MENJADI kota niscaya menjadi modern. Premis ini berlaku pada cara pandang yang menempatkan dua kutub berbeda antara kota dan desa. Desa diasumsikan berbau tradisional, kota identik dengan kemajuan. Ini memang hitam-putih. Tapi begitulah galibnya dalam praktek hidup sehari-hari, termasuk yang akhirnya mengental dalam ranah politik lokal. Ya, pada era otonomi, pertumbuhan kota sama pesatnya dengan kabupaten baru. Sayangnya bukan pertumbuhan fasilitas penunjang kualitas kekotaan, namun pertumbuhan kuantitas melalui proyek pemekaran.
Maka kota-kota kecil tumbuh, seolah dalam semalam, sebagian langsung menanggung status ajeg dengan kekuasaan. Kadang, status ini jauh lebih mentereng ketimbang kondisi fisik, finansial, aksesibilitas, potensi maupun sumber daya manusianya. Apa boleh buat. Impian untuk sebuah kota mengalahkan itu semua.
Terjadi percepatan tanpa tedeng aling-aling. Tempo hari kota kecamatan, besok jadi ibu kota kabupaten. Kemarin ibukota kabupaten, sebentar jadi kota sendiri. Entah parameter apa yang dipakai pemerintah untuk menentukan status sebuah kota. Kadang apa yang dinamakan ibukota kabupaten tak lebih seruas-dua ruas jalan yang diperlebar, diberi trotoar tentu saja. Lalu kompleks perkantoran yang mencolok, termasuk kantor bupati dan kantor DPR tempat elit baru memandang kota.
Jangan heran, banyak kota atau ibukota tak tercantum dalam peta, bahkan mungkin namanya belum pernah anda dengar. Pun fenomena yang menyertainya. Coba, tahukah anda di mana letak kota Subulussalam dan Banjar? Tahukah anda bahwa Pariaman, Tasikmalaya dan Sungaipenuh merupakan kota kecil dengan kantor walikota sendiri? Pernah dengar Ereke dan Buranga berebut status jadi ibukota kabupaten baru Buton Utara, sebagaimana dulu Muarolabuh dan Arasuko di Solok Selatan? Tahukah anda bahwa kota kecamatan Sonder dan Tapan sedang digadang-gadang sebagai calon ibukota Minahasa Tengah dan Renah Indojati, bersama lebih 30 kota lainnya yang menunggu impian sama?
Atau, berkunjunglah ke kota-kota kecil itu, terasa betapa status ibukota yang disandangnya kadang kedodoran seperti pakaian kebesaran, meski di sisi lain tersirat harapan masa depan. Nangabulik (mudah-mudahan anda pernah dengar), tidak lebih serupa pusat kelurahan Bangunjiwo di Bantul. Namun melihat potensi tambang dan perkebunan, Nangabulik tampak percaya diri menyandang status ibukota kabupaten Lamandau, persis patung kijang yang mendongak tajam di depan kantor bupatinya.
Suasana ini juga terasa di Melonguane, ibukota Talaud yang baru tiga tahun ini berpisah dari sang induk, Sangihe. Tengok pula Mamuju, kota kecil yang kini jadi ibukota salah satu propinsi termuda di tanah air, Sulawesi Barat. Pembangunan fisik tampak mencolok, berkejaran dengan tenggat waktu yang entah digariskan oleh siapa. Sepanjang hari alat-alat berat sibuk bekerja, menggerus bukit-bukit merah tanah liat di pinggiran kota hingga kerowak di mana-mana.
–
UNTUK membuat kota lebih meyakinkan, digenjot proyek trotoarisasi dan tamansisasi. Pembenahan pasar, membangun tugu di perempatan. Lampu merah? Tak semua kota punya lampu merah, Bung! Tapi yang belum punya segera mendapat jatahnya. Lalu berbagai akronim dibentuk, merujuk K-3 (kebersihan, keamanan, kenyamanan), dan supaya nyambung dicari-cari kaitannya sebagai filosofi kota.
Bagi kota atau ibukota kabupaten yang relatif tua biasanya ada jalan lingkar (bay-pass). Kalau anda lewat Klaten misalnya, rambu mengarahkan anda ke luar kota. Niatnya untuk menghindari “pusat kota” supaya tidak macet, namun kadang dipaksakan. Masih untung Klaten, jalannya lebar dan cukup mulus. Beda dengan Kebumen atau Sragen, jalannya sempit, berkelok-liku di persawahan. Kasihan bis dan truk-truk besar, susah-payah melewati jalan alternatif itu, hanya supaya tak lewat di depan pasar dan kantor bupati setempat yang sebenarnya juga tak ramai-ramai amat.
Belakangan, demi eksistensi sebuah kota muncul fenomena membangun pusat rekreasi berupa waterboom. Purbalingga di Jawa Tengah dianggap sukses memulai upaya ini. Lalu ditiru daerah lain yang sebenarnya belum tentu siap. Ada pula karnaval dan berbagai kontes. Jember berhasil memulainya dengan Jember Fashion Carnaval, lalu Solo Batik Carnaval, Jogja Carnaval, Semarang Carnaval, Tomohon Flowers Carnaval, dan seterusnya. Upaya tersebut tentu saja baik, namun kebanyakan muncul sebagai Pak Turut.
Kota bukan dibentuk oleh kebutuhan akan ruang, akses, transaksi dan kualitas kekotaan lainnya, melainkan percepatan dan perebutan. Kota adalah keniscayaan politik, bukan proses kebudayaan: pendidikan, identitas, sejarah dan tata ruang. Kota-kota mutakhir di tanah air lahir lewat tawar-menawar politik yang berhasrat meringkus semuanya dalam satu malam.
Akibatnya, industri dan urbanisasi—dua hal yang kerap jadi watak kekotaan—juga berlangsung tanpa (r)ancangan. Sementara kota-kota yang sudah lebih dulu ada, termasuk Denpasar yang baru merayakan hari jadinya, tetap belum maksimal menata diri dan merumuskan identitas, kecuali dengan sebuah percepatan yang nyaris tanpa akar: berpacu dengan mall! (T)