Judul: Magening # Pengarang: Wayan Jengki Sunarta# Penerbit: Kakilangit Kencana# Tahun: April 2015# Tebal: vi, 164 halaman # ISBN: 978-602-8556-53-8 899.221 3
NOVEL Magening. Buku kedelapan karya Wayan ‘Jengki’ Sunarta setebal 164 halaman ini sangat kental nuansa etnografi. Gambaran ‘tradisional’ tentang Bali banyak diulas mulai dari keindahan panorama alam, ruang batiniah orang Bali terhadap magi, kerja yang sesuai dengan ritme alam, gadis Bali, serta tuak dan arak. Cerita dalam novel ini juga diwarnai kisah percintaan yang “genit” dan “melankolis”
Sang penulis menghadirkan tokoh-tokoh yang bervariasi untuk menyuguhkan sebuah alur cerita yang menarik. Jengki berupaya membawa pembaca tidak melulu terjebak dalam romantisme eksotik kebudayaan Bali yang berorientasi “pusat” (adiluhung). Tetapi juga menelusuri wilayah “pinggir” dari pusat kebudayaan, seperti masalah kemiskinan, ketidakadilan, habitus kekerasan, dan berbagai hal opresif yang ada dalam ruang keakraban orang Bali sehari-hari.
Jengki menyajikan gambaran antropologis mengenai kekhasan ideologi perlawanan, siasat, dan taktik orang Bali dalam menyikapi persoalan “pinggir”. Contohnya, tentang diskusi anak-anak muda bersama para orang tua di warung tuak Pak Gumbreg sambil membicarakan kelicikan sang Kadus, Pak Manik.
Ia membawa pembaca menelusuri bentuk-bentuk kecerdasan kolektif yang membentuk gerakan perlawanan untuk menghadapi sistem kekuasaan yang menindas. Di dalam cerita novel ini, pemilihan kepala dusun untuk periode selanjutnya dimanfaatkan sebagai celah perlawanan untuk menghentikan rezim kekuasaan Pak Manik.
Kacret, salah satu tokoh dalam novel ini dicalonkan oleh kawan-kawannya sebagai generasi muda untuk memimpin Magening. Suguhan cerita yang disajikan Jengki pada bagian ini menggambarkan sebuah bentuk “perlawanan mengunyah tanpa menelan” yang dikemas melalui diskusi di warung tuak.
Di sana sang penulis membubuhkan makna, dibalik “ketundukan” (mengunyah) terhadap sebuah kekuasaan, sesungguhnya dalam kesempatan kumpul bersama lahir gagasan-gagasan untuk mendobrak dominasi. Ketika sang penguasa lengah, lalu dimuntahkan (memberontak).
Jengki menyajikan sisi lain praktik-praktik rumusan manusia Bali yang lekat dengan kesan “ketertundukan” dan “kepolosan”. Ternyata, bukan suatu yang mulus berjalan sepi-sepi saja tanpa ada gugatan
Pada bagian ini seharusnya Jengki bisa mengeksplorasi lebih jauh, karena segmen novel ini sangat cocok untuk dibaca kalangan remaja. Kehadiran novel Magening menginspirasi semangat perjuangan (rebel) generasi muda di Bali.
Magi
Lewat novel ini Jengki sekaligus memberi gambaran kepercayaan orang Bali tentang magi yang bisa mengambil peran dalam strategi untuk melanggengkan kekuasaan, seperti yang diceritakan di halaman 153.
“Pak Manik bisa melakukan apa saja untuk menyingkirkan orang-orang yang tak disukainya, termasuk mengupah penekun ilmu hitam untuk mencelakainya.”
Jengki memanifestasikan dirinya sebagai Putu Mudra untuk menyampaikan sebuah bentuk pengelolaan politik kekuasaan yang bukan saja memerlukan hard power, seperti preman atau tukang pukul bayaran. Tetapi secara semotik, ia menjelaskan ruang batiniah orang Bali yang bisa dimanfaatkan sebagai celah masuknya kekuasaan yang mengobrak-abrik nyali untuk melegitimasi sang penguasa. Ini menarik, Jengki memberikan perenungan terhadap tantangan yang dihadapi orang Bali dalam memaknai ruang batiniahnya.
Ruang batiniah orang Bali terhadap hal-hal magi hampir tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Boleh dibilang terintegrasi dalam semua kegiatan hidup yang sifatnya praksis mencakup urusan agama, adat, tradisi, kesenian, bahkan politik. Tapi umumnya dilibas oleh cara berfikir modern yang materialistik. Misalnya, mengupah penekun ilmu hitam untuk memuaskan hasrat berkuasa seperti petikan cerita tadi. (T)