SALAH satu cara mengatasi kerumitan pilihan hidup dalam dunia, — yang mana orang-orangnya kian jauh dari kesempatan untuk berbeda adalah mengikuti ke mana arah pemikiran pergi, maka ke sana kita akan lari. Betapapun sebagai manusia kita mesti bahagia atau tidak bahagia itu adalah urusan kita sendiri dengan cara sendiri dan memperketat diri agar terhindar dari kesalahan-kesalahan sekecil apapun.
Begitulah kira-kira yang saya dapatkan dari sekian banyak pemikiran lelaki pemalas, si tukang bangun siang Rene Descartes. Lelaki itu resmi diutus Tuhan ke Bumi pada tanggal 31 Maret di sebuah kota kecil di Ia Haye, sekitar 30 mil dari Tours.
Dalam hidupnya, Descartes tak pernah menjalani pekerjaan yang berguna. Ia hidup semaunya. Tidak ada yang namanya kesuksesan — ataupun kegagalan publik. Selama menjalani vagabond life, Descartes tak pernah mampu ditebak. Keputusan si tukang bangun siang ini akhirnya masuk angkatan bersenjata Prince of Orange.
Dan dengan kebiasaannya yang meragukan segala hal, Descartes akhirnya tidak betah di sana. Ia pikir militer itu banyak menganggur dan boros. Kalau saja ada pasukan yang menyerang dini hari, maka yang ia dapati hanyalah orang-orang sempoyongan dan si tukang bangun siang, tentu saja akan meminta agar serangan dihentikan karena dia sangat mengantuk.
Setelah tiga belas tahun kematiannya ia dihadiahi sebagai penerima anugerah penulis buku yang masuk dalam indeks terlarang. Tulisan-tulisannya itu dianggap memicu Atheisme. Saya pikir bukan begitu adanya. Descartes memang meyakini pada apa yang hanya dapat dibuktikan dengan pernyataan yang ditulisnya dalam Discourse on Method yang kira-kira berbunyi” tidak menerima apapun sebagai kebenaran kalau tidak jelas-jelas mengetahuinya sebagai kebenaran”, namun toh ia juga dengan teguh mengimani Tuhan yang dimiliki Gereja.
Saya pikir, Descartes mengimani kebenaran seperti sekarang ini, bahwasannya kebenaran kadangkala hanya sebuah produk yang lahir dari kekuatan dan kekuasaan di balik kebenaran itu sendiri. Hal itulah yang, barangkali ia imani sebagaimana yang ia yakini kemudian yang dituliskannya dalam Meditations.
Untuk menjauhkan dirinya pada suatu kebenaran, ia memandang bahwa dunia hanya ada dua; pemikiran dan benda. Pikiran tidak bisa dibagi-bagi, sedangkan benda adalah apa yang dapat dibagi dan dipecah, serta mematuhi hukum-hukum fisika. Betapa kemudian segalanya itu akhirnya dapat kita benarkan dengan menyatukan Descartes dan Francisco Sanches yang memberi penjelasan lewat Quod Nihil Scitur, mengapa tak ada sesuatu apapun yang dapat diketahui. Jika kau meragukan segala sesuatu, cari taulah kemudian, maka kau tak akan menemukan jawaban apapun selain pikiranmu sendiri.
Maka setelah mengetahui Descartes, saya seperti sedang berada di musim hujan kabut es sambil mengidap pneumonia. Descartes seperti menarik ulur pikiran. Ia mengajarkan untuk meragukan segalanya dan kemudian mencari pembuktian. Dengan begitulah, maka kita hidup seperti pernyataan populernya, Cogito ergo sum — aku berpikir, maka aku ada.
Si tukang bangun siang itu akhirnya harus mengembalikan nyawa pinjamannya kepada Tuhan pada usia 53 tahun di Stockholm, Swedia, 11 Februari 1650. Pada masa revolusi, jenazah Descartes kemudian digali kembali dan ingin dikebumikan di Pantheon, berdampingan dengan pemikir-pemikir besar Perancis lainnya. Namun bagi para kaum peragu, hal itu tentu perlu dipertanyakan kembali dan akhirnya diseret ke Majelis Nasional. Sidang yang tidak lazim menghadapkan Cartesian yang memuja Theory of Vortices dengan Newtonian yang mengdepankan Gravitasi.
Dan dalam sidang itu, gravitasi lebih memiliki simpati ketimbang Theory of Vortices yang mengatakan bahwa setiap gerakan partikel di bumi mengakibatkan suatu gerakan pada partikel lain. Maka dengan demikian pemikiran Descartes harus dikuburkan bersama jenazahnya di Gereja St Germain des Prês, tempat di mana orang-orang meragukan segala sesuatu dan bangun siang masih dipertahankan.
Membaca peristiwa itu, rasa-rasanya Descartes adalah orang yang benar-benar tidak berguna. Ia bukanlah pemikir besar. Ia hanya lelaki yang gemar bermalas-malasan. Segala yang ia dapat-temukan telah diruntuhkan oleh kekuatan yang tak terketuk hatinya oleh kebenaran lain di luar kebenaran pikirannya sendiri. (T)