KETIKA ideologi komunis atau sosialis dikatakan bangkrut, lantas apa yang mendasari kedatanganku ke kuburan Karl Marx, lelaki yang identik dengan ideologi itu?
“Untuk memenuhi rasa ingin tahu, itu saja…,” kataku setengah tertawa, menjawab pertanyaan rekan di London, yang merasa heran atas kunjunganku itu, pada suatu hari di bulan Maret. Tapi, pikiranku kemudian bertanya-tanya kenapa sampai muncul pertanyaan seperti itu, dan mengapa aku tertarik mendatanginya…
TIDAKLAH sulit menemukan kuburan Marx di kota London — “Tidak sesulit memahami ajaran filsafatnya,”seloroh seorang teman. Letaknya di sebuah pekuburan berusia tua di atas bukit, bernama Highgate, di kota London bagian utara. Lokasinya berdempetan dengan sebuah taman indah dan luas bernama Waterloo Park…
Saya memperoleh informasi tentang kuburan “kakek berjenggot” itu dari internet — semula saya tahu dia tinggal lama di London (selain kota Paris), namun tak paham di mana dia dikuburkan. “Dari pusat kota London, naik saja tube (kereta bawah tanah) zone Northern Line, dan turunlah di stasiun Archway,” begitulah tulisan di sebuah website tersebut. “Dari stasiun itu, Anda menghadap ke arah kiri, dan berjalanlah pada jalan mendaki, namanya Highgate High Street”…
Keinginan mendatangi makam Marx sudah lama kuidamkan, namun selalu tertunda. Itulah sebabnya, kedatanganku ke London saat itu, kuniatkan betul untuk melihat langsung peristirahatan terakhir salah-seorang berpengaruh di dunia itu.
Akhirnya kesempatan itu tiba. Di sebuah siang yang mendung, 15 Maret 2008, berbekal tulisan di website itu (berikut peta tube kereta bawah tanah, tentu saja), aku akhirnya mendatangi tempat tersebut. Dari stasiun Queensway, aku turun di Tottenham Court Road, dan pindah kereta arah Northen Line, serta turun di stasiun Archway.
Di Jalan Highgate High Street, aku temui sejumlah tanda seperti yang ditulis website itu: jalan yang menanjak, sebuah pub dengan bangunan aneh Whittington Stone Pub, serta sebuah patung kucing di dalam terali besi — aku tak paham makna patung ini.
Di sepanjang jalan ini berderet bangunan yang disebutkan dulu dihuni para kelas buruh, kelompok masyarakat yang ‘diperjuangkan’ Marx. “Anda harus menaiki jalan yang menanjak itu sampai Gereja St Joseph, yang stupanya beraksitektur neo gothic, yang berhadapan dengan pub The Old Crown,” kubuka copy-an website, yang menjelaskan rute menuju pemakaman Highgate.
Sampailah aku pada sebuah perempatan itu. Udara dingin tetap setia menyergap, tapi tak kuhiraukan. Gereja dan pub itu persis di depan mata, dan di sisi lainnya adalah taman Waterloo. “Ambil sisi kiri, dan masuklah ke dalam taman Waterlow. Di ujung taman itu, di pintu bagian barat, kau akan mendapati kuburan itu,” tulis penulis website itu.
Melewati taman yang teduh itu, dan sunyi, aku akhirnya menemukan pintu di sisi barat. Di depannya ada sebuah jalan nan sepi (namanya Swains Lane), dan satu mobil kuno diparkir. “Di mana kuburan Karl Marx,” tanyaku pada seseorang, setengah bersemangat. Tanpa kesulitan, lelaki itu menunjuk sebuah komplek pemakaman, yang kemudian kuketahui sebagai “makam Highgate bagian timur” (east cemeteries). Di depannya, memang berdiri pula “pekuburan Highgate bagian barat” (west cemeteries).
PEMAKAMAN Highgate bagian barat dibangun lebih awal yaitu tahun 1839, sementara bagian timur dibangun belakangan, tahun 1854. Aku pun melangkah ke sisi kiri, ke bagian timur pekuburan itu — karena di sanalah lelaki yang identik dengan faham komunis itu dikuburkan.
Dan di balik pagar setinggi lebih dari 1 meter, berdiri sebuah pos warna merah jambu, dan seorang lelaki berjaket yang rajin tersenyum.
“Silakan masuk, kuburan Karl Marx tak jauh dari sini,” katanya ramah, seraya meminta aku membeli tiket senilai 3 pounds. Dia menawarkan stafnya sebagai pengantar, tapi kutolak halus…
Aku pun melangkah masuk, dan hamparan kuburan yang sebagian nisannya bersalib, segera menyapu mataku — aku tidak sepenuhnya kaget, karena pemandangan seperti ini sudah terekam di otakku, setelah berulang kali melihat filem horor ala Hollywood.
Pepohonan oak yang gundul, bunga liar yang tumbuh di sudut-sudut, serta jalan yang basah, ikut menyemarakkan rasa ingin tahuku atas kuburan itu. Ada beberapa orang — sepertinya turis — punya tujuan yang sama seperti aku…
Tentu saja, selain kuburan yang bernisan salib (yang sebagian dihiasi figur malaikat bersayap), ada pula makam milik orang Yahudi, Protestan atau Anglikan, serta barangkali atheis — saya sendiri tak melihat makam milik orang Muslim. Semua ini bisa kukenali dari bentuk nisan serta tulisan di atasnya.
Lantas, seperti apa simbol makam penganut Marxisme, atheis, atau agnostik?
Walaupun saya tak begitu yakin, saya menganggap nisan mereka biasanya berbentuk kotak dan ada kalimat seperti “kamerad” atau “buruh” — ini setidaknya yang kulihat pada beberapa nisan yang letaknya di sekitar makam Karl Marx, misalnya bekas aktivis atau politisi Partai Komunis Inggris atau negara lain. Di sana juga tak terdapat simbol-sombol agama…
Dan akhirnya dari jarak lebih dari sepuluh meter, kuburan lelaki keturunan Yahudi itu sudah bisa kukenali: sebuah tugu persegi panjang tampak berdiri kokoh, dan di atasnya dipasang patung Marx, lengkap dengan rambut dan berewoknya.
Di tugu warna kelabu itu, ada beberapa kalimat yang ditulis dengan warna emas, namun yang sempat kubaca adalah “Workers of all Lands Unite”. Sekuntum mawar merah diletakkan di salah-satu sudutnya — saya sempat melihat sebuah keluarga juga meletakkan karangan bunga di sana.
Namun menurut sejumlah situs, nisan ‘asli’ Marx tidak seperti sekarang. Disebutkan, nisan asli Marx (yang pembangunannya dibiayai sahabatnya, Engels) hanyalah berbentuk nisan berbentuk kotak yang hampir rata dengan tanah — sayangnya, saya baru tahu belakangan.
Tapi semuanya berubah, ketika Partai Komunis Inggris, pada tahun 1956, mengubah nisannya — dengan meletakkan patung kepala dan dada Karl Marx di sana. (Saya lantas teringat, bagaimana rezim Suharto mengubah kuburan Sukarno di Blitar, yang awalnya sederhana, kini berbentuk seperti sekarang…)
ADA belasan orang yang kulihat berada tidak jauh dari nisan Karl Marx — mereka sebagian sepertinya turis. Tetapi ada seorang lagi bertopi kelabu dan berbaju serba hitam, yang kuperhatikan membawa rangkaian bunga. Umurnya barangkali di atas 60 tahun. Tarikan wajahnya seperti dari kawasan Timur Tengah.
Dia rupanya juga memperhatikanku. “Kau dari mana?” suaranya serak, tidak begitu jelas terdengar.
Kujawab seraya tersenyum, saya dari Indonesia. “Indonesia? Bukankah Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia,” tanyanya lagi, kali ini suaranya lebih jelas terdengar.
Saya mengiyakan. Kuperhatikan dia hilir mudik tengah menabur bunga itu di atas sebuah makam — “anak saya dikuburkan di sana,” katanya agak malas. Saya tahu diri, dan tak kulanjutkan rasa ingin tahu itu.
“Indonesia?” Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Bukankah Presidenmu sedang berada di Iran, bertemu Presiden Ahmadinejad?” Lelaki ini ternyata adalah kelahiran Iran, tetapi sudah lama tinggal di London. Saya tak menanyakan kenapa dia meninggalkan Iran, namun dia dengan nada suara agak tinggi, menunjukkan nada amarahnya terhadap Ahmadinejad.
Saya mendengarkan dengan takzim celotehnya, tapi aku memilih tak menanggapi…
Mengetahui aku berlama-lama di depan patung Marx, dia menawarkan diri untuk memotretku. Saya tak menolak, tetapi aku kemudian berpikir: jangan-jangan dia juga menaruh hormat pada siapa di balik patung itu. Atau, adakah dia seorang anggota Partai Komunis Iran yang mengasingkan diri setelah Revolusi Islam, tahun 1979?
Sebuah pertanyaan yang barangkali juga pernah banyak menghinggapi orang-orang Indonesia, ketika hantu Karl Marx dipikirkan sebagai sesuatu yang menakutkan…
SAYA pernah hidup di dalam atmosfir politik yang “mengharamkan” Karl Marx (berikut pemikirannya), dan orang-orang yang menjalankan pikiran-pikirannya dalam sebuah garis partai. Doktrin itu diciptakan terus-menerus (hingga sekarang), dan dipelihara, dengan menyebarkan ketakutan: ketika itu setiap tahun diputar sebuah filem tentang kekerasan tahun 1965 — dan saya pun pada akhirnya tidak bisa mengelak dari trauma…
Namun sejujurnya aku pernah tertarik untuk mengetahui lebih lanjut ideologi itu (setidaknya secara akademis), walaupun tak pernah tertarik mengenakan “jubah” organisasinya — saya ingat, adalah kata “alienasi” adalah kata mujarab sebagai pintu pembuka masuk ke dalam ideologi itu. Sebuah proses pencarian, seperti halnya saya juga tertarik ide nasionalisme, sosialis demokrat, atau Islam — kendati yang kusebut terakhir ini akhirnya lebih menetap karena “itulah agamaku”.
Sebagai pisau analisa, di tahun 80-an akhir, faham “kiri” itu “kutemukan” melalui momentum sejumlah kasus perampasan tanah rakyat oleh pemerintah — ikut sekali demonstrasi, yang kuterjemahkan sebagai sebuah upaya perkenalan dengan sesuatu yang berbau “kiri”. Tapi di sana kuakui ada juga romantisme — rasanya gagah menyandang predikat kiri itu tadi.
Tapi tetap saja perkenalan itu tidak pernah utuh — tidak pernah intens, bersifat mediokrat, dan akhirnya acap berhenti sebatas jargon atau diskusi di dalam sebuah ruangan tertutup. Bahkan, kadang-kadang semuanya berakhir pada kekonyolan — misalnya, aku begitu bangga mengenakan kaos oblong bergambar Che Guevara dan begitu takut menyimpan buku karangan DN Aidit tentang “materialisme historis” (yang kutemukan di pasar loak), tapi akhirnya kubiarkan berdebu, kuselipkan ditumpukan buku paling bawah — tak pernah kubaca…
Barangkali ini dampak dari “trauma” itu tadi, dan mungkin juga lantaran faktor keterbatasan otakku. Tapi tak bisa kupungkiri, keragu-raguan itu sejak awal terlihat, karena dilatari perubahan politik global yang terjadi saat itu, juga ekses akibat bersentuhan dengan teks yang mengkritisi ajaran Marx sebagai ideologi.
Siapa yang bisa menghindar ketika teks “ideologi telah mati” muncul, dan sebuah argumen (atau mode?) yang mengatakan “narasi besar telah berakhir”, bergelombang menerpa pikiran yang masih muda itu. Lagipula, mau disemai di mana ide itu, di sebuah negara yang tidak memberi tempat sama-sekali pada ajaran-ajarannya..
Namun yang nyata berpengaruh adalah kondisi obyektif saat itu. Aku masih ingat, saat mencecap status mahasiswa baru (tahun 1987), dan di tengah trauma itu, tembok Berlin yang angkuh itu runtuh. Kemudian, seperti efek domino, negara-negara komunis –yang sistemnya tertutup, dan otoriter — satu-per-satu rontok, digulung perestroika, yang berujung terpecahnya Uni Soviet menjadi keping negara-negara kecil, dan meninggalkan ideologi “palu dan arit” — seolah sebagai produk masa lalu yang usang.
Semua keping informasi itu akhirnya hilir-mudik di dalam hidupku saat itu. Semangat eklektik, akhirnya yang terlihat. Bergelut dengan teman-teman pers mahasiswa, dengan latar politik dan ideologi yang berbeda, ikut berperan pula membentuk kepingan itu tak pernah utuh. Tuntutan keseharian, serta akhirnya logika dunia industri serta akar-psikologi Islam, membuat pencarian itu akhirnya tak pernah rampung…
Itulah yang terjadi pada akhirnya. Dan meskipun kadar simpati terhadap yang “kiri” itu tak juga hilang, toh akhirnya persoalan ideologi itu tak lagi kupandang menarik — saat awal menjadi wartawan (1996), saya pernah tertarik ide-ide yang diusung Partai Rakyat Demokratik (PRD) di ujung kekuasaan Suharto, namun kecewa dengan realitas politik partainya. Logika jurnalistik yang kupahami akhirnya membentuk karakterku untuk selalu berdiri di perbatasan…
KARL Marx disebutkan tinggal dan mati di kota London. Dia disebutkan pernah tinggal di wilayah Hampstead, dan menyelesaikan karya monumentalnya Das Kapital, di ruangan perpustakaan di British Musuem. Di sebut-sebut pula dia pernah menghabiskan waktunya di sebuah pub di Jalan Tottenham Court Road. Marx juga pernah tinggal di Dean Street, Soho, di pusat kota London. Tapi mungkin tidak banyak tahu, kalau pada akhirnya jasadnya dikubur di pemakaman Highgate….
Dibuka pada tahun 1839, pekuburan Highgate bagian barat semula diperuntukkan untuk kalangan berkelas. Di dalamnya bisa dijumpai aneka bentuk nisan, atau patung, serta bangunan kuburan yang bernilai tinggi. (Saat saya berada di depan komplek itu, ada 6 orang turis sedang antri masuk pekuburan itu).
Sementara, komplek kuburan Highgate bagian timur (yang dibangun tahun 1854), yang mayoritas ‘dihuni’ orang-orang biasa saja — salah-seorang diantaranya adalah Karl Marx, seperti pekuburan kuno lainnya. Dua komplek ini dipisahkan sebuah jalan menanjak, bernama Swains Lane, yang pagi itu terlihat sepi.
Walaupun begitu, disebutkan lebih banyak pengunjung mendatangi pekuburan Highgate bagian timur, karena kehadiran Karl Marx di sana. Itulah sebabnya, di pintu masuk pekuburan itu dipasang namanya serta gambarnya.
Selain makam Marx, disebutkan ada orang-orang terkenal lainnya dikubur di pemakaman itu. Diantaranya yang saya kenal, adalah novelis George Elliot (nama samaran Mary Ann Evans), filosof Inggris Herbert Spencer, serta ahli fisika Faraday. Sayangnya, karena keterbatasan waktu, saya tak sempat melihat makam mereka — kecuali secara tidak sengaja, saya menemukan makam bekas pemain sepakbola tim nasional Skotlandia: Joseph Robert Stewart…
(Dari sebuah situs disebutkan, ada 850 orang dikuburkan di pekuburan Highgate di sisi timur dan barat. Dari angka itu, 18 orang adalah akademisi, 6 orang walikota London, serta orang-orang seperti kusebutkan di atas).
Sejak tahun 1975, pekuburan Highgate bagian barat, tidak lagi dijadikan pemakaman umum, namun bagian timur sejauh ini tetap dijadikan pemakaman umum. Kini komplek pemakaman itu dikelola sebuah organisasi nirlaba bernama The Friends of Highgate Cemetery (FOHC). Didanai oleh masyaraklat, mereka bertanggungjawab untuk merawat, dan memperbaiki apabila ada situs makam yang rusak. Mereka dibentuk para relawan yang peduli terhadap peninggalan sejarah kota London ini.
Di luar semua itu, bagi pecinta flora dan fauna, di dalam komplek pekuburan itu terdapat lebih dari seratus spesies bunga liar dan pepohonan — seperti hornbea, exotic limes, oak, hazil, sweet chestnut, tulip dan field maple.
Barangkali karena situs bersejarah itu sudah terbilang tua, maka di sana juga terdapat 50 spesies burung dan 18 jenis kupu-kupu, serta 3 spesies laba-laba yang konon sekarang sulit dijumpai di tanah Inggris. Disebutkan pula rubah gampang dijumpai di sana…
SAMBIL memasukkan tangan ke saku jaket coklatku, aku akhirnya meninggalkan pemakaman tua itu — diiringi suara koak-koak burung gagak hitam, serta langit kelabu kota London. Namun pertanyaan-pertanyaan tentang ‘lelaki berjenggot’ Marx, dampak setelah analisanya dibumikan, serta trauma yang kurasakan, masih terus membayangi di belakangku… (T)