Judul Buku: Istana Para Kuli # Penulis: Yahya Umar # Penerbit: Salsabila – Pustaka Al-Kautsar Grup # Tebal: 229 halaman # ISBN: 978-602-1695-36-4
MADURA memiliki bentangan tanah tandus. Kondisi tanah kurang kandungan air. Akibatnya sedikit sekali tumbuh tanaman yang bisa diandalkan untuk menopang hidup. Kondisi itu ternyata tidak menyulutkan semangat orang-orang Madura untuk lebih giat berupaya dalam menantang hidup demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Salah satu upaya, masyarakat Madura merantau ke luar pulau sekalipun hanya sebagai kuli. Bahkan menjadi kuli (Tenaga Kerja Indonesia – TKI) ke luar negeri. Tujuannya tentu saja mengubah hidup menjadi lebih baik.
Perspektif sederhana itu sangat kuat melatarbelakangi secara psikologi sosial kisah dalam novel “Istana Para Kuli” karya Yahya Umar. Sekalipun pada realita cerita tentang para kuli yang diangkatnya, Yahya Umar menjelma menjadi tokoh “aku” yang berada pada sisi yang lain – sisi yang menolak arus cita-cita jadi kuli. Satu sisi yang mungkin bisa menjadi sebaliknya, bahwa arus itu perlahan-lahan ikut menggoda pemikirannya.
Yahya Umar dengan segala tuturan kisahnya yang mengalir jernih, sejatinya adalah ungkapan riwayat lika-liku perjuangan hidupnya di bawah tekanan gelombang arus warga Desa Muara, yang kala itu diliputi antusiasme untuk pindah profesi sebagai kuli (TKI) di Malaysia.
Awal cerita, gelora tuntutan kuli itu dipelopori tokoh bernama Kak Ene. Ya, Kak Ene adalah kakak sepupu Yahya Umar sendiri. Demi mengubah hidup, terpaksa minta restu orang tua dan Kiai untuk pergi merantau. Dan akhirnya itikad itu mendapat restu. Selama beberapa tahun di perantauan, alhasil buah kesuksesan itu dicapainya dengan bukti ia mampu mengirimkan uang kepada keluarga di kampung dan sukses membangun sebuah rumah besar.
Orang-orang menyebut rumah itu sebagai istana. Karena sebelumnya tak ada rumah semegah itu di Desa Muara. Yang ada hanya rumah sederhana dengan alas tanah berdinding bambu.
Hebohlah Desa Muara. Sukses Kak Ene mendapat reaksi besar dari warga setempat, utamanya kaum laki-laki. Mereka perlahan-lahan terpikat hati ingin mengekori jejak langkah Kak Ene ke Malaysia. Dan orang pertama yang berangkat menyusul Kak Ene ke Malaysia adalah Mattasan. Mattasan terpaksa menjual perahunya demi menyanggupi biaya modal jadi TKI.
Disusul Mattasid yang harus rela kehilangan beberapa petak sawahnya. Sedangkan Holil, orangtuanya yang begitu terbuai dengan kesuksesan Kak Ene, suka cita menjual hewan-hewan piaraan, seperti kambing dan ayam.
Cara-cara sistem jual harta benda bisa dibilang lazim orang Madura lakukan demi sebuah misi kepentingan berkorban apa saja agar anak-anaknya sukses dan tidak malu di mata orang lain. Kredo sikap semacam itu dikenal dengan falsafah ango’an poteya tolang atembang poteya mata (lebih baik mati dari pada harus menanggung perasaan malu). Atau disiplin bekerja keras itu terpatri dalam semboyan yang lain seperti abhantal omba’ asapo’ angen (berbantal ombak, berselimut angin).
Naluri pandangan hidup merantau jadi kuli TKI di Malaysia lambat laun seperti menjadi tradisi dan cita-cita baru warga Desa Muara. Apalagi ketegasan sikap orangtua mendukung anaknya dan berupaya keras membiayai anaknya jadi kuli di Malaysia kuat dipengaruhi dari tokoh Marzuki. Tokoh itu notabene tidak pernah sekolah, tapi bisa sukses dalam hidup dengan jadi TKI. Kecenderungan semacam itu mengubah pola pikir warga bahwa orientasi mengejar pendidikan tidak menjamin seseorang akan sukses.
Di sisi lain, peran tokoh “Aku” dalam kisahan pengalaman hidupnya di buku ini seakan mengalami situasi perlakuan yang berbeda yang ia temukan dalam hidup. Ia berusaha keras menolak secara batin untuk tidak bercita-cita jadi kuli, perjuangan hidupnya di jalur pendidikan tak mendapat dukungan dari warga yang kala itu semakin gencar terobsesi menjadi TKI.
Dukungan bersekolah hanya datang dari ibunya sendiri yang tegas mengatakan: “Kamu harus terus sekolah, Nak. Hanya dengan sekolah kamu bisa menjadi orang”, “Sekolahlah kamu setinggi-tingginya. Hanya dengan sekolah orang akan menghormatimu.” (Hal:56)
Sebaliknya yang terjadi kemudian, fenomena warga jadi TKI berdampak pada situasi tak terpikirkan sebelumnya di Desa Muara. Situasi itu bahkan menghantui kehidupan sosial di desa itu. Seperti hilangnya separuh kaum laki-laki karena semuanya ke Malaysia. Dunia modernitas kian disambut warga sebagai gaya hidup yang baru. Aktivitas yang berbau religius perlahan-lahan ditinggal pelakunya, tak terkecuali seorang tokoh santri bernama Hasan yang menjadi tumpuan harapan pengganti Kiai. Hasan pada akhirnya “kalah” dan turut serta terbang jadi TKI ke Malaysia.
Selanjutnya, situasi tak menggembirakan pun mulai berdatangan. Citra tentang kebahagiaan mulai dinodai kabar-kabar buruk yang menyedihkan. Misalnya sejumlah di antara warga mendapatkan musibah ketika bekerja. Rustam, Juri, dan Sukri, adalah beberapa nama yang meninggal secara menyedihkan saat bekerja di Malaysia.
Pada akhirnya, lambat laun kejadian demi kejadian memilukan itu sering didengar warga. Dari sisi kehidupan para kuli itu sendiri, juga banyak yang sadar. Kesadaran pemikiran mereka mulai tumbuh bahwa menjadi kuli di Malaysia tak selalu enak. Bahkan Kak Ene sendiri yang semula mempelopori obsesi jadi TKI, menyarankan anak-anaknya untuk tidak mengikuti jejak hidupnya jadi kuli. “Aku ingin anak-anakku yang terakhir bisa sekolah yang tinggi, setinggi-tingginya. Biar bisa seperti kamu. Biar bisa jadi “orang”. “ (hal:209)
Pada intinya, alur kisah yang dialirkan Yahya Umar memberi perenungan atas arus dua sisi yang sebetulnya sama-sama punya kepentingan sendiri-sendiri. Antara sikap Yahya Umar dan obsesi warga Desa Muara sendiri yang mayoritas jadi TKI.
Dan kehadiran sosok Mas Nur di penutup cerita, seakan menjadi jawaban penentu sekaligus pemberi kebijakan. Bahwa pada situasi tertentu, manusia butuh kepekaan tentang tolak ukur harga diri dalam memposisikan diri terhadap pilihan hidup dan pekerjaan yang dicintainya.
Novel ini memang layak dibaca dan dimiliki. Selain menampilkan semacam “sejarah” TKI di sebuah desa di Madura, ia bisa memberi pelajaran kepada desa-desa lain, tentang bagaimana memandang pekerjaan, pendidikan, dan sukses atau nasib buruk yang diperoleh kemudian. (T)