Pementasan Sukreni Wang Sistri Listuayu merupakan sebuah kelahiran drama musikal Bali yang modern. Optimisme Kelompok Sekali Pentas untuk menampilkan pementasan yang berkualitas, patut diapresiasi. Usaha-usaha yang berawal dari penggarapan naskah, pemilihan pemain, komposisi gerak, rancangan kostum, serta gebrakan musik yang mengigit tidak terlepas dari peran sutradara.
Sutradara—I Wayan Sumahardika dan penata musik—Herry Windi Anggara, sangat sadar tentang kebutuhan penonton yang ingin tercebur dalam humor-humor tradisional, namun masih kental dengan unsur teatrikal. Maka mereka memutuskan pementasan ini sebagai teater populer.
Keputusasaan terhadap teater nampaknya mampu ditangkis usai menyaksikan pementasan Sukreni pada Kamis, 28 Februari 2019 di Ksirarnawa, Art Centre, Denpasar. Proses ini tentu berawal dari penjelajahan makna filosofis teks lama Sukreni Gadis Bali karya A.A. Pandji Tisna, yang berhasil disadur ke dalam naskah drama modern berbahasa Bali.
Alih wahana ini tidak bisa terjadi secara instan tanpa kemampuan kognitif yang efektif dari penyadur naskah. Dari segi pemilihan teks ini, sudah terlihat kejelian sutradara untuk membangkitkan kembali cerita-cerita yang hampir dilupakan. Apakah kisah ini masih relevan di zaman melinial kini? Saya pikir itu tergantung pada strategi komposisinya.
Dari segi penggarapan naskahnya, menurut Darma Putra ada beberapa kata dalam bahasa Bali yang terasa kaku dan kurang natural (Baca: Sukreni, Jegeg Megledag). Sejalan dengan hal tersebut, nampaknya proses alih wahana dari novel ke naskah drama juga terhalang sor singgih bahasa. Beberapa adegan terasa kurang menyatu dengan rasa base Bali. Di sini terlihat bahwa Kelompok Sekali Pentas masih perlu lagi berlatih menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar.
Meski begitu, kekurangan perbendaharaan kata ini dtutupi oleh banyolan-banyolan sehari-hari yang tidak mementingkan tata bahasa Bali. Mereka juga cerdas dalam meniru aksen lokal sehingga menutupi kekauan dialog tersebut.
Pemain-pemain yang terlibat dalam pementasan ini juga cukup mempuni. Wirama, Wirasa, Wiraga yang menjadi dasar dari pembentukan karakter berhasil dikuasai. Usaha-usaha itu cukup terlihat seperti tokoh Men Negara diperankan dengan gesit dan legit oleh Kiky. Hemat saya, Kiky dengan sadar memanfaatkan postur tubuhnya untuk mengusai panggung.
Selain itu, irama dialog yang lebih sering meninggi bukanlah hal sulit baginya. Namun dalam wirasa, kedalaman merasakan peristiwa masih belum terlihat pada garis-garis wajahnya. Lain lagi dengan Ni Negari yakni Desi Nurani. Peran ini nampaknya tidak terlalu sulit untuknya yang sudah sering berada dipanggung. Namun, kekuatannya bisa-bisa menutupi potensi aktor-aktor lain. Syukurlah peran I Gusti Made Tusan oleh Indra Mpol tidak tertutupi. Indra mampu membuat ritme dan emosi di panggung terjaga.
Pemain-pemain menarik lainnya seperti adegan anak-anak SD ini cukup menarik. Memang terasa kurang mendidik, namun ini juga bisa dijadikan bahan edukasi dalam melihat kemungkinan-kemungkinan negatif dari masa pubertas. Kelenturan anak-anak ini bergoyang dan berdialog cukup mengundang tawa. Gerak-gerik spontan yang tertata juga membuat penoton tertawa pada saatnya.
Gelak tawa penonton ini tentu sudah dihitung, diperkirakan, direncanakan oleh penata gerak. Gerakan yang melesat dan kompak, tarian yang panas dan cadas juga mengundang tepuk tangan penonton. Para penonton seperti menyaksikan Broadway atau Bollywood versi Bali. Mereka diajak, digiring, dan dijerumuskan ke dalam keriuhan panggung.
Semua hal itu tentu merupakan penemuan teknik baru (meski tidak benar-benar baru). Sejalan dengan Benny Yohanes, penemuan baru dalam konteks ekspresi artistik juga penting. Tentu sutradara sudah paham dengan penawaran teknik baru tersebut. Penawaran itu memberi perluasan perspektif bagi penikmat seni dalam memahami pementasan.
Perluasan perspektif yang ditawarkan Sumahardika yakni pertama tidak ada panggung tunggal, kedua peran pemusik dan pemain yang saling berinteraksi, dan ketiga penggunaan musik disko elektro yang tidak biasa dalam pementasan berbahasa Bali. Kualitasnya timbul seperti menonton teater kontemporer kelas Dobly Teater atau TMII. Meski begitu penonton masih merasakan sentuhan tradisional. Seperti menonton drama gong di banjar yang tidak membatasi interaksi penonton dengan pemain atau pemain dengan pemusik.
Bobot artistik yang tak kalah penting tentu penggrapan musik yang dinamis tanpa mengesampingkan kebutuhan teks. Dialog-dialog yang dilagukan menjadi segar oleh penataan musik yang seimbang. Terepas dari permasalahan teknis seperti mic yang lepas, posisi mic yang tidak pas, atau teknik penggunaan mic yang tidak tepat, pemain tetap menjaga suasana pemantasan.
Hal teknis tersebut ditutupi dengan musik dan juga penyanyi di bagian musik. Saat mendengar lagu-lagu yang dinyanyikan, penonton seperti ada didalamnya karena dialog yang dipilih untuk dinyanyikan masih familiar. Berbagai teknik musik juga disajikan, namun kurangnya penggunaan unsur-unsur tradisional seperti terasa kehilangan ruh dan jiwa drama Bali tersebut.
Musik dan gerakan yang ritmis ini didukung pula oleh rancangan kostum pemain. Kostum-kostum yang digunakan sudah dipirkan dengan matang. Warna-warna yang dipilih tidak sembarang. Seperti warna merah menyala, orange, hijau muda, biru muda, kuning terang adalah warna yang mengundang selera.
Penonton tergugah untuk terus mengikuti alur cerita berkat kostum ini. Bila ditelisik dari latar belakang cerita Sukreni Gadis Bali, tentu belum ada penggunaan warna-warna terang seperti itu. Design rok dan baju crop-top juga belum ada. Meski begitu, gebrakan kostum ini akan menjadi jembatan waktu antara lampau dan masa kini. Jembatan latar tempat juga terlihat dari penggunaan properti yang efektif. Perubahan latar warung menjadi kamar atau rumah bisa diubah dengan hanya mebalikan property tersebut.
Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa penemuan teknik baru ini berpotensi menciptakan genre baru dalam ranah teater. Landasan konseptual yang matang ini tentu lahir berkat tempaan berpuluh-puluh pementsan, berlembar-lembar referensi, dan bertahun-tahun mengutak atik komposisi yang tepat. Bangunan pertunjukan seperti ini menemukan strukturnya tidak saja dalam dramatiknya namun musikalitas dan kandungan lokalitas juga kental terasa.
Pertanggung jawaban moral kepada penonton juga terampaikan. Penonton tidak saja diberikan parodi-parodi melainkan penonton diajak mengkritisi pristiwa sosial tentang pemerkosaan. Apakah ini berhenti hanya sampai pada riuh tawa penonton? Tentu tidak. Memanfaatkan konteks wacana sosial tentang pemerkosaan saat ini akan membuat penonton mulai berpikir. Di balik tepuk tangan penonton tentu ada pertanyaan tentang keadilan bagi perempuan, tentu ada percikan ide tentang anti kekerasan. Proses berpikir itu akan melahirkan budaya berpikir kritis sebagai oleh-oleh usai menonton pementasan.
Budaya berpikir kritis dan kreatif secara kolektif ini adalah proses yang harus dilalui oleh Kelompok Sekali Pentas. Tentu tidak mudah mengharmoniskan puluhan egoisme. Sejalan dengan pesatnya teknologi, pemikiran akan makin mempuni.
Kita pun sebagai pegiat seni makin diuji. Ujian-ujian itu akan dibuktikan dengan kematangan emosi, system berpikir yang cadas, hasrat mencoba hal baru, dan mental yang tangguh. Namun dengan demikian pula hasil optimal mampu diraih. Keberhasilan sutradara, penata musik, pemain, dan kru diharapkan tidak berhenti sampai pencapaian ektrinsik. Perlu penggalian kedalaman diri agar benar-benar mampu menghidupkan jiwa berkesenian secara kolaboratif. [T]