawan semacam Delem, Sangut, Tualen dan Merdah, meski tetap harus mempertahankan karakter kepunakawanannya, sesungguhnya bisa dimainkan secara lebih terbuka bahkan bisa saja sesekali terlepas dari alur cerita.

Tokoh lain, seperti Anoman dan sejumlah raksasa anak buah Rahwana juga bisa diberi peran lebih bebas untuk mengangkat nuansa pertunjukkan ke wilayah yang lebih akrab dengan penonton.

Upaya itu memang tidak mudah di tengah masalah klasik sulitnya menumbuhkan tunas generasi seniman wayang wong di Tejakula. Tokoh-tokoh punakawan dan tokoh yang sekiranya bisa “dimainkan”, sepertinya sudah harus diserahkan ke pemeran anak muda. Agar improvisasinya bisa segar dan ikut zaman. Merdah, misalnya, bisa ditarikan anak muda energik dan penuh daya improvisasi sehingga lengkingan suaranya dan celetukannya bisa sangat menggigit. Dan tentu saja bikin suasana menjadi lebih segar.

Oh ya, sebenarnya Wayang Wong Tejakula sudah pernah digarap oleh seniman hebat Sardono W Kusumo dan dibawa pentas ke luar negeri bersama pelukis sekaligus tokoh Tejakula, Nyoman Tusan (almarhum). Jadi, ketika dipentaskan di luar negeri, wayang wong itu sudah diberi sentuhan baru dengan hasil yang lebih dinamis. Sehingga bukan hal tak mungkin, kreasi semacam itu dicoba lagi, untuk membuat wayang wong lebih bisa dinikmati berbagai kalangan.

“Membius” Generasi Muda

Persoalan klasik seni klasik adalah sulitnya “membius” generasi untuk melanjutkan kesenian yang diwariskan leluhurnya. Dan itu pun tampaknya disadari sepenuhnya oleh kelompok Wayang Wong di Desa Tejakula. Upaya untuk menarik generasi muda tampaknya sudah dilakukan.

Saat pementasan di Bulfest, sejumlah generasi baru sudah memperlihatkan kelihaiannya menari. Bahkan terdapat penabuh anak-anak di antara tempat duduk tukang gamelan. Kenyataan itu tentu menerbitkan harapan besar, wayang wong bisa terus ada. Namun untuk membut populer, harus ada juga upaya-upaya ikutan.

Upaya ikutan itu, salah satunya, membuat wayang wong menjadi lebih modern agar sesuai dengan jiwa anak-anak zaman sekarang. Karena persoalannya selama ini generasi seakan takut untuk belajar menari wayang wong. Mereka mungkin bisa dengan mudah belajar menari, namun tak mudah untuk belajar sastra dan bahasa Kawi.

Pasalnya, dialog dalam wayang wong Tejakula semuanya disuarakan secara langsung oleh pemainnya tanpa menggunakan dalang. Dalang hanya bernyanyi saat mengantar cerita di bagian awal atau sesekali mengeluarkan sesendon di tengah cerita. Artinya, dengan begitu, setidaknya setiap pemain wayang wong menguasai ilmu mendalang. Dan, itulah yang membuat wayang wong menjadi seni pertunjukkan yang agung, komplit, dan lengkap, apalagi bisa dimainkan dengan sempurna.

Tapi, tanpa regenerasi, keagungan wayang wong tentu saja tak bisa dipertahankan. Cara mempertahankan adalah membuat generasi tertarik untuk main wayang wong. Untuk membuat generasi tertarik tentu wayang wong lebih bisa dicairkan agar bisa masuk ke dunia generasi muda yang berada pada wilayah modern.

Sastra adalah satu kekuatan dalam wayang wong, juga sebagian besar seni klasik lain. Tapi, jika generasi sulit belajar sastra, maka sastra bisa saja diturunkan kadarnya dalam pengadegan tokoh-tokoh tertentu. Misalnya sastra tak harus dilapallan dalam Bahasa Kawi tapi bisa dicairkan ke dalam bahasa percakapan sehari-hari.

Percayalah, bahasa yang biasa-biasa saja jika bahasa itu diberi rasa dan nyawa, bahasa biasa itu juga bisa memancarkan sihir pada penonton. Bukankah pada awalnya Bahasa Kawi juga bahasa biasa?

Jika wayang wong ditampilkan lebih cair dan lebih sekuler, tentu saja ia masih bisa dianggap wayang wong. Soal apakah ia masih bisa dianggap sebagai seni klasik dan sakral, itu bisa dipertanyakan kemudian.

Di Tejakula, warga pendukung wayang wong sebenarnya sejak dulu sudah punya upaya sadar dalam membedakan ruang sakral dan bukan sakral. Ini dibuktikan dengan dibuatkannya topeng duplikat dari wayang wong yang disungsung di pura desa. Topeng wayang duplikat inilah yang dimainkan di ruang-ruang yang lebih sukuler.

Bahkan dalam pementasan di tempat-tempat tertentu, kelompok ini biasa memotong sejumlah adegan dan mengurangi jumlah pemain karena masalah waktu. Artinya, sejak awal sudah diciptakan ruang untuk bermain dan ruang untuk khusyuk. Maka, dalam ruang bermainlah segala imajinasi, kreasi, improvisasi, bila perlu revolusi, bisa dimainkan. (T)

Tags: bulelengbuleleng festivalwayang wong
Previous Post

Liga Camplung Sepak Bola Kampung: Taktik dan Mistik

Next Post

“Jesus Bless You” – Tentang Saya dan Agama

Made Adnyana Ole

Made Adnyana Ole

Suka menonton, suka menulis, suka ngobrol. Tinggal di Singaraja

Next Post

“Jesus Bless You” – Tentang Saya dan Agama

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

by Hartanto
May 15, 2025
0
‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

SELANJUTNYA, adalah lukisan “Dunia Ikan”karya Made Gunawan, dengan penggayaan ekspresionisme figurative menarik untuk dinikmati. Ia, menggabungkan teknik seni rupa tradisi...

Read more

Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

by Gede Maha Putra
May 15, 2025
0
Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

SIANG terik, sembari menunggu anak yang sedang latihan menari tradisional untuk pentas sekolahnya, saya mampir di Graha Yowana Suci. Ini...

Read more

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co