Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir. Sekalipun nyaman engkau di tengah impitan sesamamu, tak akan ada yang tahu jikau kau melayang hilang.
Di lingkungan gurun yang serba serupa, untuk apa lagi menjadi kaktus. Sekalipun hijau warnamu, engkau tersebar di mana-mana. Tak ada yang menangis rindu jika kau mati layu.
Di lanskap gurun yang mahaluas, lebih baik tidak menjadi oase. Sekalipun rasanya kau sendiri, burung yang tinggi akan melihat kembaranmu di sana-sini.
Di tengah gurun yang terjebak, jadilah salju yang abadi. Embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, oase akan jengah, dan kaktus terperangah. Semua butir pasir akan tahu jika kau pergi, atau sekadar bergerak dua inci.
Dan setiap penuh gurun akan terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau… Berbeda.
Kutipan ini saya ambil dari tulisan Dee Lestari yang berjudul Salju Gurun dalam buku Filosofi Kopi yang fenomenal itu. Prosa yang berkisah tentang menjadi sebuah salju di tengah gurun yang panas ini cukup menarik dan menjadi prosa favorit saya. Meskipun yang diangkat cukup klasik, menjadi sesuatu yang berbeda, unik dan berani keluar batas dari sebuah komunitas. Namun, Dee menuliskannya dengan indah, ritme yang baik dan membuatnya seakan menulis prosa itu mudah dan mengalir seperti air.
Dalam prosa ini, Dee mencoba mengatakan bahwa jadilah seorang yang berbeda—benar-benar berbeda. Seperti dalam salah satu kalimat, “… di tengah gurun yang terjebak, jadilah salju yang abadi”. Dalam kalimat tersebut, jelas bahwa Dee sengaja ingin mengajak pembaca menjadi seorang yang berani berbeda, tidak sama dengan yang lain.
***
Berbicara tentang menjadi yang berbeda, saya ingin bertanya: Apakah saat ini kita masih menjadi orang Jawa, Bali, Bugis, Madura, Minang, Timur, dll? Selama ini, kita tidak pernah tahu apa definisi “orang Jawa, Bali, Madura, Sumatera, Dayak, Sasak, Timur, Sunda”. Dan kita tidak pernah duduk untuk mendefinisikan hal itu.
Apa itu orang Jawa, orang Bali, orang Sasak, orang Bugis, orang Dayak, orang Timur? Apakah orang yang lahir di Jawa, misalnya, bisa dikatakan orang Jawa? Apakah orang yang punya kepedulian tentang orang Jawa bisa dikatakan orang Jawa? Ya, sekali lagi, kita tidak pernah duduk bersama untuk mendefinisikan “apa itu orang Jawa, apa itu Bali, apa itu orang Timur, dll”.
Kenapa pertanyaan ini begitu penting bagi saya?
Begini: Di dunia yang semakin moderen ini, sepertinya kita gagap dalam melihat mana yang disebut sebagai ‘ketertinggalan’ dan mana yang disebut sebagai ‘ciri khas’. Bahkan, tak jarang, kita selalu tertukar, yang seharunya menjadi ‘ciri khas’, kadang malah kita anggap sebagai ‘ketertinggalan’. Akibat dari kekeliruan itu, maka menyadurlah semuanya.
Kita terlalu sibuk memodernisasi diri kita. Sampai kadang-kadang pakai pakaian saja, kita sudah tidak mau pakai pakaian sendiri, kita tidak mau pakai ikat kepala sendiri, kita tidak mau makan makanan kita sendiri, kita tidak mau menikmati seni dan budaya sendiri, dan baru-baru ini—mungkin—ada beberapa orang yang menyadari bahwa itu semua adalah kekayaan.
Sejatinya kita takut menjadi yang berbeda. Kemudian kita berusaha untuk menghilangkan identitas kita yang sebenarnya, hanya agar kita sama dengan mereka dan kita diterima di lingkungan mereka. Orang-orang Papua, misalnya, tidak lagi pede punya kulit warna hitam, maka suntik vitamin c, tidak pede punya rambut keriting, maka mereka memilih meluruskannya. Lalu, di mana Papuanya ketika kulit mereka putih dan rambut mereka lurus?
Orang Jawa pun demikian, tidak pede jika berbicara bahasa Indonesia dikatakan medok. Maka untuk menutupi kemedokannya itu, bicaranya harus dibuat-buat, mencoba menyamakan orang-orang di sekitarnya. Memaksa sekali. Begitu pula orang Sunda, Sumatera, dan daerah-daerah yang lain. Tidak ada yang berani pede tampil dengan memakai identitas sendiri. Semua ingin sama. Tidak ada yang berani beku dalam neraka. Tidak ada yang berani menjadi salju di tengah gurun pasir.
Kita boleh maju, bahkan sangat dianjurkan. Tapi maju dengan menggunakan cara kita sendiri, dan tentu saja mempertahankan identitas kita sendiri. Bukan maju dengan cara orang lain. Bukan menyadur orang lain. Bukan ikut-ikutan orang lain. Bahkan bukan diatur orang lain. Kita harus berani menjadi salju di tengah gurun pasir. Menjadi pribadi yang berbeda, mempunyai ciri khas, atau keunikan tersendiri.
Bagaimana, sudahkah Anda menjadi diri sendiri? Menjadi pribadi yang berbeda? Selamat mencoba, orang-orang korban hegemoni. Jangan menjadi orang kebanyakan, jadilah salju di tengah gurun pasir—yang berani beku dalam neraka. [T]