ISU kesetaraan gender masih menjadi topik relevan yang dibahas melalui media verbal maupun non verbal. Tak terkecuali melalui medium seni rupa. Topik soal gender yang seolah ingin menyatakan bahwa wanita layak mendapatkan tempat yang sama dengan pria, bahkan cenderung bisa mengalahkan pria, juga menjadi isu menarik yang ditangkap oleh para perupa.
Isu-isu itu tertangkap secara gamblang dalam pameran bertajuk “Merayakan Murni”, yang diselenggarakan di Sudakara Art Space, Jalan Sudamala, Sanur. Pameran yang didedikasikan untuk mengenang sosok perupa asal Bali Barat, I Gusti Ayu Kadek Murniasih atau yang lebih dikenal dengan nama Murni itu, melibatkan 15 orang perupa dari enam negara. Rencananya pameran akan berlangsung hingga 18 September mendatang.
Dalam pameran itu, perupa dari Indonesia, berkesempatan menampilkan karya-karya mereka berdampingan dengan para perupa residensi yang diajak terlibat dalam pameran. Perupa tanah air yang terlibat yakni Citra Sasmita, Dewa Putu Mokoh, Mella Jaarsma, Natasha Lubis, Ngakan Putu Agus Arta Wijaya, Oototol, Punia Atmaja, serta Made Bayak yang berkolaborasi dengan Kartika Dewi dan Damar Langit Timur.
Sementara perupa luar negeri yang terlibat yakni Edmondo Zanolini asal Italia, Imhathai Suwatthanasilp dari Thailand, Marieke Warmelink yang datang dari Belanda, serta Wawi Navarroza dari Filipina. Selain itu ada tiga perupa residen asal Singapura yang ikut terlibat, yakni Mintio, Ila, dan Wholesome Nila.
Pada pameran “Merayakan Murni”, karya-karya yang dihadirkan tak hanya berwujud lukisan. Ada pula seni kriya, seni instalasi, hingga komunikasi visual yang dihadirkan lewat media audio visual alias video. Para perupa juga banyak mengeksplorasi bahkan cenderung mengeksploitasi wanita, dalam karya-karya yang dipamerkan.
Perupa tanah air, Mella Jaarsma misalnya. Ia menghadirkan sebuah seni instalasi yang diberi judul “Pure Passion – After Murni” (variable dimension, mixed media, 2016). Mella menghadirkan sebuah pakaian, yang mana pada bagian payudara – tepat pada bagian puting – digigit buaya. Pada malam pembukaan yang berlangsung pada Sabtu (16/7/2016) lalu, pakaian itu benar-benar dikenakan seorang model perempuan.
Citra Sasmita, perupa muda yang juga alumni Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja itu juga membuat sebuah instalasi. Ia membuat seratus buah potongan vagina berwarna putih yang terbuat dari kelamik. Vagina-vagina itu kemudian diletakkan pada sebuah mangkok yang kemudian ditimbang. Karya itu diberi judul “Mea Vulva, Maxima Vulva” (180x100x100 cm, mixed media, 2016).
Sementara Natasha Lubis mencoba tampil lebih sederhana dengan memadukan unsur lukisan dengan foto. Natasha menggambarkan sosok wanita Bali era lampau yang mengenakan giwang cerorot dan bertelanjang dada. Sementara di sekitarnya muncul pusaran abstrak berbagai warna. Karya itu diberi judul “Paradisal Blues #1” (150×130 cm, media campuran cat akrilik dengan cetak digital pada kanvas, 2016).
Natasha yang sebenarnya berasal dari Jakarta itu, mencoba memaknai Murni sebagai seorang perempuan Bali, yang terjebak dalam pusaran modernisme dan urbanisasi. Melalui sosok Murni, ia melihat bagaimana sebuah konflik yang aneh, namun nyata adanya. Bali yang dianggap sebagai pulau surga, ternyata menyimpan banyak masalah dan konflik terpendam yang harus diurai satu persatu.
“Yang saya bawa ke topik Murni ini, bagaimana posisi perempuan Bali, dikaitan dengan kondisi Bali masa kini. Melalui karya yang saya pamerkan, saya ingin menyampaikan bagaimana gambaran posisi perempuan Bali di tengah modernisasi. Beberapa hal yang menarik tentang Bali saya jadikan dalam satu kolase, dimana perempuan Bali sebagai titik sentral. Gambaran lainnya, hanya sebagai simbol kesibukan dunia modern,” jelasnya.
Kurator Pameran, Savitri Sastrawan mengungkapkan, dalam pameran itu perupa-perupa yang ikut merespon sosok Murni seolah melakukan perbincangan tentang sosok Murni, melalui media karya masing-masing. Karya-karya milik Murni yang dihadirkan dalam pameran pun mendapat respon positif dari publik. Padahal sepuluh tahun silam, karya-karya Murni yang banyak mengeksplorasi masalah seksualitas wanita dan pria, serta isu-isu kesetaraan gender, dianggap sebagai hal yang tabu.
“Kami tentu ingin sosok Murni tidak lagi dilupakan, dan perbincangan tentang Murni tidak hanya berhenti setelah pameran ini. Pameran ini menggambarkan bagaimana isu seksualitas, terapi seni, kesetaraan gender, itu memang perlu dibahas. Karya-karya seperti karya Murni, dulu pada masanya mungkin dibilang tabu. Tapi sekarang, setelah sepuluh tahun dia meninggal, responnya baik-baik saja,” kata Savitri.
Salah seorang penikmat seni, Putu Lilik Surya mengaku mampu dengan mudah menangkap pesan yang ingin disampaikan dalam pameran itu. Terutama dalam karya-karya milik Murni, yang memang sengaja dipamerkan di sisi barat galeri.
“Wanita itu tidak selalu di bawah. Wanita juga bisa berkuasa jika dia ingin. Wanita tidak boleh selalu tertindas. Mungkin lukisannya Murni itu simbol kekuatan ketika wanita itu bisa bangkit kembali, dan dapat mengalahkan kehebatan seorang pria,” ujar Lilik.
Pameran “Merayakan Murni” diselenggarakan sejak 16 Juli 2016 lalu hingga 18 September 2016 mendatang. Pameran tak hanya melibatkan perupa yang merespon tema pameran, namun juga menghadirkan karya-karya lukisan milik Murni hingga dua buah boneka yang kemudian dimaknai sebagai karya seni instalasi milik Murni.
Sejumlah arsip milik Murni juga dipamerkan. Seperti buku catatan karya-karyanya, kliping di media, poster sertaflyerpameran, foto-foto ketika masih aktif melukis, serta video-video tentang Murni. Semua arsip itu ditemukan di rumah BTN milik murni yang ada di wilayah Gianyar.
Untuk diketahui, I Gusti Ayu Kadek Murniasih yang lebih akrab disapa Murni, lahir di sebuah tempat di Bali Barat pada 1966 silam. Tak diketahui secara pasti di mana Murni lahir. Ada yang menyebutkan Murni lahir di Tabanan, banyak pula yang meyakini Murni lahir di Jembrana.
Dia lahir di keluarga yang berantakan. Pada pertengahan 1980-an ia memutuskan berpisah dengan suaminya, karena tidak bisa memberikan keturunan. Belakangan dia menikah dengan laki-laki asal Italia yang bernama Mondo.
Murni mulai berkarya sejak awal 1990-an, setelah belajar pada Dewa Putu Mokoh. Ia melukis karya-karya dengan gaya surealis, menggunakan teknik Pengosekan. Karya-karya Murni banyak menyoroti masalah seksualitas. Pada era tersebut karya Murni dianggap kotor. Tabu untuk dipamerkan. Padahal karya-karya itu menjadi sebuah terapi dari kehidupan Murni yang kelam.
Murni kemudian meninggal pada tahun 2006 karena kanker rahim. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi kalangan perupa wanita di Indonesia, utamanya di Jogjakarta dan Jakarta. Murni menjadi simbol kekuatan dan perlawanan perupa wanita, dalam isu kesetaraan gender dan seksualitas. (T)