PEREMPUAN PERAMU PUISI
Andai masa silam tak membagikan luka dan membuat purnama terasa ringkih dan lengang di mataku. Mungkin hari ini aku tak pernah mampu menjahit robekan-robekan waktu.
Andai aku tak pernah merasai suguhan ubi kayu rebus dan teh pahit. Mungkin hari ini aku akan menyalahkan jam dinding yang setiap detiknya menanjak pada luka.
Sedang yang paling sakral pernah kupersembahkan. Sebentuk ingatan pada silam telah kupenjarakan. Agar ia tak lagi memamerkan taringnya lalu menerkamku
Aku selalu ingin yang hari ini. Menjadi perempuan peramu puisi. Merangkainya ketika kata-kata tak mampu lagi kuobral dengan suara.
Ketika dada teraduk oleh peristiwa demi peristiwa yang menyakitkan. Ketika aku duduk dalam sunyi dan memujinya tanpa batas. Dan melihat dari balik tirai bayang matahari yang mencoba mengangkangi dunia.
PEREMPUAN PENYANDING KOPI
sering aku menziarahi malam dengan membuat denting pada gelas yang beradu
sebagai tanda sulang, bahwa aku masih berjaga
denting akan memecah bisu yang tanak
karena angin pun telah lindap ke utara untuk menjemput gigil
agar memenuhi ruang senyap
namun hatiku bukanlah kota sunyi, yang menenggelamkan riang menjadi sejarah
hingga kegembiraan hanya menjadi cerita purba yang adanya di buka tua
dengan halaman- halaman usang dan kusam
aku adalah perempuan dengan menyanding kopi hitam
yang selalu mengharap bahwa fajar akan memantul
ketika mataku bersitatap dengan legamnya
bayang kehangatan akan muncul, saat bibirku sentuh cairannya
rasa yang melegakan, akan membuka lorong kerongkonganku
lalu berkelindan di dada
biar jantungku turut serta berirama
membuat ritme teratur dengan nuansa bahagia
PEREMPUAN PELUKIS BUNGA
Ini bukan mimpi, ketika Mahakala menuntunku pada sebuah kanvas besar. Menggoreskan warna air, warna tanah, warna daun dan warna bunga.
Teratai telah tumbuh dan mekar di kanvas itu, setelah jantungku bagai teratai di porandakan angin, bergemuruh namun tak menjadikan patah.
“menjadilah kanak kanak dengan kebebasan, keceriaan dan kegembiraan, melepas mimpi mimpi tentang dunia, sapukan setiap warna yang kau suka dengan keluguanmu”, suara suara itu melintas dan membuka pintu kesadaran.
Meditasiku bukan pada belantara di nun jauh sana, tetapi di sini. Di kanvas yang bisu, di kanvas yang putih. Bukan lagi suara burung burung, gemericik air, desau angin. Namun suara di diri yang tak lagi riuh pada keinginan keinginan.
Kurangkai bunga bunga, seperti berbunga bunganya kepalaku ketika menggoreskan warna warna, menjadi rangkaian yang wangi seperti ketika aku melangkah di altar Nya dengan bunga dan dupa.
Mungkin aku telah orgasme, ketika kuas tak henti menyentuh cairan cat dan sebidang kanvas di depanku, kami bercumbu dengan mesra layaknya sepasang kekasih dalam balutan rindu yang kental.
“ya, rindu yang kental”, sebagai penanda aku
masih bernyawa, yang hidup bersama bunga bunga di kanvas dan melayari takdir
dengan apa adanya.
PEREMPUAN PENGUKIR JANUR
Baginya, pisau yang menemaninya membuat ukiran pada janur, tidaklah tajam. Meski mampu memotong dan meringgit dengan mudahnya, bahkan membuat garis jejak pada telunjuknya, kadang sampai perih dan luka.
Baginya, karmalah yang sangat tajam, ia menunjukkan jalan setapak dari masa lampau, masa sebelum perempuan itu terlahir dari garba suci dan melihat dengan gamblang isi semesta ini.
Lembar demi lembar menjadi hiasan, sebagai wujud bahasa rasa, menjadi aksara mantra yang tak diucap dengan kata kata, untuk Dia yang dipuja.
Bukan pada gunung terjal tempat pura ada, bukan pada tebing curam tempat tirta mengalir , tempat menyatukan dirinya dan melukat tubuhnya agar suci.
Pagi ini, perempuan itu melakukan perjalanan pada lembar lembar janur, ia melupakan goresan pada tangannya demi menyatukan diri denganNya, lewat ukiran janur pelengkap sesaji, yang diyakini bisa menembus batas ruang dan kala (waktu)
Baginya karma memang tajam dan tegas, namun ia akan
menebusnya dengan beryadnya, semoga kelak, lewat jalan yang ditempuhnya karma
baik yang akan disandangnya dan menghapus karma buruk yang kini sedang
dijalaninya.
PEREMPUAN PAGI
Tak ada rintih baginya, meski musim kadang membawa badai. Menggugurkan daun daun hatinya. Daun yang tumbuh pada pohon jiwa.
Pohon yang menumbuhkan cabang cabang, sebelum menjadi pohon besar menjulang dan dikenali orang.
Ada kabut yang menyelimut, membawa gigil hingga ke sendi sendi. Membawa sepi teramat tanak, hingga sesenyap pekuburan.
Musim ini, telah banyak benang benang cahaya, menyelinap dan membesuk hatinya, setelah matahari bersahabat dengannya.
Bukan lagi perangkap benang laba laba dan menjadikan dirinya gelayut jelaga, memangsa dan memangsa.
Pintu pintu telah terbuka, setelah musim demi musim tak
lelah menempanya.
PEREMPUAN API
Menjadilah api di rimba raya yang penuh satwa
Bukan untuk membakarnya
Dan menjadikan mereka asap dan abu
Menjadilah api cinta
Segala kemurnian tercipta
Meliuk dengan lentiknya
Hangat dengan baranya
Ketulusan tiada tara
Kesucian yang purba
Darah adalah api
Ketika karakter perempuan dipertanyakan
Drupadi ditelanjangi
Sita diculik
Jagat raya pun seketika menjadi ajang peperangan
Darah membajir
Ladang menjadi pekuburan masal
Sejatinya
Darah adalah api
Api cinta yang lahir dari ketulusan
Menjadi biara di diri
Membentengi dari durja dan keserakaan
Lingkaran api Sita
Menjadi lentera bermantra
Mengalir deras di setiap nadi perempuan
Rahwana atau seratus Kurawa
Menjadi pembukti, cinta dan etika tetap menyala
Di ladang Kurusetra maupun Alengka
Fanaprasta menjadi penyuci diri
Pengasingan
Ketika istana menjadi rumah para satwa
Di mana api cinta padam
Tergantikan benci dan dendam
Perempuan perempuan api
Dengan lautan cintanya yang suci
Menggelora dan mendebur di setiap insan yang setia