Cerpen: Putri Handayani
“Gabriela, pohon beringin itu menari. Aku mengerjapkan kedua mataku. Pohon itu tetap menari. Kembali kukerjapkan kedua mataku sambil lalu mengusap-usapnya. Pohon itu lumayan tinggi tapi tidak setinggi pohon kelapa. Terletak di jantung kota. Daunnya rimbun serimbun gugusan awan, akarnya panjang menggelayut seperti ekor kuda. Pohon beringin ini kini menatapku. Matanya mendelik dengan mulut yang terkatup-katup seperti merapal mantra. Akar-akar gantungnya – yang menggelayut seperti ekor kuda – ia kibaskan kesana-kemari seperti seorang penari yang tengah mengibaskan sampurnya. Aku semakin keheranan. Pasti ada yang salah.
Bagaimana mungkin sebuah pohon bisa menari? Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Orang-orang lalu lalang, ada yang berjalan kaki, ada yang mengendarai sepeda motor, menyetir mobil. Mereka terlihat biasa-biasa saja, berlalu begitu saja di sekitar pohon beringin itu. Mereka tidak terkejut melihat pohon itu menari. Atau mereka pura-pura tidak melihatnya? Atau hanya aku yang melihatnya? Jawab aku, Gabriela.”
***
SUDAH 17 tahun aku hidup dengan mata aneh ini. Aku sadar ketika usiaku baru menginjak 3 tahun. Mata aneh yang tidak dimiliki sembarang orang. Mata aneh yang sempat membuatku bercita-cita menjadi orang buta karena aku tidak sanggup menyaksikan berbagai hal aneh berseliweran di sekelilingku. Pernah suatu kali mataku diusik oleh pemandangan-pemandangan aneh lainnya, seperti kepala orang-orang yang tiba-tiba berubah menjadi kepala binatang serupa ular dan babi.
Belakangan ternyata aku baru mengerti bahwa binatang-binatang itu adalah cerminan dari sifat-sifat mereka, misalnya babi mewakili sifat rakus, dan ular mewakili sifat culas. Aku jadi senyum-senyum geli ketika orang-orang berkepala binatang itu berpapasan atau malah sempat mengobrol denganku. Aku tersenyum karena aku sudah bisa melihat bagaimana sifat mereka dengan jelas tapi mereka tidak menyadarinya. Tapi, kebanyakan temanku menganggap aku aneh karena sering ketakutan sendiri, berbicara sendiri, bahkan tertawa sendiri. Mereka tidak mengerti karena mereka tidak melihat apa yang aku lihat.
Satu-satunya orang yang paling mengerti diriku adalah ayahku karena ayah juga sejak kecil telah dianugerahi mata aneh sepertiku, ya sebut saja mata aneh. Sadar bahwa aku juga sama sepertinya, maka ayahku mulai mengasah kepekaanku. Kini aku mulai bisa melihat warna-warna berpendar dari sekujur tubuh manusia, selain kepala binatang pada manusia yang memiliki sifat-sifat yang mencolok. Warna-warna ini adalah berbagai aura yang ada pada manusia, juga menggambarkan situasi perasaan mereka. Merah. Putih. Hitam. Hijau. Kuning. Ungu. Aku seperti melihat pelangi berjalan. Terkadang juga mereka berubah-ubah.
Suatu ketika di sebuah jalan aku melihat seorang gadis yang tengah menangis entah karena apa. Di atas kepalanya seperti ada mendung yang pekat. Hitam legam. Ia pasti sangat bersedih. Lalu, di seberang ada anak kecil yang kegirangan setelah dibelikan balon oleh ibunya. Seketika warna kuning memancar di sekujur tubuhnya. Aku paling suka dengan pemandangan ini, terlepas dari kesedihan yang dirasakan oleh gadis di trotoar tadi.
“Ayah. Selamat ya!” kataku dengan senyum mengembang.
“Selamat untuk apa?” jawab ayah.
“Ayah memiliki umur panjang.”
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Entahlah. Aku hanya melihatnya.”
Aku mengedarkan pandanganku ke sebuah sudut. Sesuatu seperti sedang memperhatikanku diam-diam. Di sana, di balik pintu. Tapi aku berusaha untuk tenang dan tidak menghiraukannya.
“Masak ayah sendiri tidak tahu?” tanyaku menyambung obrolan tadi.
“Iya, ayah tidak tahu. Sebenarnya sudah lama ayah menutupnya karena
ayah tidak bisa mengendalikannya.”
“Apa? Lalu bagaimana dengan aku?”
“Ayah juga tidak mengerti. Kita sudah pernah mencobanya beberapa kali, bukan?”
Hening.
***
WAKTU demi waktu berlalu. Usiaku sudah menginjak 25 tahun. Segala keanehan dalam diriku sudah mulai aku terima dengan ikhlas. Aku sudah mulai terbiasa bersahabat dengan mataku yang aneh. Tidak hanya pohon-pohon yang tiba-tiba menari, manusia berkepala binatang, serta pelangi-pelangi yang berjalan, kini aku mulai bisa melihat masa lalu dan masa depan orang-orang yang secara sengaja atau tidak sengaja berinteraksi denganku. Segalanya seperti mikro film yang terputar sendiri.
Pernah sesekali aku bercakap dengan seorang teman wanita. Ia sangat cantik. Kulitnya kuning langsat, matanya bening seperti embun yang bercokol di dedaunan, bibirnya merah seperti jalinan kelopak bunga mawar, rambutnya panjang terurai sampai ke pinggang. Tuturkatanya sangat lembut. Ia sangat taat beragama. Mikro film itu tiba-tiba terputar sendiri, menceritakan masa lalu gadis itu. Di kehidupan yang dulu ia juga seorang gadis yang baik budi namun tidak secantik sekarang. Ia terlahir kembali karena ada hutang yang harus ia bayar, entah hutang apa itu.
Samar-samar bayangan itu mulai meredup. Gadis ini masa depannya akan cerah. Hutang itu akan lunas di kehidupan terakhir ini, lalu ia tidak akan lahir lagi. Benar-benar kisah yang indah. Sedangkan, aku benci mengetahui kisahku sendiri. Ada satu yang tidak pernah berubah semenjak percakapanku dengan ayah sore itu di ruang tamu. Sesuatu yang selalu mengamatiku dari jauh. Aku tahu dia bersembunyi. Apa ia takut? Siapa yang sebenarnya harus takut pada siapa? Mengapa ia tidak menampakkan wujud aslinya seperti yang lainnya? Pengecut.
Melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat kebanyakan orang memang menyenangkan, dan mengetahui masa lalu dan masa depan mereka juga. Tapi aku mulai bosan. Aku tidak ingin terus-terusan mendahului kehendak semesta pada diri sendiri dan orang-orang yang telah aku lihat masa depannya. Sekali-sekali aku juga ingin menjadi orang normal yang tidak bisa melihat pohon menari, tidak bisa melihat kepala-kepala binatang, tidak bisa melihat warna-warna aura manusia, juga yang paling penting tidak bisa melihat masa lalu dan masa depan seseorang.
Itu sangat mengerikan. Ya kalau takdirnya baik, kalau buruk? Aku jadi merasa sangat berdosa mengetahui urusan pribadi mereka yang sama sekali tidak perlu aku ketahui. Aku juga benci melihat takdirku sendiri. Aku mulai menjauhkan diriku dari hal-hal yang memungkinkanku melihat segalanya. Aku akan mulai dari jarang keluar rumah, mungkin keluar hanya untuk bekerja dan membeli makanan, selebihnya aku akan mengurung diri di rumah. Setidaknya aku akan semakin jarang berinteraksi dengan orang-orang atau melihat pepohonan di luar sana. Tapi tetap saja. Aku hanya tinggal dengan ayah di rumah, tapi tetap saja rumah terasa ramai. Mereka semua adalah tamuku dan tamu ayah. Bukan, kami tidak pernah mengundang siapa-siapa! Mereka tidak mau pergi, terutama yang selalu mengamatiku.
Aku mulai gila. Aku sangat lelah. Aku sangat bosan. Bahkan aku tidak bisa membedakan antara makhluk nyata dan tidak nyata. Memangnya aku pernah berhasil membedakan mereka? Sebenarnya yang nyata itu seperti apa? Yang tidak nyata seperti apa? Aku terlahir dengan dua dunia berbeda di genggamanku, hidup berdampingan dengan mereka, sedangkan aku tidak pernah diajarkan untuk membedakan mereka. Ini sangat tidak adil.
Kepalaku mulai sakit. Aku menjambak-jambak rambutku. Aku meremas-remas bajuku. Aku membentur-benturkan kepalaku ke tembok. Ayah tidak sanggup meleraiku. Aku berlari ke luar rumah. Entah ke mana. Aku juga tidak tahu, aku hanya berlari ke mana pun kakiku melangkah. Berlari hingga ke ujung. Selatan. Langkahku terhenti di sebuah pantai. Aku melihat ombak berlombaan menjilat-jilat tepian pantai. Suasananya sangat tenang. Hembusan angin bergantian menghamburkan rambut panjangku, aku tak peduli. Seorang pria melambaikan tangannya di antara deburan ombak itu. Lambaian tangan itu untukku. Nada gerakannya seperti mengajakku agar mengikutinya. Berenang bersama? Siapa takut. Aku mengikutinya. Semakin jauh, semakin dalam, daratan tenggelam.
Gabriela. Ternyata namamu Gabriela. Sosok yang selalu mengintaiku. Membiarkanku melihat segalanya sebelum menjemputku. (T)
070616